Friday, December 30, 2011

Konsekuensi Sosial dan Kultural Televisi


Konsekuensi Sosial Televisi
Konsekuensi sosial televisi sebagai teknologi komunikasi bisa dilihat pada berubahnya hubungan individu dengan individu, individu dengan komunitas, individu dengan lembaga sosial (seperti kelurahan, kecamatan, kabupaten propinsi dan negara), individu dengan media massa, komunitas dan media massa, komunitas dengan lembaga sosial, tentu saja setelah pemakaian teknologi komunikasi. Adanya perubahan hubungan tersebut, tidak pernah direncanakan oleh konsumen, hanya saja para pengguna atau masyarakat beradaptasi atas perubahan hubungan sebagai pengalamannya berinteraksi dengan televise sebagai media massa yang juga diakses oleh oreng lain (massa). Adaptasi tersebut akhirnya mewujudkan suatu system makna sendiri kemudian direkonstruksi ke dalam kehidupan sehari-harinya sehingga perubahan hubungan yang terjadi seolah-olah datang begitu saja. Sehubungan dengan kenyataan di atas terdapat dua konsekuensi sosial televisi yang penting, yaitu:

1.      Berubahnya (sensitifitas) Hubungan Sosial
Jika hubungan antara dua komponen masyarakat berubah, katakanlah antara seorang individu dan individu lain karena televisi, maka sudah terjadi konsekuensi sosial. Bisa saja perubahan itu berawal dari sense dia mengenai orang lain. Tetapi, pada saat seorang individu mulai memikirkan sensenya tentang orang lain, menurut Steven G. Jones, sesungguhnya dia juga mernikirkan sense dia tentang siapa dirinya, siapa dirinya di antara orang-orang lain dan ingin menjadi apa dirinya (1998:2). Kalau sudah begini, perubahan hubungan sosial tersebut berasal dari konstruksi seorang individu tentang individu lain, tentu saja sebagaimana representasi suatu masyarakat dalam tayangan acara televisi.
Persoalan yang barangkali muncul adalah, apakah perubahan hubungan sosial karena pemakaian teknologi komunikasi mengarah pada kebaikan? Tidak mudah menjawabnya. Yang jelas, sebuah teknologi komunikasi (tentu saja televise salah satunya) selalu memiliki efek samping. Misalnya, pengaruh televisi dengan program hiburan lawak, atau sejenisnya banyak mengandung umpatan atau ejekan kepada orang jelek rupa, sehingga dalam keseharian audiens, penonton bias jadi membatasi pergaulan mereka hanya pada orang-orang yang baik rupa saja.
Atau dalam kehidupan matrialistik ala televisi, keterbatasan hubungan atau keterbukaan hubungan seseorang dipengaruhi oleh gaya hidup dan pengaruhnya di tengah masyarakat atau komunitas. Perbedaan gaya hidup sangat mempengaruhi sensitifitas hubungan sosial.
Konsekuensi sosial lainnya adalah melalui bantuan komputer dengan bantuan internet, televise makin mudah menjadi referensi, sehingga untuk proses pembelajaran atau pendidikan mengenai suatu hubungan antar masyarakat atau komunitas, audiens dengan mudah dapat mengimitasi perilaku dari apa yang ditontonnya di televisi. Hal ini mendorong rusaknya pemahaman atas realitas semu yang mengakibatkan biasnya dunia nyara dan dunia fantasi/kreasi manusia yang ditampilkan oleh televisi.

