Ilustrasi |
Perkembangan industrialisasi media yang kemudian membangun spirit kapitalisme, dapat diketahui melalui Vincent Mosco dengan istilah Spasialisasi (spatialization). Istilah tersebut merupakan sebuah proses atau entry concept yang digunakan Mosco untuk mengamati perkembangan kapitalisme di sektor industri media. Proses tersebut dalam kajian ekonomi-politik media didefinisikan sebagai perpanjangan tangan kekuasaan korporasi terhadap perusahaan media massa secara institusional (sistem kepemilikan).
Dalam masa perkembangan kapitalisme media di zaman Orde Baru, konsentrasi modal dan status kepemilikan dijalankan melalui tiga proses, yakni commercialization, liberalization, internationalization.
Commercialzation (Komersialisasi) Pelaksanaan sistem pemerintahan pada zaman Orde Baru sangat berpengaruh terhadap ideologi media massa, sistem anti komunis dimanfaatkan oleh Negara-negara kapitalis untuk mendukung pembangunan di Indonesia. Media massa kemudian terlibat dalam proses komersialisasi melalui kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru.
Peralihan dari “pers perjuangan” atau “pers politik” mejadi “pers industri” antara lain difasilitasi oleh pencabutan ketentuan produk rezim Orde Lama yang mengharuskan semua media untuk berafiliasi dengan organisasi atau partai politik dimana staf redaksi harus didominasi oleh organisasi atau partai politik tertentu (keputusan Menteri Penerangan RI No. 29.1965). pencabutan ketentuan tersebut mendorong pers untuk semakin berorientasi ke pasar dan dikelola secara komersial. Maka, pada masa Orde Baru, para wartawan semakin menempatkan aspek bisnis sebagai bagian integral dari kegiatan jurnalistik mereka. Hal tersebut menjadi sebuah prasyarat yang berlangsung secara kultural, dimana media massa yang bertahan adalah mereka yang tidak meninggalkan aspek bisnis atau komersial dalam perusahaan mereka.
Liberalisasi Negara memiliki peran yang dominan dalam proses liberalisasi industri media, hal tersebut dapat dilihat dari jumlah lisensi yang diberikan untuk mendirikan perusahaan pers. Tetapi dengan kewenangan Negara untuk memberikan lisesnsi, barriers to entry ke pasar industri media tidak sepenuhnya ‘alamiah”. Kewenangan tersebut mengakibatkan banyaknya terjadi kasus-kasus pemberian lisensi secara selektif sebagaimana halnya kasus-kasus pencabutan izin terbit yang didasarkan pertimbangan politis, tercatat cukup banyak. Maka, mereka yang terlibat dalam industri media, harus memperhatikan sisi politik perkembangan media dibandingkan hanya memperhatikan persaingan bisnis antar industri media semata.
Kebijakan liberalisasi yang secara selektif diterapkan oleh rezim Orde Baru jelas menguntungkan kalangan ellite penguasa, khususnya para kroni serta anggota keluarga Soeharto. Di sektor industri media cetak, di samping Bob Hasan yang mendanai majalah Gatra, Siti Hardijanti Rukmana memiliki tabloid Wanita Indonesia, beberapaa keluarga Soeharto yang lain juga terlibat dalam penanaman modal industri media cetak.
Masuknya kroni dan keluarga Soeharto ke sektor industri media dapat diamati sebagai sebuah proses akumulasi dan pemusatan modal dalam perkembangan kapitalisme selama masa Orde Baru. Hal ini disebabkan oleh, integrasi vertikal di sektor ekonomi dimana para kroni dan keluarga Soeharto yang menanamkan modal yang biasanya memanfaatkan industri media untuk memperoleh akses ke konsumen melalui periklanan.
Integrasi vertikal antara elit penguasa atau konglomerat dan pers dalam industri media semasa rezim Orde Baru merupakan fenomena yang jarang terjadi (bahkan menjadi fenomena yang unik) dalam Negara-negara kapitalis berkembang di dunia ketiga. Fenomena tersebut muncul sebagai sebuah bagian dari karakteristik spesifik ekspansi kapitalisme era Orde Baru. Kecenderungan elite penguasa untuk mengontrol dan menguasai industri media umumnya dilakukan melalui kepemilikan bersama antara pemerintah dan pihak swasta.
Internasionalisasi Proses internasionaliasasi industri media merupakan sebuah usaha dimana sebuah Negara mengintegrasikan diri sebagai industri media kapitalis, dalam konteks Indonesia dalam usaha internasionalisasi dengan Negara-negara dunia ketiga, pemerintah rezim Orde Baru memberlakukan izin bagi agen perusahaan-perusahaan periklanan multinasional untuk beroperasi di Indonesia sekitar awal dasawarsa 1970-an, proses ini ditandai dengan masuknya agen-agen periklanan transnasional. Dari 10 perusahaan periklanan transnasionaal terbesar dunia, tercatat 5 diantaranyan melakukan operasi bisnisnya di Indonesia. Selain itu, rezim pemerintahan Orde Baru juga menerbitkan peraturan pemerintah No. 20.1994 yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan yang telah menetapkan sektor industri media sebagai sektor yang terbuka bagi modal (pemodal) asing serta kepemilikan mayoritas modal asing.
