Tuesday, September 27, 2011

Karaeng Galesong Mungkin Kesepian

Aku bingung menuliskan kegelisahanku ini, syndrome yang menyerang penulis pemula menyerangku. Namun aku menerima itu, toh dalam menulis soal karaeng Galesong Tumenangan ri Tappa’na aku masih dalam tahap memulai, walaupun banyak “chemistry” kutemukan sejak aku sadari bahwa aku tergerak untuk menggali kisah tentang Raja yang satu ini, seorang Raja yang mungkin merasa kesepian disana.

Hampir 5 tahun aku menetap di Malang dalam urusan studi mengejar status sarjana, namun baru sekali aku mengunjungi makam Karaeng Galesong di Ngantang, itupun baru-baru ini bersma seorang teman yang sama sekali tidak tahu kalau ada jendral perang yang gagah perkasa melawan penjajahan Belanda, mengabadi disana. Hari itu, Sabtu tanggal 24 September 2011, aku mengunjungi makam sang karaeng yang masih menjadi tanda tanya di benakku.

Aku kesulitan menuliskan apalagi mengurutkan informasi-informasi yang menyentak kepalaku soal jejak kehidupan sang karaeng. Tak banyak yang tahu, olehnya itulah dia kalah popular dengan kawan seperjuangannya meruntuhkan kerajaan Mataram, Pangeran Trunojoyo. Aku pernah berfikir, andai saja karaeng Galesong tidak berkawan dengan Trunojoyo, namanya tak akan termaktub dalam kitab manapun. Bagaimana tidak, kesan yang selalu kurasakan saat membaca literatur yang menyebutkan Karaeng Galesong selalu termarginalkan dalam wacana, dia menjadi pembantu Trunojoyo dalam mengalahkan Mataram. Bukan hanya itu, aku kadang dibuat sinis tanpa sadar ketika Karaeng Galesong dianggap sebagai pemberontak ketika ia datang ke pulau Jawa.

Sebelum melanjutkan tulisan ini, kuharap ada seseorang yang melontarkan pertanyaan; Apa yang mendorongku menuliskan karaeng Galesong?. Jawabanku; aku belum berhasil merangkum jawaban untuk pertanyaan ini, bahkan aku sendiri pun merasa bingung apa yang menyebabkanku terobsesi pada petualangan mengejar kisah ini. Kadang, ketika fikiranku merasa lelah dengan kata Galesong, aku selalu menghalaunya dengan dalil-dalil subjektif, bahwa aku adalah anak muda yang ditarik oleh kekuatan sejarah untuk mengejar serpihan sejarah seorang raja yang “dijahati para penulis” (jika ada penulis yang pernah menulis tentang karaeng Galesong dan merasa tersinggung dengan istilahku ini, tolong beranikan diri anda untuk meluruskan kekeliruanku).

Aku selalu berfikir, kenapa orang Makassar yang memperkenalkan dirinya sebagai kaum pemberani, malah tidak berani mengungkapkan sejarahnya, atau bahkan tidak berani mempelajari sejarahnya di tengah wacana sejarah yang didominasi oleh kaum tertentu yang memang cerdas memperkenalkan sejarah mereka. Tolong jangan anggap ini sinisme yang chauvinis, saya tidak bertujuan menyerang suatu kaum, yang saya sesalkan hanyalah hilangnya kisah-kisah kepahlawanan oleh kuatnya arus wacana sejarah yang didominasi oleh hikayat/sejarah tertentu. Tidak cukupkah kerajaan yang dihikayatkan besar ini menguasai nusantara dengan dominasi kekuatan lewat jalan peperangan? sehingga mereka pun tetap berusaha menguasai wacana, agar kami, orang yang tak termasuk dalam 'fans' sejarah yang besar itu dipaksa untuk menghafalnya.

Tolong jangan terlalu perfeksionis membaca catatan ini, aku baru memulainya, aku hanya kesulitan membangun alur saat ini, sehingga aku tak mengerti apakah tulisan yang anda baca ini adalah catatan yang pantas dibaca atau tidak, mohon tetaplah membacanya.

Saat mengunjungi makam karaeng Galesong, perasaanku biasa saja. Hingga kuceritakan kepada temanku tentang apa yang terjadi padanya, sepengetahuanku saja, setahuku. Jika ada informasi salah yang kusampaikan padanya, itu bukan karena mauku, namun karena orang-orang yang memberikan informasi tentang sosok raja ini. Saat bercerita pada temanku itulah perasaanku tertekan, terasa betul perubahan emosional ini, aku mulai terharu namun kusembunyikan dari perhatian teman yang baik ini, aku hanya memunguti daun kuning yang berjatuhan di sekitar makam yang berbentuk persegi di permukaan. Hanya itu bakti yang bisa kulakukan dalam kunjunganku itu, memunguti dedaunan kuning yang jatuh sambil berusaha menguasai perasaanku, toh ketika melakukan ziarah kubur, kita harus terus menjaga emosi, jangan sampai larut.

