Citra tidak lepas dalam kajian-kajian kritis terkait dengan representasi, kajian simbolik, refleksi makna dan hubungan-hubungan sosial, Citra menjadi sebuah hal yang kharakteristik, menawan namun sejatinya mengantar masyarakat pada realitas yang semu, kesemuan realitas akhirnya memudahkan khalayak untuk digiring menuju suatu kepentingan tertentu, jika konsep atau konteksnya adalah iklan komersil, maka titik semu dari simulasi realitas akan menjadikan masyarakat sangat mudah digiring pada suatu kepentingan kapitalistik.
Pada ranah politik, titik semu tersebut akan menguntungkan kelompok politik tertentu untuk mengantongi konstituen sebanyak-banyaknya.
Citra sebagai salah satu jenis simbolisasi dalam sebuah iklan, adalah sebuah representasi verbal maupun visual. Oleh karena itu, pencitraan bisa berbentuk verbal seperti misalnya orasi atau brand politik, judul kampanye atau kata kunci politik lainnya, dan juga bisa berbentuk piktorial atau visual.
Menurut Daniel Boorstin, pemikiran tentang citra atau image tidak bisa dilepaskan dari perkembangan teknologi media. Di dalam bukunya, The Image, Boorstin mengatakan bahwa, perkembangan teknologi media telah menyebabkan terjadinya graphic revolution, dimana teknik-teknik atau reproduksi gambar telah mengubah karakter citra atau image menjadi semakin penting. Citra semakin lama semakin sophisticated, persuasif, dan kini citra ikut mengatur pengalaman dan pemahaman manusia melalui sebuah cara signifikansi. Dalam hal ini, citra menunjuk pada impresi publik yang terbentuk atau terjalin dengan bantuan teknik-teknik visual. Kini citra menjadi sesuatu yang lebih menarik daripada sesuatu yang diacunya atau objek asli yang direpresentasikannya. The shadow become the substance.
Efek Media
Ditinjau dari pesan yang disampaikan media, teerdapat beberapa efek media massa yang menarik diperhatikan untuk membantu membongkar bagaimana usaha membangun citra para politisi dalam iklan politik.
a. Efek Kognnitif
Efek kognitif adalah akibat yang timbul pada diri individu yang terkena terpaan media yang sifatnya informatif bagi dirinya. Dari semula tidak tahu menahu menjadi tahu, ini berarti melalui media, khalayak akan memperoleh gambaran atau informasi tentang orang, kelompok dan peristiwa atau momentum atau sebagainya.
Menurut Marshall McLuhan, media massa merupakan realitas tangan kedua (second hand reality). Artinya, bahwa realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi. Dari sini, kita dapat mengingat kembali apa yang telah disampaikan semula, bahwa media atau iklan tidak melakukan kebohongan, namun tidak pula menyampaikan suatu kebenaran yang realistik.
Efek ini berbahaya jika khalayak telah percaya pada suatu media tertentu yang menjadi sumber referensi informasi atau pengetahuan umum terkait masyarakat atau kehidupan orang lain di tempat berbeda. Dengan seperti itu, khalayak dengan mudah digerakkan dan dibentuk melalui pesan media.
b. Efek Afektif
Efek afektif mengacu pada aspek emosional atau perasaan. Efek ini kadarnya lebih tinggi dibandingkan efek kognitif. Maksudnya adalah, khalayak tidak sekedar tahu tentang kondisi suatu masyarakat atau kehidupan, namun khalayak juga bisa merasakannya. Artinya bahwa, efek kognitif membuat suatu rangsangan emosional terhadap khalayak.
c. Efek Behavioral
Efek behavioral mengacu pada perilaku, tindakan atau kegiatan khalayak yang tampak pada kegiataan sehari-hari. Efek ini meliputi antisosial dan prososial.
Dari hasil penelitian Bandura (1960-an) menunjukkan film-film dan televisi dapat mengajarkan perilaku agresif pada anak-anak. Mereka yang telah dirangsang oleh adegan kekerasan melalui televisi cenderung lebih agresif. Studi yang menghasilkan kesimpulan ini disebut teori stimulus.
