Saya betul-betul kesulitan berbicara soal pariwisata Sulawesi Selatan (Sulsel), utamanya Makassar sebagai ibukota provinsi dan ikon yang biasanya digunakan untuk merepresentasikan Sulsel "diluar", apalagi kepada seorang yang sudah mengunjungi beberapa tempat wisata yang aduhai seperti Pantai Pangandaran, Cukang Taneuh yang lebih akrab ditelinga dengan nama Green Canyon, Pulau Komodo, dan tentu saja Bali, terakhir mereka menikmati pantai Segara Anakan di Pulau Sempu, kabupaten Malang, bersama saya (sebagai pemandu).
Kondisiku dalam menyusun jawaban diperparah lagi oleh sopir kami yang berasal dari Bali, umurnya yang masih muda membuatnya menggebu-gebu berbicara soal Kampung Halamannya, apalagi dia tinggal di kecamatan Gerokgak, pintu gerbang untuk menyeberang ke pulau Menjangan, destinasi wisata bawah laut andalan Bali yang menjadi favorit turis mancanegara.
Akhirnya kukatakan pada mereka; Jika senang dengan wisata kuliner, Makassar tujuan yang bagus! Kalau bicara soal wisata pantai, pulau dan taman bawah laut, Makassar punya kesan tersendiri yang gak kalah mengesankan.
Jawabanku menarik perhatian mereka, utamanya tentang pulau dan taman bawah laut. Kuceritakanlah pengalamanku mengunjungi pulau Lumu-lumu dan Langkai betahun-tahun silam. Pada mereka kusampaikan bahwa, teman-teman akan terkejut saat tiba ke pulau Lumu-lumu, salah satu pulau terluar di Kota Makassar yang berpenghuni, berjarak 28 km dari kota Makassar. Disana ada terumbu karang (warga lokal menyebutnya pulau karang) yang berdekatan dengan pulau Lumu-lumu. Saat air laut sedang surut, pulau karang ini menyatu dengan pulau Lumu-lumu.
Landscape Pulau Langkai, Makassar | zizuzan.blogspot.com |
Sekitar sejam perjalanan dari pulau Lumu-lumu menggunakan jolloro (Kapal kayu tradisional bermotor) ke arah barat, kita bisa menikmati keindahan pulau Langkai, 36 km dari kota Makassar. Pantai pasir putihnya menyilaukan mata saat matahari sedang terik, deretan pohon kelapa dan jejeran perahu yang tambat di bibir pantai menghadirkan kesan tersendiri. Langkai punya keindahan khas yang natural, belum lagi biota lautnya yang kaya.
“Wah, di Makassar ada pulau seperti itu yah, Cheng?”. Tanya Nita, sapaan akrab Juanita, dengan semangat. 4 teman Nita lainnya lebih banyak diam.
“Baru tau?”.
“Iya, taunya cuma Pantai Losari aja, sama itu, Taka Bonerate yah?”.
"Toraja juga bagus yah, Cheng?", sahut Monika yang sedari tadi hanya jadi pendengar saja.
“Oww, datang saja ke Makassar sekali-sekali, kalau perlu biar saya pandu lagi keliling Sulsel, asal waktu libur kuliah biar saya sekalian pulang kampung, hehehe”. Jawabku dengan aksen Makassar yang cukup kental.
Kehidupan bawah laut Pulau Langkai: Morray Eel | Sumber foto: zizuzan.blogspot.com |
Kehidupan bawah laut Pulau Langkai: Sea Creature | Sumber foto: zizuzan.blogspot.com |
Kehidupan bawah laut Pulau Langkai: Udang Mantis | Sumber foto: zizuzan.blogspot.com |
Beberapa saat kemudian, obrolan kami didominasi oleh Iboy, sang sopir yang fasih menjelaskan tempat-tempat pariwisata di Bali, utamanya pulau Menjangan. Saya sendiri sibuk memikirkan penjelasanku tentang pariwisata Makassar yang masih asing bagi mereka. Entah apa yang diketahui dan difikirkan Nita serta keempat temannya tentang pariwisata Makassar. Sedangkal itukah informasinya tentang kota anging mammiri? sementara dia mengaku sering browsing di internet untuk mendapatkan informasi baru tentang destinasi wisata alam yang "gila".
Kupikir hanya persoalan promosi saja. Toh, pariwisata membutuhkan promosi yang bagus agar penggila wisata mengetahui dan tertarik untuk mengunjunginya.
Belajar dari Pulau Sempu
Soal promosi, Pulau Sempu mungkin bisa memberikan pelajaran yang menarik. Pulau ini adalah wilayah konservasi, bukan kawasan wisata. Namun, banyak orang datang berkunjung, baik dari Malang maupun dari daerah lain, seperti teman-teman yang kupandu ini berasal dari Bandung. Saking banyak dan makin seringnya dikunjungi, beberapa warga desa Sendang Biru menyiapkan perahu kayu untuk penyeberangan, bahkan sudah menjadi salah satu mata pencaharian bagi mereka, warga yang memiliki rumah di sekitar pantai mengais rejeki dengan membuka warung ikan bakar.