KONTRADIKSI INDUSTRI PERS PADA ERA ORDE BARU
Pada dasarnya, Pemerintah Orde Baru selalu (berusaha) menempatkan pers sebagai apparatus persuasif, atau ideological state apparatus untuk kepentingan pemeliharaan dan reproduksi struktur politik otoritarian yang telah dibangun. Semua (industri) media massa dirangkul dan dijadikan partner pemerintah dalam usaha pembangunan, media kemudian menjadi instrumen hegemoni penguasa dalam pola pemerintahan Orde Baru.
Media sebagai instrumen hegemoni diharapkan mampu membuat setiap warga Negara menempatkan diri dalam “horizon” pemikiran Orde Baru, menerima “ideologi pembangunan”, dan mempersepsikan distribusi kekuasaan dalam struktur otoritarian Orde Baru.
Untuk menjaga kelangsungan dan efektifitas pers sebagai instrument hegemoni, berbagai kontrol telah atau pernah diterapkan oleh pemerintah Orde Baru. Namun posisi pers yang hidup di lingkungan kapitalisme pemerintah Orde Baru pada masa itu tidak solid (struktur industri pers di Indonesia), monolitik, dan statik.
Interaksi antara pemerintah dan pelaku industri media mulai memperlihatkan kenyataan kontradiktif, dimana hubungan antara pers dan rezim penguasa dianggap timpang. Bagaimanapun juga, dalam realitasnya, pemerintah tidak bisa menggunakan pers sebagai instrument persuasive secara leluasa, walaupun pemerintah dapat menentukan pemberian atau pencabutan lisensi pers. Hal tersebut disebabkan oleh posisi pemerintah dan pers sebagai capital venture yang beroperasi dalam sebuah struktur industri kapitalis, yang tidak selalu memfasilitasi tetapi juga mengekang. Pers akan kehilangan market bila semata-mata memuat informasi-informasi versi penguasa, dan penguasa akan kehilangan kredibilitas di mata khalayak bila ia hanya memuat informasi sepihak.
Secara umum, kontradiksi yang terjadi di industri media massa mencakup sejumlah dimensi;
Pertama, kontradiksi yang bersumber dari posisi ganda pers, di satu pihak sebagai instrumen hegemoni dalam struktur otoritarian Orde Baru, di pihak lain sebagai institusi kapitalis dalam sektor industri media. Sebagai institusi kapitalis yang berorientasi pada keuntungan dan akumulasi modal, pers harus fokus pada pasar dan bersikap sensitif terhadap dinamika persaingan pasar.
Oleh karena itu, kontradiksi posisi pers di atas mempengaruhi perilaku industri media dalam menanggapi kebutuhan konsumen, misalnya media televisi berusaha menyajikan program yang diproduksi untuk menjalankan atau menghegemoni rakyat, di sisi lain televisi mengejar keuntungan pasar dengan menampilkan program acara yang lebih berani menyampaikan informasi politik.
Kedua, benturan kepentingan untuk melakukan ekspansi kapitalisme di sektor industri media dan kepentingan kelompok pemilik modal, khususnya para kroni yang mulai menanamkan modalnya di industri media.
Kepentingan yang pertama menuntut mobilisasi pemilik modal sebanyak mungkin untuk melakukan investasi atau ekspansi di sektor media sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan politik rezim penguasa. Namun pemilik modal yang memenuhi “kriteria politik” tidaklah sedikit, termasuk pemilik modal yang mampu melakukan investasi di sektor televisi.
Kontradiksi ketiga menyangkut posisi perkembangan kapitalisme Orde Baru sebagai bagian dari sistem ekonomi kapitalis dunia. Impuls ke arah liberalisme sistem ekonomi global serta prinsip perdagangan bebas lintas batas wilayah Negara telah memunculkan kontradiksi di sektor media, yakni antara tuntutan untuk membuka diri terhadap investasi modal asing dan kepentingan untuk melakukan proteksi terhadap kepentingan segmen kapitalis domestik tertentu yang akan terpukul oleh masuknya modal besar dari luar.
Referensi :
Dedy N. Hidayat, Pers dalam Kontradiksi Kapitalisme Orde Baru, (kumpulan tulisan dalam buku berjudul Pers dalam "Revolusi Mei" Runtuhnya sebuah Hegemoni) Gramedia Pustaka Utama, 2000
1 komentar:
Iye ne..saat ini susah cari Media yang benar2 netral dan punya idealisme..ckckckc..ada kontrol sana-sini...hedeehhh
Post a Comment
Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)