Saturday, November 5, 2011

Dibalik Ibadah Haji yang Semarak

ibadah haji
Ibadah haji
Malam ini mungin banyak orang sedang sibuk bercengkrama di rumah bersama keluarga tercinta, bebeda denganku yang menyiapkan hari raya Idul Adha hanya berdua dengan seorang istri. Diantara kami, Ebiet G Ade yang tak mengenal siap kami, melantunkan tembang-tembangnya dengan penuh damai.


Catatan ini  senada dengan catatanku yang telah kupublikasikan sebelumnya, silahkan dibaca juga: Merefleksikan Simbol Ritual di Hari Raya Iedul Adha.

Sambil mendengarkan suara si Ebiet, kubaca beberapa berita dan opini di Kompas terbitan 5 November 2011, salah satunya menarik perhatianku, sebuah opini berjudul “Ketika Malaikat Bicara haji”, ditulis oleh Syafiq Basri Assegaf, seorang peneliti di Pusat Studi Islam Dan Kenegaraan Universitas Paramadina. Disana ia menulis sebuah kisah pada suatu musim haji, dua malaikat di dekat ka’bah bercengkrama;
- Berapa jumlah orang yang naik haji tahun ini?
+ enam ratus ribu
- berapa yang diterima hajinya?
+ Hanya dua orang, salah satunya bahkan tidak menunaikan hajinya ke sini.
Kisah ini diriwayatkan oleh ulama Abdullah bin Mubarak yang bermimpi bertemu dua malaikat saat ia tidur di dekat ka’bah. Dalam mimpi itu, malaikan menyatakan: seorang yang tidak pergi tapi diterima hajinya itu adalah Ali bi Al Mufiq, orang Damaskus.

Akhirnya, Abdullah pun mencarinya, ternyata Al-Mufiq adalah tukang semir sepatu yang menyerahkan 3.000 dinar hasil jerih payah yang ditabungnya untuk bekal haji kepada seorang tetangga dengan anak-anak yang sudah tiga hari kelaparan.

Kisah di atas sungguh menggugahku, lantunan lagu Ebiet kalah menarik oleh kisah itu, yah di masyarakat maju jaman sekarang, kisah tersebut tentu saja menggugah. Bagaimana tidak, Seorang ibu di Surabaya yang membela anaknya karena tidak lulus akibat tidak ikut menyontek kunci jawaban pada ujian nasional saja menjadi gempar beberapa bulan lalu. Atau cerita tentang seorang anak jalanan penjual tissue yang jujur, hidup di kota Jakarta yang ramai dibicarakan di forum Kompas beberapa minggu lalu.

Masih adakah yang mau berkorban seperti Al-Mufiq pada zaman ini? semoga masih ada, Cuma kita tidak pernah mengenalnya saja, media massa terlalu sibuk memberitakan Jakarta dengan segala tetek bengeknya. Pertanyaan tersebut kusampaikan menanggapi keinginan orang-orang berhaji, tidak ada masalah mereka berhaji atau tidak, toh itu adalah ibadah pribadi mereka, uang mereka sendiri (kecuali uang hasil korupsi tentunya). Persoalannya, apakah asalan mereka berhaji?

Mengingat masyarakat sekitarku, di Makassar, haji memang sebuah ibadah yang belum tentu dapat dijalani oleh semua ummat manusia, makanya di dalam rukun Islam, haji diperkecualikan kepada mereka yang kurang mampu, namun sebagian yang lain sepertinya tidak murni berhaji sebagai sebuah perjalanan ibadah, lebih kepada sebuah tuntutan sosial. Silahkan diamati, seorang haji (yang telah menunaikan ibadah haji) pada suatu masyarakat menempati suatu ruang sosial sendiri, selain memiliki title baru, mereka memperoleh respon sosial yang berbeda, lebih dihormati atau apalah.

Inilah yang perlu direfleksikan kembali, jutaan muslim Indonesia menghamburkan uang mereka untuk memperoleh title haji tanpa jaminan mabrur. Mengapa mereka tidak memberikan uangnya kepada orang lain yang telah menanam harapan berhaji dengan sungguh-sungguh tapi tidak mampu karena kondisi mereka yang tidak mampu menabung.

Jika anda pernah membaca buku “Makassar Nol Kilometer” boleh diingat-ingat kembali tulisan Ilham Halimsyah berjudul “Assalamu ‘alaikum, Pak Haji!”, disana dia menceritakan pengalamannya menjemput famili yang baru datang dari Mekkah melaksanakan ibadah haji. Dalam catatannya itu, dia menceritakan orang-orang yang datang bergerombol menjemput jamaah yang baru pulang dari tanah suci, mereka datang menyambut walaupun tidak ada sanak famili mereka disana, ada orang yang sengaja mendekatkan tangan mereka ke bus yang memuat para jamaah, berharap dapat berjabak tangan, dengan itu mereka percaya bahwa berkah berhaji dapat mereka nikmati, lebih beruntung lagi jika musim haji tahun depan mereka bisa mengikuti jejak para jamaah yang baru sampai di tanah air itu.

ibadah haji
Dibalik Ibadah Haji yang semarak
Sungguh semarak. Mungkin berbeda dengan daerah para pembaca lain yang tidak pernah hidup di Makassar. Namun, bagitu tak begitu banyak bedanya, Haji di benakku adalah orang tua lemah berbau tanah. Kecuali mereka yang memang merubah sikapnya menjadi lebih bijak olehnya, sehinggac kedamaian spiritual yang dialaminya di tanah suci, dapat kami nikmati di tanah air, dinikmati oleh kami yang lebih bercita-cita ke London atau California dibandingkan ke Mekkah, dinikmati oleh kami yang memilih Tequila, bir atau semacamnya dibandingkan air zam-zam, dibanding oleh kami yang lebih menyenangi kata damai dibandingkan kenyataan yang damai itu sendiri.

Membicarakan soal haji membuatku ingat kepada kedua orang tuaku yang telah menanam niat untuk berhaji beberapa tahun lalu. Entah jumlah tabungannya telah sampai mana, masih di indonesiakah? Atau telah menyebrang hingga ke India?. Ada juga keinginan besar menyelesaikan studiku cepat-cepat agar mereka punya kesempatan menabung tanpa terbebani oleh biaya kuliahku lagi.

Lalu?

1 komentar:

Anonymous said...

okk

Post a Comment

Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)

 

Alternative Road Copyright © 2012 -- Template was edited by Cheng Prudjung -- Powered by Blogger