Saat menyeberang dari pantai Sendang Biru ke teluk Semut, saya menyempatkan diri berbincang dengan pemandu yang disewa guna memudahkan perjalanan. Kami membutuhkannya karena diantara 12 orang (teman-teman Nita yang kupandu, 5 diantaranya camping di pantai Segara Anakan, termasuk Nita), tak ada yang mengetahui jalur trekking dari teluk Semut ke pantai Segara Anakan selain saya. Kutanyakan pada pemandu yang berumur kira-kira 40 tahun ini, berapa orang yang datang minggu ini?, dia menjawab ada 500an orang. Kutanyakan lagi apakah ada turis yang datang?, “Iya, kemarin ada beberapa”, Jawabnya sambil tersenyum.
Sang pemandu ini menceritakan bahwa ia telah beberapa kali memandu reporter televisi nasional yang datang meliput pulau sempu, ia sendiri menyatakan bahwa pulau sempu ini bukan kawasan wisata, namun karena banyaknya pengunjung yang menulis tentang pulau Sempu di internet, sehingga pulau ini dikenal banyak orang. Saya sependapat dengan sang pemandu ini, Pulau Sempu tak pernah dipromosikan oleh pihak pengelola apalagi dikembangkan dengan memperbaikin jalur treking dan fasilitas MCK di beberapa lokasi penting (alasannya tentu karena kawasan konservasi), hanya saja informasi tentangnya bertebaran di internet, baik berupa catatan perjalanan pada website atau blog pribadi maupun mempublokasikan foto/video melalui media (online) sosial sehingga banyak orang yang terdorong membuktikan keindahannya.
Wiken di Pulau Sempu:
Wisata Sulsel dari Mulut ke Mulut
Beda pulau Sempu, beda pula pulau-pulau indah di Sulsel. Kita perlu menuntut, kenapa kawasan wisata di Sulsel kurang dikenal?, kondisi ini perlu disadari bahwa pariwisata Sulsel masih menjadi hal asing bagi wisatawan domestik, apalagi dibandingkan dengan pulau Sempu yang bukan kawasan wisata.
Sumber gambar: wordofmouth.co.uk |
Seperti pulau Sempu, pariwisata Sulsel perlu dukungan catatan perjalanan dan publikasi foto atau video melalui media sosial yang dilakukan oleh wisatawan itu sendiri. Soal kekuatan pesannya, tentu saja kuat karena catatan perjalanan atau publikasi foto/video merupakan refleksi atas sajian pariwisata yang mereka nikmati.
Maksimalisasi strategi promosi WoM tentu saja tidak mudah karena promotor pariwisata adalah pengunjung/wisatawan itu sendiri, maka perlu dibangun suatu konsep dan sistem yang realistis dalam usaha ini. Misalnya mengembangkan sarana dan prasarana kawasan wisata, mulai dari tersedianya akses informasi dan kemudahan transportasi menuju lokasi wisata, pengemasan kawasan wisata yang menyenangkan dan tentunya memiliki karakteristik sendiri, hingga kesiapan masyarakat sekitar dalam menerima tamu dan menjaga lingkungan.
Setelah itu, kunjungan wisata perlu dipancing dengan menyebarkan paket promo wisata secara nasional dengan memberikan kesempatan bagi beberapa orang dari berbagai kota/daerah untuk mengunjungi kawasan wisata di Sulsel dengan biaya yang lebih murah (apalagi gratis). Jepang pernah mengamalkan strategi seperti ini karena kunjungan wisatanya menurun hingga 50% pasca Tsunami, Badan Pariwisata Jepang menyediakan 10.000 tiket pesawat gratis bagi orang asing yang mau datang mengunjungi negeri indah tersebut (Baca: Berlibur ke Jepang, yuk!).
Sumber gambar: coreography.com |
Sekarang, apalagi yang perlu ditunggu, biarkan pariwisata Sulsel menegaskan keberadaannya, mencetak kesan yang indah dan BERTERIAK melalui mulut para penggila wisata.
Produksi Simbol dan Mengabadikan Kesan
Bagian ini sebagai suplemen saja, Pemirsa! Walaupun muatannya sangat penting dalam mempromosikan pariwisata Sulsel.
Sebenarnya kita menyadari, bahwa perjalan wisata tanpa buah tangan tentu saja tidak lengkap. Namun bagi saya, dalam konteks pariwisata Sulsel, buah tangan dianggap hal sepele padahal dia mengandung pesan komunikasi tersendiri bagi wisatawan.
Souvenir Kupu-kupu khas Bantimurung |
Sayangnya, industri keratif dan kerajinan di Sulsel belum dimaksimalkan. Olehnya itu perlu pengembangan sumber daya manusia pada sektor produuksi kerajinan, mulai dari pernak-pernik, souvenir, miniatur hingga kerajinan tekstil seperti kain sutera. Efeknya bisa diperhatikan, Tana Toraja banyak dikenal karena produksi souvenir dengan moti khas serta miniatur rumah tongkonan, Sengkang-Wajo dikenal dengan industri sarung suteranya, dan Bantimurung, Maros dengan souvenir kupu-kupu dalam rupa-rupa kemasan. Sayangnya beberapa daerah lain dengan potensi pariwisata yang berkelas belum menunjukkan karakteristik budayanya melalui suatu simbol, kecuali foto pengunjung di lokasi wisata tersebut.
Jogja akan selalu dikenang melalui kaos Dagadu, Pekalongan dengan batiknya yang dingin, daerah Puncak di Bogor dengan Kerajinan Bunga dari kayu, Malang dengan boneka Singa, bali dengan brand Jogger Jelek. Lalu kampung kita punya apa? huruf G?.
Suplemen:
0 komentar:
Post a Comment
Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)