Penulis di lokasi pengepulan ikan hias. |
Sekitar jam 2 siang, beberapa orang mulai berdatangan, mereka (seperti) kompak bergantian datang ke tempat ini, kebetulan siang itu saya duduk di bale bambu disamping tempat pengepulan ikan hias yang dikumpulkan langsung dari para penyelam (nelayan ikan hias). Saat seorang nelayan ikan hias selesai mengepulkan sendiri ikan hias tangkapannya, pihak pengepul akan memeriksa; menuliskan nama atau jenis ikan dan jumlahnya lalu akhirnya dihargai sesuai dengan harga kesepakatan, atau harga umum yang berlaku di pasaran. Setelah seorang pergi, datanglah nelayan ikan hias lainnya menyetorkan hasil tangkapan mereka pagi tadi, setidaknya begitu yang kusaksikan, hari itu tak ada dua atau lebih penyelam ikan hias yang berpapasan disini, bertemu dan saling berbagi keluh dan tawa.
Beberapa nelayan ikan hias di desa ini (nelayan atau penyelam di Desa Pejarakan merupakan salah satu penyumbang Ikan Hias yang populer di Bali )sempat beristirahat, duduk dengan santai sambil bersandar di tiang atap bale-bale. Saya ikut beberapa pembicaraan dengan mereka, baik tentang pekerjaan mereka, tentang ikan hias, tentang pengalaman-pengalaman masa muda, tentang kampung mereka dan tentang Indonesia. Berpotong-potong senyum diumbar, tawa terdengar begitu saja saat memikirkan kembali nasib, mengingat kembali pengalaman, menaksir masa depan desa dan laut mereka, apalagi ketika mulai membicarakan Indonesia, nada tawa dan kesan senyum mulai berubah; mentertawai negeri.
Pengepul memeriksa jenis ikan yang baru saja dikumpulkan oleh nelayan ikan hias. |
Beberapa nelayan telah datang dan menyetorkan ikan hias tangkapannya siang itu. Ketika matahari mulai beranjak makin ke ufuk barat, seorang anak mudah berjalan dengan santai sambil melempar senyum lebar padaku, Ahmad Rusli (28), penyelam/nelayan ikan hias yang hari-harinya menebar jaring diantara karang, mengusir dan memaksa ikan hias berbagai jenis yang bersembunyi untuk keluar dan terperangkap di jaringnya.
Pemuda berkulit coklat dengan kesan sederhana ini adalah warga dusun Banyuwedang, Pejarakan, Bali. Desa ini bersebelahan (berada di sebelah barat) dengan desa Pejarakan. Siang itu, setelah menyerahkan ikan hias hasil tangkapannya kepada pengepul, dia menyempatkan diri untuk menghabiskan waktu sejenak. Sebenarnya tidak sejenak, karena saat kuajak ngobrol (sebenarnya wawancara) kami keasyikan dengan peran kami, Rusli sebagai narasumber yang banyak menceritakan pengalaman dan pendapatnya, saya sendiri sebagai pendengar kemudia yang lainnya penonton yang memperhatikan saja obrolan-obrolan kami dengan ikut berkomentar sekali-kali.
Umumnya para nelayan ikan hias di desa pejarakan, Bali, tidak memiliki aktifitas penting lagi setelah ikan hias tangkapannya diserahkan ke pengepul. Hal inilah yang memudahkan Rusli bisa duduk dan ngobrol berlama-lama bersama saya. Selain Rusli, ada nelayan ikan hias lain yang mengaku bahwa setelah datang dari menyelam dan menyerahkan ikan hias hasil tangkapannya ke pengepul, dia hanya pulang ke rumah dan menghabiskan waktu dengan keluarga, kecuali saat ada kegiatan masyarakat.
Darinya, banyak informasi kudapatkan, tidak sekadar tentang cerita-cerita penyelaman laut, nama-nama jenis ikan dan harganya, pengalaman melaut di daerah lain, biasanya disebut dengan penyelam sebrang (nyembrang). Oia, para penyelam ini dibagi ke dalam 3 kategori yakni penyelam pinggiran yaitu nelayan yang melakukan penyelaman di daerah pinggiran saja, kedalaman laut hingga 10 meter, sementara itu ada juga penyelam tengah laut yang lekaukan penyelaman hingga kedalaman 60 meter. Nah, ada juga penyelam sebrang, mereka ini adalah para nelayan yang melaut hingga ke daerah lain untuk menangkap ikan hias, Rusli sendiri pernah mengunjungi Selat Makassar, sesuai dengan tuturannya, dia pernah melaut hingga ke Papua.
