Mata kuliah ini sangat menyenangkan, walaupun agak kurang berarti akhirnya, di awal perkuliahan kebahagiaanku akan mengikuti perkuliahan filsafat, bak seorang anak yang terkejut riang melihat papan tulis di tahun pertamanya bersekolah. Filsafat adalah dunia yang menyenangkan, dimana “Eksistensi” dimusyawarahkan ulang.
Namun tidak, hampir tidak ada kejutan-kejutan filosofis yang (secara pribadi) ditemukan disana, pengungkapan realitas dengan apa adanya tidak dibarengi dengan keterbukaan cara pandang mahasiswa akan dunia, akan kehidupan. Mahasiswa yang berhadapan dengan seorang dosen cenderung berpikir mekanistik, sehingga segala realitas (seperti contoh kasus) yang disampaikan, diikuti dengan kritik terhadapnya mendapatkan respon kaku, problemnya, karena gaya mekanistik membuat penerima pesan-pesan perkuliahan, menerima apa adanya, tanpa ada penyaring ditelinga, tanpa ada pengolahan di akal pikiran mereka.
Maka, pikirku, prakondisi untuk memasuki filsafat adalah ‘membongkar’ segala pola berfikir/logika yang ada dalam kelas. Teringat pada salah satu rules ketika memulai belajar filsafat bersama teman, bahwa setiap kepala harus hadir dalam porsi kosong, dimana sistematika berfikir yang dianut (sengaja atau tidak) juga harus jadi bahan atau objek berfilsafat.
Hingga saat ini, kekagetan-kekagetan yang dimaksud adalah respon mahasiswa atas beberapa kata/kalimat atau logika yang disampaikan oleh pengempu mata kuliah, respon mereka seharusnya adalah mempertanyakan “APA” pada segala hal, termasuk pada dirinya sendiri. Siapa saya?
Lebih Jauh …
Pembahasan yang menarik bagiku sepanjang kuliah adalah persoalan silang hubungan antara Ilmu pengetahuan dan kekuasaan, istilah ini banyak kuketahui dari Foucault. Di dalam kelas, saya banyak diam dan memikirkan beberapa patah kata kunci saja selama jam perkuliahan. Apakah dengan belajar di kelas, kita mendukung suatu kuasa? Dan apakah kuasa yang didukung ini adalah kekuasaan yang baik? Lalu apakah kebaikan itu, apa syaratnya?. Logis, rasional?. Saya akhirnya teringat dengan pertanyaan John Nash dalam Film Beautiful Mind, Apakah Rasional itu?
Tentu saja setiap orang yang berakal (dan akalnya berfungsi) memiliki rasio ini, salah satu sistem yang masih dipercaya hingga saat ini untuk menentukan hal yang benar ataupun salah. Mungkin saja segala sesuatu yang disampaikan oleh seorang dosen adalah rasional bagi dirinya dan beberapa orang, tapi ada sebagian kecil yang rasu persoalan apakah hal yang mereka maksud rasional itu benar-benar rasional?.
Maka demikianlah, jika terjebak, seorang dosen akan memberikan nilai terburuk bagi mahasiswa yang menentang prinsip rasionalnya. Semua mahasiswa harus paham dan sepakat dengan segala logika pengetahuan yang disampaikan di kelas, apa sebabnya? Salah satunya karena ilmu yang disampaikan di kelas, telah teruji, bukti sederhananya adalah, banyak buku yang mengungkapnya, menjelaskan kronologi lahirnya sebuah teori, dan bla bla bla….
Jika Ilmu pengetahuan adalah/sebagai alat kuasa untuk memperkuat kekuasaan, menjadi sebuah hukum. Maka apa yang dilakukan dosen di atas, adalah benar. Setiap mahasiswa yang terindikasi kontra-rasional (memodifikasi istilah kontra-revolusi) dengan sistem ilmu pengetahuan harus mendapatkan nilai terburuk.
Sebaliknya, untuk menuju suatu kemurnian ilmu pengetahuan, beberapa orang di dalam kelas, harus bekerja keras merubuhkan segala ‘paten’ pengetahuan yang tercantum dalam buku teks, atau terlontar dari mulut sang pengempu. Namun, sepertinya budaya Indonesia tidak siap untuk suatu kondisi yang dekonstruktif seperti ini, semangat revolusioner bangsa, hanya terletak pada perjuangan otot, tenaga (bangsa kuli), bukan pada semangat membangun revolusi pengetahuan. Dan, sedikit menyinggung kondisi bangsa, kehidupan bangsa semakin sempurna sudah, karena ilmu pengetahuan (kuasa) membutuhkan tenaga untuk membentuk tata logika mereka ke dalam dunia nyata, proses pembentukan dunia yang berdasar pada logika kekuasaan inilah yang mungkin diistilahkan Hegemoni, dimana tata fikir setiap orang dituntun menuju satu jalur berfikir yang sama, salah satu contohnya adalah : Waktu adalah uang.
