Tuesday, March 15, 2011

Apa itu Rumah? - Catatan Kerinduan Pengganti Tahajjud

Keterus-terangan ini semoga menjadi obat 
Persahabatan atau pertemanan akan sangat terasa jika kita dilupakan 
Tak usah ke puncak gunung untuk menikmati melankoli, di kamar sepi dan di hape tanpa dering, kita akan dapatkan, dalam realitas yang kecil, Pram harus memasukkanku dalam “Mereka yang Dilumpuhkan”. 

Pertanyaan dasar malam ini adalah, Apa itu rumah?. Imajinasi yang mencari jawaban akan pertanyaan ini adalah teks tersembunyi yang kukirimkan padamu para pembaca. Aku berusaha menuliskan ide-ide yang sangat subjektif kepadamu, namun kata-kata yang kuramu di kepalaku tak mampu menembus alammu sendiri. Biarkan imajinasi itu melangkah jauh, agar pesan-pesanku sampai padamu dalam medium yang banyak. Kecuali kau dapatkan pertanyaan ini dari orang lain, imajinassi itu bukan milikku. Inilah satu-satunya jalan bagiku, menyampaikan perasaan paling dalam pada kalian, para pembaca.

Kenapa harus rumah yang jadi persoalan?. Anggap saja karena kosa kata ini mulai pupus diasah zaman. Ketika pasar menjadi kamar pribadi kita, dimana lemari-lemari adalah wujud lain dari kompleks toko atau rak dagangan yang terhambur di “pasar”. Anggap saja karena kosa kata ini mulai pupus diasah zaman, dimana ruang makan adalah daftar kafe atau warung makan mewar yang siap sedia kita kunjungi sesuai jadwal. Anggap saja, ruang keluarga adalah internet, handphone atau berbagai rupa alat komunikasi yang menggantikan jabatan tangan dengan teks “Apa kabar, sayang”.

Realitas ini yang mengantarku menjadi anak muda yang rindu dengan rumah. Kalaupun aku berada di rumahku yang sebenarnya, disana hanya akan kudapatkan seorang ayah dengan parasit uang, ketika mereka memandang kami sebagai benda yang akan makin mengkilap jika digosok dengan uang. Keringat mereka adalah uang, dan uang mereka adalaah kasih sayang kepada kami. Ketika masakan ibu, menjadi pemacu pertumbuhan tubuh kami, penyengar tubuh dalam melaksanakan kegiatan setiap hari.

Adik-adikku akan menuruti apa kataku, karena mereka adikku. Dan aku akan kebingungan menasehati mereka, alasannya jelas. Kakak macam apa aku.

Ada rumah lain, jika kutuliskan pengalaman organisasi di selembar kertas, maka harusnya aku adalah anak muda yang kaya dengan pengalaman organisasi, ramai akan teman yang menjadi keluarga sendiri, dimana problem sosial yang ditemukan saling dibagi, saling bersimpati dan saling mengulur bantuan. Rumah lain ini bias, sangat bias. Bahkan menjadi masalah di suatu hari, ketikan dia ditimpa bencana Tsunami, atau bencana lainnya yang merubahnya menjadi tumpukan sampah. Benar begitu, Tumpukan sampah.

Pada suatu malam, ketika aku dan seorang teman dari jauh datang, kusampaikan padanya kerisauanku ini. “Aku membutuhkan rumah, aku membutuhkan massa, Bang”. Kataku padanya.

“Kenapa?”.

Aku butuh tempat berteduh dari kelelahan materialistik. Aku butuh tempat beristirahat dari kelelahan hegemonik, aku butuh naungan ketika terik matahari mendera kulitku, aku tak mampu bertahan di tengah siang dengan matahari yang terik seperti ini.

Aku pernah membangun rumah di IRM, dan seperti ada yang merubuhkannya. Identitas yang kubawa, semakin memperkeruh keadaan atau semakin menambah bau busuk tong sampah ini. Anak muda kampung yang miskin dengan imajinasi yang tidak membumi. Aku pernah ngontrak beberapa lama di HMI, ketika kepalaku sedikit terbentur dengan garang tebing bebatuan, aku linglung dan terjerumus pada jalan lain yang membuat ketentuan baru dalam hisupku. Aku mencoba numpang di Kompala, mengais sedikit-demi sedikit keberanian, mendekati perenungan-perenungan. Aku tak pernah melupakan pengalaman di dalam gua, ketika semua sumber cahaya kami matikan, bahkan tanganku sendiri pun tak nampak, aku seperti makhluk halus tanpa tubuh fisik. Rumah yang satu ini tak kutemukan lagi, sebabnya? Mungkin saat kepalaku terbentur di tebing dan membuatku linglung, jalan yang kutempuh tidak memiliki pintasan menuju alamat rumah yang satu ini.