2.      Transformasi Sosial.
Televisi mendorong munculnya transformasi sosial dari tradisionalisme menuju keterbukaan informasi (demoktarisme).
Dengan keterbukaan informasi, pelan-pelan masyarakat akan terbuka untuk dunia luar sehingga interaksi antar masyarakat pun terjadi, dalam proses interaksi ini, saling mempengaruhi atau penyetuan budaya (akulturasi) membuat suatu nilai yang dianut oleh masyarakat tertentu tentu saja akan berubah.
Hadirnya masyarakat yang yang terbuka dan mulai demokratis, akan bersikap pluralistic menanggapi setiap fenomena sosial yang mencerminkan keterlibatannya dalam masyarakat. Misalnya posisi atau peran masyarakat dalam politik pemerintahan (proses terwujudnya demokrasi) akan mendorong terbentuknya pemerintahan yang terbuka (open government) pula. Pemerintahan yang terbuka sudah dianut oleh banyak Negara demokratis. la ditandai dengan, seluruh kegiatan pemerintah harus bisa diikuti dan dipantau oleh khalayak melalui televisi (dan media lain tentu saja) dan  informasi yang dikuasai oleh pemerintah dapat disaksikan oleh audiens atau khalayak. Dengan demikian, tiga parameter utama pengelolaan negara yang baik (Goodgovernance), seperti akuntabilitas, transparansi dan partisipasi dipenuhi oleh pemerintahan yang terbuka. Goodgovernance sendiri sekarang sudah menjadi salah satu ukuran eksistensi sebuah negara.
Transformasi sosial lainnya adalah berubahnya pandangan masyarakat terhadap pemahaman akan Gender, eksistensi kaum wanita menunjukkan bahwa mereka dapat tampil eksis, walaupun banyak perdebatan yang menyebutkan bahwa televisi memanfaatkan kecantikan perempuan untuk menarik perhatian penonton demi kepentingan rating/iklan. Sebenarnya ada banyak pengaruh ideologis yang mendorong terjadinya transformasi sosial di masyarakat.

Konsekuensi Kultural Televisi
Sebagaimana telah sering diulangi dalam catatan analitis ini, bahwa televisi berperan atas hadirnya realitas semu yang membuat penonton atau khalayak kebingungan menentukan mana kenyataan yang benar dan mana yang semu, pelan-pelan fantasi realitas televisi mulai menjadi keinginan atau mendorong halayak muntuk mengadaptasi nilai yang ilutif ala televisi ini.
Lebih jauh, konsekuensi cultural televisi juga akan dipaparkan dengan mengajukan dua konsekuensi besar.
1.      Perubahan Sistem Nilai dan Norma
Ada banyak sekali nilai dan norma yang ditawarkan oleh televisi untuk para penontonnya, banyaknya program acara dan beragamnya production house yang menancapkan idenya kepada penonton, menjadikan penonton bak pengebara di hutan rimba.
Dengan banyaknya realitas yang terpanpang di kotak ajaib tersebut, pera penonton jika memahaminya dapat saja memilih dengan indicator penilaian tersendiri, mana nilai atau norma yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata, namun jika lalai, perilaku atas imitasi dari realitas semu ini akan merubah kehidupan kita.
Contohlah misalnya popularitas boyband yang kian marak, setiap remaja mulai ditarik memasuki pusaran tersebut, sehingga setiap remaja seperti ingin membuat atau menjadi boyband dibandingkan jadi presiden dan mengembangkan Negara Indonesia.
2.      Dehumanisasi
Ada kemungkinan konsekuensi televisi mendorong lahirnya dehumanisasi atau kurangnya penghormatan seseorang terhadap orang lain. Konsekuensi ini dipengaruhi oleh konsekuensi di atas. Dehumanisasi dapat dilihat dengan jelas ketika pengaruh iklan atau tayangan komersial atau kriminal ditayangkan.
Jika di ranah sosial dikenal istilah perubahan perilaku, secara cultural perubahan ini didorong oleh perubahan pemahaman. Dengan televisi terjadi perubahan pemahaman terhadap manusia itu sendiri. Dalam memandang manusia, seseorang akan mengikutkan aspek lain untuk memutuskan bagaimana menanggapi orang tersebut. Misalnya, jika penonton film action, penonton akan melihat bahwa si penjahat pasti tak akan pernah menyesali perbuatannya dan akan terus bersikap jahat hingga dia mati, dan si pahlawan akan menjadi pujaan.
Pikiran bahwa penjahat tidak akan berubah dan selamanya akan menjadi penjahat adalah pikiran yang dehumanis yang menjadikan manusia hidup menerima kenyataan bahwa dia tak dapat merubah nasib, padahal kemungkinan si penjahat untuk menjadi baik akan tetap ada.
Dapat dilihat perilaku masyarakat di kehidupan nyata, pesan orang tua terhadap anaknya biasanya mengingatkan bahwa jangan berteman dengan anak yang nakal. Sehingga orang jahat dihindari, termarginalkan dan tidak lagi diajak dalam suatu aktifitas sosial.

0 komentar:

Post a Comment

Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)

 

Alternative Road Copyright © 2012 -- Template was edited by Cheng Prudjung -- Powered by Blogger