Demikian tiga efek yang timbul atas respon khalayak terhadap pesan media, sepintas tidak ada masalah dengan penjelasan ketiga efek tersebut. Namun, (apalagi pada konteks politik) efek tersebut tentu menentukan respon publik terhadap suatu partai tertentu, semisal efek behavioral yang ditimbulkan oleh sebuah iklan politik yang mengakibatkan khalayak menjadi lebih agresif lagi, agresifitas tersebut mampu memicu konflik antar kelompok. Menjadikan suatu kelompok politik tertentu menjadi tertutup dan tidak mampu menerima kondis kelompok politik lainnya (antisosial).
Iklan Politik yang mendidik, sebagai suatu etika; adakah?
Membicarakan etika iklan politik tentunya tidak lepas dari berbagai tinjauan aspek moral dan nilai-nilai yang dianut suatu masyarakat tertentu. Etika iklan lebih teknis jika dipahami hanya sebatas layak atau tidaknya sebuah iklan politik tersaji, dan berbagai aturan etis lembaga-lembaga penyiaran.
Namun secara umum, iklan (politik) mencoba membangun suatu pengaruh dimana image, menjadi suatu alat untuk menarik perhatian khalayak terhadap tokoh politik tertentu. Dihadapan kamera, atau di tumpukan kertas Koran/majalah, para politikus berusaha berlagak penuh sopan santun dan ramah, penuh perhatian terhadap rakyat dan sepertinya terbukti memiliki kepedulian terhadap rakyatnya.
Suatu produk iklan tidak pernah berbohong, namun iklan juga bukan penyampai kebenaran yang dapat menjadi referensi. Sebagaimana karakter iklan yang telah disampaikan dengan panjang lebar di atas, dapat ditinjau sebuah pemahaman, apakan iklan (politik) telah hadir secara etis di hadapan kita?.
Sejauh ini, tidak ada suatu ukuran yang dapat digunakan secara umum untuk menghakimi kondisi etis suatu iklan, kecuali jika dilakukan suatu studi khusus terkait dengan iklan tertentu yang pernah dimuat oleh media massa. Maka dengan ini, perlu ditarik sebuah gagasan bagaimana iklan politik mengadopsi etika edukasi dalam setiap penampilannya. Meninjau apa yang telah disampaikan terkait dengan efek pesan media terhadap khalayak, dapat diperhatikan bagaimana efek kognitif berdampak pada khalayak dengan memberikan informaasi terbaru akan suatu hal.
Dalam konteks iklan politik secara umum, efek kognitif yang diinginkan adalah suatu pendidikan yang tampil sebagai semangat iklan, tidak lagi sekadar perkenalan diri dan menyatakan kesediaanya, dan dengan senyum manis mengajak masyarakat untuk mendukung dia pada pemilu mendatang.
Lalu bagaimana dengan iklan politik yang mendidik?, pembentukan citra di masyarakat harusnya dibuat dengan suatu keadaan yang ril, dibandingkan tipuan kamera, misalkan seorang calon hanya berpose atau direkam dalam sebuah studio, kemudian diberikan efek latar belakang dst. Calon sebaiknyaa menggunakan latar belakang asli dan suatu kondisi yang nyata, berangkat dari suatu latar belakang budaya tertentu, tidak dengan latar belakang bendera atau serangkaian warna yang menandakan koalisi partai.
Sehingga apa yang dimaksudkan dengan iklan yang mendidik lebih mengarah kepada frame apa saja yang tampil dalam suatu adegan iklan. Dengan beragamnya latar belakang tampilan visual, atau piktorial, maka khalayak akan mendapatkan banyak referensi akan suatu kebudayaan tertentu. Atau khalayak akan bertanya dan mencari tahu tentang tampilan yang mereka saksikan pada suatu iklan politik tertentu.
0 komentar:
Post a Comment
Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)