Tuesday, March 15, 2011

Islam Transformatif – Membongkar Tradisi Beragama

Tuhan, aku ingin bertanya pada Engkau dalam suasana bebas. Aku percaya, Engkau tidak hanya benci pada ucapan-ucapan yang munafik, tapi juga benci pada pikiran-pikiran yang munafik, yaitu pikiran-pikiran yang tidak berani memikirkan yang timbul dalam pikirannya, atau pikiran yang pura-pura tidak tahu akan pikirannya sendiri
(Ahmad Wahib, Catatan Harian 9 Juni 1969)

Moeslim Abdurrahman sebagai salah seorang penggagas utamanya menjelaskan bahwa Islam transformatif merupakan teologi praksis sosial, di mana agama diterjemahkan dalam keberpihakan kepada kaum miskin (Moeslim Abdurahman, 2003). Dalam refleksi Moeslim, sebagian besar umat Islam acapkali memperlakukan agama sebagai lembaga yang mengatur tata cara pengabdian kepada Tuhan, sehingga nilai ibadah yang tertinggi dalam kacamata umat adalah manakala mereka melakukan ritualitas secara komprehensif dengan aturan-aturan baku yang telah ditetapkan. Di sini, menurut Moeslim, agama tidak dijadikan sebagai kekuatan pendorong untuk melakukan kebajikan sosial, justru terkesan dijauhkan dari problem sosial.

Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Moeslim Abdurrahman, Muhammad Syahrur dalam bukunya Diraasaat Islaamiyyah Mu’ashiroh fi ad-Dawlah wa al-Mujtama’, yang diterjemahkan dalam edisi Indonesia menjadi Tirani Islam: Geneologi Masyarakat dan Negara, menjelaskan bahwa dalam masa kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, agama Islam justru sering dijadikan alat untuk melegitimasi penindasan (Syahrur, 2003). Menurut Syahrur, teologi Asy’ari—yang kini dipakai secara luas oleh sebagian besar umat Islam—merupakan salah satu perangkatnya. Dalam pengamatan Moeslim, Islam di era Umayyah dan Abbasiyah telah kehilangan ideologi kritis dan transformatifnya.

Menurut Abuddin Nata, ciri-ciri Islam Transformatif adalah; Pertama, Islam transformatif selalu berorientasi pada upaya mewujudkan cita-cita Islam, yaitu membentuk dan mengubah keadaan masyarakat kepada cita-cita Islam yaitu membawa rahmat bagi seluruh alam (Q.S. Al-Anbiya : 107) Kedua, mengupayakan adanya keseimbangan antara pelaksanaan aturan-aturan yang bersifat formalistik dan simbolis dengan missi ajaran Islam tersebut. Bahkan jika suatu aturan formalistik atau simbolik tersebut terlihat menghambat pencapaian tujuan, maka aturan formalistik atau simbolik tersebut harus diubah, atau diberi makna baru yang sesuai dengan tujuan.

Ketiga, mewujudkan cita-cita Islam, khususnya keberpihakan terhadap kaum lemah dalam mengangkat derajat kaum dhu’afa atau orang-orang yang tertindas, dan juga diarahkan kepada penegakan nilai-nilai kemanusiaan seperti kasih sayang, sopan santun, kejujuran dan keihlasan. Menegakkan nilai-nilai demokratis seperti kesetaraan (egaliter), kesamaan kedudukan (equality), dan sebagainya. Keempat, senantiasa memiliki concern dan respons terhadap berbagai masalah aktual yang terjadi dalam masyarakat.

Beberapa Ayat Al-Qur’an – Bahan refleksi
Al Mukminun 53: Mereka terpecah-belah sesamanya tentang urusannya, menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan gembira dengan yang ada pada mereka.

Al Qashash: 5-6: Dan kami hendak memberikan karunia kepada orang-orang yang tertindas (mustadahin atau dhuafa) di bumi dan hendak menjadikan mereka sebagai pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi. Dan kami tegakkan kedudukan mereka di bumi.


*Catatan pengantar diskkusi Islam Transformatif PMII Rayon Ahmad dahlan FISIP UMM.

0 komentar:

Post a Comment

Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)

 

Alternative Road Copyright © 2012 -- Template was edited by Cheng Prudjung -- Powered by Blogger