Wednesday, March 9, 2011

Realitas Dalam Secangkir Kopi

Apa sih kopi itu?
Pokoknya, yang berkenan di kepalaku urusan warung kopi adalah inspirasi, bukan karena setiap ngopi di warung aku dihadang inspirasi yang legit, tapi banyak teman yang melampiaskan kegusarannya di luar warung kopi dengan ngopi di warung kopi, atau warung nasi pun jadi.

Ngopi bukan berarti tenggorokan kita akan diguyur kopi, teh, susu, soda gembira, josua ata wedang jahe pun jadi. Dan ngopi tidak harus di warung tentunya.

Aku doyan kopi, seleraku berubah sesuai waktu, suasana dan cuaca, ada kala aku haus akan teh hangat, di lain waktu susu jahe terasa lebih kena, di pagi hari lebih cocok dengan kopi hitam tanpa gula, dan berbagai macam selera lainnya. Saat ini, aku lagi getol-geetolnya menikmati kopi hitam tanpa gula.

Apa itu warung kopi?
Anggap saja warung kopi hari ini adalah masjid di zaman nabi, disana terjadi segala transaksi duniawi, mulai dari obrolan ringan, diskusi kritis, perdagangan sampai pada hal hiburan duniawi. Pokoknya segala hajat manusia sepertinya diputuskan di institusi sosial bernama warung kopi ini. Diskusi mahasiswa rasanya tak renyan jika tidak di warung kopi. Barainstorming, curah gagasan, untuk merumuskan suatu konsep organisasi lebih licin jika dibahas di warung kopi. Astaga! Aku bermimpi, surga itu adalah warung kopi.

Kopi, sahabat, rakyat dan buku
Ngopi (andai saja nama orang) telah menjadi imam aktifis-aktifis yang bersahabat, mereka membangun label sendiri dengan ngopi, bukan ngopi yang kritis menurutku, karena terjebak oleh bingkai warung. Ngopi secara tidak langsung ditanggapi sebagai sebuah kegiatan berkumpul bersama sahabat di sebuah warung yang menyediakan menu kopi dan sahabatnya yang lain. Perkumpulan itu membahas segala tetek bengek rakyat dengan panduan teori-teori dari buku-buku. Jika seorang sahabat menikmati secangkir kopi pahit tanpa gula, maka dia akan menjadikan rakyat sebagai pemanisnya, atau jika tidak sedang membicarakan rakyat, dia akan menyulap luna maya atau aura kasih sebagai gula untuk kopinya.

Atau jika sahabat kita ini tidak minum kopi, susu atau the atau jeruk misalnya, dapat diperkirakan kalau diskusi akan berlangsung instan, biarkan dia memimpin barisan gembar-gembor, perhatikan bagaimana dia memoles kata-katanya dengan manis susu atau gula dalam segelas tehnya.

Itu yang kupikirkan.

Hanya ada kopi dalam cangkir, jika tidak, selebihnya adalah udara.
Ini kenyataan, di dalam segelas cangkir itu hanya ada bubuk kopi halus yang diseduh dengan air mendidih, tak ada unsur magis yang menjadi faktor datangnya inspirasi, atau jangan bilang kalau kopi itu adalah kendaraan inspirasi, semakin kita menikmatinya, semakin laju inspirasi datang.

Ini kenyataan, di dalam cangkir Cuma ada kopi atau jika ada ruang yang lowong, selebihnya adalah udara. Mau tahu bagaimana aku menyembunyikan sebuah makna dalam cangkir itu? Sederhana saja.

Di warung kopi, Cuma ada kata-kata, jika ada ruang yang kosong, maka sisanya pasti kentut. Silahkan Verifikasi sendiri, ini kenyataan?

Astaga… kenapa kita tidak coba sisi lain untukmemandang?Seperti halnya cangkir kopi dengan permukaan yang bulat, kita akan melihat kesamaan sisi, depan, belakang, kiri maupun kanan. Itu menjadi karakter secara diam-diam, kenapa telinga cangkir harus dihilangkan?

Akhirnya…Seperti hitam kopi (merujuk biji kopi) sehitam atau segelap itulah pikiran kita kadang kala, kita menghipnotis diri kita sendiri dengan bayang-bayang, betapa menyenangkannya bercanda tawa di warung kopi, atau betapa loyalnya mahasiswa yang melakukan rapat di warung kopi, atau alasan lain misalnya bahwa kopi atau ngopi telah menjadi suatu gaya yang sangat membudaya, sehingga kita akan tampak atau merasa sangat orisinil sebagai penganut bangsa jika berdiam di warung kopi menikmati kopi hitam (kesannya akan berbeda lagi jika kopi dengan warna berbeda).

Namun, sejauh apa yang kita rasakan, perlu ditelaah dahulu mana bubuk kopi, dan mana air putih yang diseduh ke dalam sebuah cangkir, sekeruh atau segelap-gelapnya kopi dalam cangkir, seorang penikmat kopi akan bisa merasakan, bagaimana partikel-partikel kopi dan air (gula jika menggunakan gula) tidak pernah menyatu seluruh dalam wadah itu. Tidak!

Akhir yang terakhir adalah, warung kopi bukan urusan secangkir kopi dan beberapa lembar uang semata, kita tak boleh melupakan kesejatian yang akan habis dilahap oleh citra kesejatian. Di warung kopi, kita tidak boleh luluh di hadapan romantisme kemudian melupakan makna, itupun jika kita benar-benar penikmat kopi yang berkarakter petarung, makna tidak akan sejernih air putih, dia harus dalam, melewati rentetan simulakra yang menjelma sebagai parasit kepuasan. Tidak!


Tirta rona - Malang (berusaha menjawab kerisauanku) Maret 2011

1 komentar:

Ipul dg. Gassing said...

wuihh..dalam sekali..
:D

saya suka paragraf terakhirnya, ternyata minum kopi itu bisa salam sekali maknanya ya..?

mantap !!

Post a Comment

Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)

 

Alternative Road Copyright © 2012 -- Template was edited by Cheng Prudjung -- Powered by Blogger