Penulis foto bersama Rusli (Ali Cruz) dan ikan hias tangkapannya. |
Setelah mulai mahir, pelan-pelan Rusli mulai mencoba menangkap ikan hias dan mencoba menjualnya kepada pengepul, betapa bahagianya Rusli remaja saat mulai bisa menikmati uang dari hasil jerih payahnya sendiri, sayangnya kebahagiaan itu membutakan matanya; jalur pendidikannya macet saat duduk di kelas 1 tingkat SMA. “Saya sampai semester dua, kelas satu SMA”, ungkap Rusli sambil tersenyum.
Soal pendidikan, Ali Cruz, sapaan akrabnya, mengakui ingin sekali kembali belajar, sambil tersenyum dan menundukkan kepala dia menyatakan penyesalannya tidak menyelesaikan sekolah karena dibuai pikiran “Ahhh, ngapain sekolah kan saya sudah bisa pegang uang sendiri”. Dari nada bicaranya, kesan keinginan besar untuk belajar itu tercitra, tangannya bergerak seperti ingin menggenggam atau menepis sesuatu saat mengatakannya, walaupun pada akhir katanya soal pendidikan dia kembali pesimis dan merasa tua atau terlambat. Mungkin belum disadarinya bahwa ilmu pengetahuan tidak memandang umur dan kehidupan manusia, siapa yang mencarinya toh akan mendapatkannya, tentu dengan jalan dan perjuangan yang berbeda.
Salah satu jenis ikan hias (lupa namanya), jenis ini dihargai Rp 500/ekor |
Selain menjadi nelayan ikan hias, Rusli bekerja sebagai tourist guide sekaligus trainer untuk wisata snorkeling di pulau Menjangan, salah satu primadona wisata Bali yang dikenal dengan keindahan taman bawah lautnya. Di musim tertentu, saat tamu asing banyak berkunjung ke Bali, dia memanfaatkan kepiawaian atau keakrabannya dengan dunia di dalam air kepada para wisatawan. Pekerjaan hariannya sebagai nelayan ikan hias memudahkan usahanya menyenangkan para tamu, dia telah akrab dengan banyak jenis ikan dan terumbu karang, sehingga dia punya banyak nama dan pertunjukan.
Di kesempatan lain, saat Rusli menunjukkan dokumentasi berupa foto-foto saat memandu wisatawan asing, kutemukan sebuah wajah yang taka sing bagiku; Richard Gere. Darikulah dia menyadari telah memandu seorang actor dunia yang membintangi film-film terkenal, salah satunya Hachiko.
Tak ada yang menyangka dia dikenal sebagai pemain sepak bola yang handal, saat menyinggung tentang sepak bola, seorang penonton ikut berkomentar dan menyatakan bahwa Rusli masuk Timnas. Seorang lainnya tertawa kecil lalu melanjutkan, Timnas Desa Pejarakan.
Saat kutanyai tentang harapannya pada kehidupan masa depan, wajahnya lirih sambil mengakui bahwa dia tak punya harapan lagi, dia tinggal menjalani hidup saja. “Mau punya harapan apa, saya cuma bisa menyelam”. Pikiran inilah muara kesederhanaan hidupnya, harapannya yang kosong memaksanya memenjara rasa ingin dalam jeruji keterbatasan kemampuannya, sehingga dia cukup bekerja untuk menikmati hidup tanpa ada banyak tekanan diri akibat dorongan rasa ingin yang kadang juga memaksa; saya harus bekerja keras dan sukses, bisa beli rumah, punya mobil mewah, wisata ke luar negeri, dll.
Namun untuk Bali, khususnya bagi para nelayan ikan hias di Bali, dia memiliki harapan besar agar alam tetap lestari, “Saya harap tidak ada yang merusak terumbu karang, biar laut dan isinya sehat”. Tentu saja menjaga lingkungan tetap sehat dan indah adalah tugas semua orang, dan kepentingan semua orang, bahkan generasi akan datang yang sama sekali belum teramalkan untuk hadir sebagai manusia.
Foto bersama di balai bambu |
Rusli yang siang itu mengenakan kaos berwarna hijau muda banyak menginspirasi. Perjalananku ke Bali, tepatnya di Pejarakan terasa kurang saat mengenal sosok muda ini, keinginan untuk tinggal dalam waktu lama untuk ikut menikmati kegiatan penyelaman, mengagumi keindahan bawah laut Bali, berkenalan dengan berbagai jenis ikan dan mengumpulkan jutaan inspirasi, semakin besar, saya mulai kena serangan sindrom kangen Bali, bukan karena dunia pariwisatanya, tapi karena orang-orang dan alamnya.
Sore datang perlahan, kecerahan matahari mulai redup seketika ia disembunyikan bukit di barat, dan kami tidak harus menghabiskan sore dengan ngobrol.
0 komentar:
Post a Comment
Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)