Sejak lama . . .
Sejak lama, keluarga saya melarang mendekati filsafat, alasannya sangat kampungan; nanti kamu jadi kafir, atheist, gila!. Saya tidak menerima ini, dan tetap gemar berfilsafat, bukan mempelajari filsafat. Dan sepertinya, saya juga akan melarang banyak orang berfilsafat, alasannya; dengan belajar filsafat, secara tidak langsung kita telah mengisi formulir menjadi budak ‘ilmu pengetahuan’, dan pelan-pelan mempelajari segala aturan main menjadi budak disana.
Sebenarnya, bacaan saya akan sejarah filsafat sangat sedikit, masalahnya bukan karena malas membaca, atau tidak kuat, atau misalnya alasan lain; tidak keren. Bukan itu, tapi ketika membaca kehidupan tokoh-tokoh besar/filosof, saya berfikir, apa bedanya saya dengan mereka?.
Pemikiran tokoh/filosof dipengaruhi oleh kehidupan mereka, bagaimana keluarga dan lingkungan sosial mereka. Berdasar dari realitas kehidupan masing-masing tokoh, mereka memberikan porsi besar dalam usaha mengamati dan menyusun penjelasan-demi penjelasan atas kondisi tersebut. Filosof modern banyak mendasarkan cara mereka menjelaskan kondisi kehidupan pada tokoh-tokoh filsafat utama, beberapa diantaranya (yang paling dikenal) adalah Plato, Socrates dan Aristoteles.
Pertanyaan besar yang selalu mengganggu adalah, berapa besar kadar objektifitas pemikiran mereka?. Apakah kita pernah mempertanyakannya?. Yang tepikir di benakku saat ini adalah, sistem objektifitas bagi mereka bukanlah hal penentu, adalah rasional atau tidak yang menentukan pemikiran mereka diterima. Ini mungkin sangat rasionalistik jika harus ditempatkan pada suatu pihak/aliran filsafat besar; Rasionalisme dan Empirisme.
Bukan penjajahan budaya yang kita alami dalam kehidupan berbangsa, misalkan budaya konsumerisme, hedonism dan individualism, namun lebih banyak karena sistem pengetahuan yang banyak dikonsumsi oleh pelajar Indonesia adalah gugusan ilmu yang tidak membumi. Pernahkah pemikir-pemikir besar bertandang ke Indonesia dan memperbandingkan sistem rasional antara realitas kehidupan mereka dan Indonesia secara khusus?.
Belum lagi jika meninjau teks-teks pengetahuan dalam buku-buku yang menuntun manusia pada “pencerahan” kehidupan. Tak ada pencerahan menurutku, hanya penjara dengan jeruji “ilmu”. Sedikit memihak Ahmad Wahib mungkin, bisakah saya hidup (salah satunya lulus kuliah) dengan sistem pengetahuan yang kubangun sendiri, melelai penelaahan kepustakaan, dan pembacaan realitas kehidupan di sekelilingku?. Tak ada ilmu yang berguna jika dia tidak mengijinkan penuntutnya untuk membongkar dirinya.
Demikianlah akhirnya …
Kegelisahan ini terpaksa tumpah mengakhiri semester dimana aku dan mata kuliah ini bertemu. Banyak perenungan-perenungan yang terjadi di dalam kelas.
Segala kesalahan penggunaan kata adalah pengungkapan secara jujur tanpa ada maksud untuk membangun suatu alur logika, guna menuntun pembaca hadir pada kondisi tertentu. Terlalu banyak “APA” dalam kepala, sehingga banyak hal yang stagnan dan hampir suci, harus kembali dibongkar, agar kesucian dari masa silam tidak turun-temurun menjadi paham kesucian dalam masyarakat baru, masyarakat tanpa ijtihat. Sebuah masyarakat yang penuh keihlasan bertawakkal pada sistem yang didesain dengan sangat halus, hingga untuk menyentuhnya, harus melewati jutaan tingkat rasa takut.
Monday, June 20, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment
Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)