Aku punya banyak rumah sebenarnya, ada banyak. Seorang mahasiswa yang berumur lebih tua dariku, termasuk di kampus dan di rumah yang kutempati sekarang ini, pernah menggertak. “Berapa tahun kamu berorganisasi?”.

Aku memintanya menjawab terlebih dahulu, setelah itu kukatakan padanya bahwa aku lebih dahulu mengecap organisasi darinya, 2 tahun lebih awal. Dia terdiam.

Jika gertakannya tidak ciut disitu, maka tentu aku yang akan ciut, karena di depan pertanyaan itu, terpajang sebuah pertanyaan yang siap menerkamku. “Apakah rumah-rumah itu masih menerimamu jika engkau kembali kepadanya?”. Aku angkat tangan.

Aku merindukanmu kawan!.

Kerinduan ini jelas menerangkan bahwa rumah yang kutumpangi saat ini tidaklah berarti lagi, beberapa waktu yang lalu mungkian iya, tapi apalah gunanya rumah dan kebahagiaan yang terkurung disana jika semuanya akan menjadi jejak yang mebodohi dan menggelitik masa depan kita?. Tak ada gunanya.

Apa permasalahan dari Rumah PMII yang satu ini?, sementara yang kualami adalah kehambaran rasa. Dapur di rumah ini tak berasap, tetangga kami tidak ada yang tahu kalau ada penghuni di rumah ini. PMII yang kutempati tidak berjendela, sehingga kami kesulitan menatap sebuah ide jauh di depan sana. Aku menemukan orang-orang bingung disini, tak pernah aku lupakan pesan teman-teman serumah dulu, “Kenapa mesti disana, apa yang kucari?”. Aku menjawabnya dengan nada senyum. Saat ini, mungkin kutemukan beberapa rangkai jawaban dari pertanyaan itu, kekosongan, kehambaran, mampet dan kebingungan anak muda yang bertepuk sebelah tangan.

Apa itu rumah?

Aku tidak mungkin mengatakan itu rumah jika disana tak ada orang lain selain aku, takkan jadi rumah jika tak ada komunikasi yang jalin-menjalin, bukan rumah jika hati mati di dalamnya. Bukan rumah jika keramaian pasar merasuki ruang pribadi di dalamnya, sehingga di dalam rumah itu ada kelas sosial terbentuk, kelas dalam komunitas kecil yang semakin memperparah suasana hati. Tak habis pikir pula aku, kesulitan memikirkan “Aku ada dimana?”.

Dan, aku berhadapan pada pertarungan kecil dalam sebuah rumah, ketika identitasku bertaruh dengan senyum yang harus mekar dalam rumah itu. Tidakkah kita sadari, bahwa dalam rumah ada kamar pribadi dimana kita menyembunyikan bercak kotor di hati pada dinding kamar. Kamar pribadiku dijajah seorang tamu yang dibawah teman dari sana.

Aku tidak mau bersikap positivistik. Aku lelah menjawab kesepakatan orang banyak untuk memaklumi suatu pengalaman. Aku tidak menerimanya lagi sejak aku tahu, bahwa positivism ini adalah benalu yang mengait banyak orang menjadi satu rumpun “Korban benalu” sehingga mereka yang selamat menjadi bulan-bulanan.

Aku akan membangun rumahku sendiri. Istri dan anak-anakku akan ada di dalamnya, dengan kasih sayang yang kucurahkan melalui temaram lampu di ruang keluarga, dengan suara “tik” dari kompor gas, dengan kecupan-kecupan kecil di dahi sebagai restu dariku. Mereka juga harus melakukannya padaku.

Aku akan membuat rumahku sendiri, dimana manusia-manusia maju sebagai penghuninya. Mereka adalah orang-orang yang sakit hati. Dengan semurni-murninya sakit hati. Aku sudah terlalu asam untuk pengalaman di masa muda seperti ini.

Aku rindu rumah, aku merindukan banyak orang, bahkan mereka yang tidak kukenal sekalipun. Semoga mereka hanya menganggapku bocah hilang yang akan menemukan jalan kembali, walaupun aku tidak kemana-mana. Duh, ada orang gila yang menendangku!

Sungguh aku tidak berniat memasuki rumah-rumah ini untuk melacur, sungguh tidak. Kakiku yang berjalan menuju alamat ini. Entah dengan alasan apa, andai kaki punya ootak, aku akan berusaha menaksir alam pikirnya.

Dan biarkan imajinasimu melangkah jauh, menemukan arti rumah. "Aku tak tahu siapa yang kuhadapi".

0 komentar:

Post a Comment

Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)

 

Alternative Road Copyright © 2012 -- Template was edited by Cheng Prudjung -- Powered by Blogger