Penulis menikmati Coto di Jl. Gagak |
Setidaknya label ini menjadi salah satu bahan pembicaraanku dengan seorang teman ketika menikmati coto di bilangan Jl. Galunggung No. 65 (lampu merah Galunggung). Coto Makassar populer di luar Sulawesi, sementara di daerah asal makanan khas ini, istilah Coto Makassar sulit didapati, contoh saja Coto Je’ne Berang, Coto Paraikatte, Coto Maros, dll. Penggunaan label Makassar ini dipengaruhi oleh kondisi Coto secara umum belum dikenal, sehingga dengan menggunakan nama Makassar, para calon pelanggan dapat mengerti bahwa coto merupakan salah satu makanan khas Makassar.
Warung coto tempat saya dan seorang teman asli Malang (Arema) yang baru kali itu menikmati menu ini, adalah warung milik Dg. Rudi. Dia sudah memulai usaha kuliner dengan membuka warung Coto Makassar sejak 2003 di Batu. Kondisi usaha kuliner di batu, apalagi warung dengan segmentasi tertentu tidak mendukung, sehingga Dg. Rudi melirik Malang, perkembangan usaha di Kota Malang cukup menjanjikan, dia mengakui bahwa mayoritas pelanggannya adalah orang-orang yang sebelumnya pernah menikmati Coto Makassar, apalagi mereka yang secara langsung berasal dari Sulewesi.
Dg. Rudi terbantu oleh Mahasiswa asal Sulawesi yang biasanya datang membawa teman untuk menikmati menu Coto Makassar di warungnya. Walaupun agak aneh bagi lidah orang Malang (mungkin) Coto Makassar cukup memberi kesan bagi mereka.
Saat temanku serius menikmati hidangan Coto Makassar, kukatakan padanya bahwa salah satu yang membuat orang Makassar dinilai kasar disebabkan oleh makanan ini. Temanku kebingungan, ia berhenti memperhatikan mangkuk cotonya dan menatapku penuh tanya. “Setelah makan coto Makassar ini, orang-orang biasanya merasa ingin sekali berkelahi”, kataku padanya. Karena tidak yakin, dia menuntut “ Ohh ya?!!!”. Aku diam saja.
Menikmati Coto Makassar bersama teman berbeda budaya yang baru pertama kali menikmatinya membuatku tidak bisa berkonsentrasi menikmati semangkuk coto. Setiap suapan diselingi oleh penjelasan dan pertanyaan tentang coto. Untung saja ada Dg. Rudi yang membantu menjelaskan.
Dalam hal budaya kuliner (tata cara makan), Malang (Jawa) dan Makassar tentu saja berbeda, kata Dg. Rudi. Hal ini yang membuat warung Makassar cukup sulit untuk berkembang. Dalam hal budaya misalnya, orang Jawa terbiasa mencampur makanan berkuah dengan nasi secara langsung dalam satu wadah, sementara bagi orang Makassar hal tersebut dipandang kurang pas bahkan dianggap makanan itik (Kanre kiti), penyajian makanan di Makassar memisahkan nasi dan menu berkuah, perbedaan ini lebih jelasnya dengan contoh berikut; jika anda memesan soto si sebuah warung, maka pelayan akan menyajikan semangkuk soto yang telah dicampur nasi, sementara jika memesan sop saudara (misalnya), salah satu menu berkuah khas Makassar, si pelayan akan menyajikan sop saudara dalam satu mangkuk atau wadah tersendiri, dan nasi dalam piring sendiri.
Dg. Rudi terus melanjutkan bahwa bentuk mangkuk yang lebih cekung (dalam) dan sendok bebek menyulitkan orang-orang Jawa dalam menikmati hidangan. Apalagi saat makan coto dengan ketupat, jika tidak diperhatikan, pelanggan pasti mencampur ketupat ke dalam mangkuk yang sudah berisi coto, padahal seharusnya, ketupat dibelah dua dan dicuil dengan sendok bebek kemudian dicelupkan ke dalam kuah coto.
Mendengan penjelasan ini, temanku Cuma bisa mengangguk.
Semangkuk Coto di warung milik Dg. Rudi menunjukkan suatu kenyataan menarik bagiku. Perbedaan cara makan ala orang Jawa dan Makassar mungkin telah sering ditemui, damun baru kusadari saat Dg. Rudi menjelaskannya. Coto Makassar semakin nikmat olehku, sekali lagi aku tergugah olehnya. Aku dilirik teman sambil bertanya, “Bahasa Makassar sedap apa?”.
“Nyammanna!”, kataku.
2 komentar:
aih....laparKa
hahaha, piko ngutang di mas edi ....
Post a Comment
Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)