Hatiku terdorong membacakan Al-fatihah untuk beliau, namun aku urungkan, rasanya aku belum suci untuk itu. Dalam kompleks pemakaman itu (makam karaeng Galesong dan beberapa makam lainnya dipagari dengan batu bata besar yang disusun, bagian terluarnya adalah pagar besi --entah apakah itu benar-benar besi atau tembaga-- itulah yang kusebut kompleks pemakaman, walaupun diluar pagar itu ada banyak makam), ada sebuah ‘vehicle’ mirip rumah merpati bercat hijau, tertulis disana “Ini adalah tempat yang Suci, Hindarilah kemusyrikan”.

Temanku, melontarkan beberapa pertanyaan, salah satu pertanyaan yang kujawab seadanya adalah makna dari tulisan arab yang termaktub di prasasti tersebut, sebuah ayat yang dikutip dari surah Al-Baqarah ayat 154. Kukatakan: janganlah kau anggap bahwa orang yang berjuang di jalan Allah betul-betul mati, sesungguhnya mereka hidup, namun kau tak menyaksikannya/menyadarinya. Itulah jawabanku saat itu, kaata terakhir aku tak begitu mengerti, apakah benar artinya ‘namun kau tak menyaksikannya/menyadarinya’ atau apalah.

Saat menerjemahkan ayat itu, aku hampir meneteskan air mata, ada yang ‘menggedor’ diriku dari dalam. Entah apa yang mendorong para Jama'ah Anshorullah memilih ayat tersebut untuk dituliskan pada prasasti sang raja ini.

Pertanyaan selanjutnya yang kujawab adalah, arti julukan “Tumenanga ri Tappa’na”. Sekali lagi, aku menjawab sekenanya, kukatakan pada temanku bahwa artinya adalah; Orang yang mati dalam mempertahankan keyakinannya (tolong luruskan jika keliru).

Aku terbawa perasaan.


Beberapa lama kemudian, datang dua orang peziarah ke makam karaeng, mereka mengucapkan salam pada kami dan kami jawab. Kubiarkan mereka bertanya duluan kepadaku karena mereka lebih tua dari kami berdua.

Mereka berdua adalah penduduk asli Malang, dari mereka kuketahui bahwa mereka bukanlah keturunan Makassar. Pengakuannya ini yang menarik perhatianku sehingga kutanyakan pada mereka; kok tahu karaeng Galesong?.

Mereka mengetahuinya dari teman, dan mereka kagum terhadap sosok Karaeng ini. Tentu saja kutelusuri lebih jauh perihal informasi yang mereka miliki tentang karaeng Galesong.

Mereka berkata bahwa sedikit sekali orang yang mengenal Karaeng ini, bahkan mereka juga bingung mengapa ada anak muda yang tahu soal karaeng Galesong. Dari mereka kuketahui bahwa sang raja memiliki suatu ajaran, bahkan ketika mereka mengetahui aku berasal dari Galesong, mereka menanyaiku apakah aku mengerti soal ajarannya?, dalam benakku; ajaran apa pula ini.

Ternyata mereka berdua adalah “petualang” (mereka menyebut diri mereka begitu; “yaaa, karena bertualang seperti ini akhirnya kami tau beliau”), mereka berusaha menggapai maqam sufi. Saat kami duduk dan berbincang, aku tahu bahwa mereka memang sedang dalam “perjalanan rohani”, perbincangan kami memang perbincangan rohani, sufistik. Entah mengapa terarah kesana, padalah aku hanya bertanya apa ajaran karaeng galesong yang mereka ketahui, mereka hanya menjawab bahwa ajaran beliau itu sudah termasuk dalam apa yang mereka sampaikan kepada kami. Saat kupaksa mereka untuk menjelaskannya semakin jauh, aku hanya dituntun untuk membaca kisah-kisah Syekh Siti Jenar.

Karaeng Galesong …. ? pertanyaanku tertahan. Aku tak tahu kalau sang raja dekat dengan ajaran tasawuf. Aku semakin ditarik memasuki petualangan yang kian gelap.

Setelah adzan Ahsar berkumandang aku bergegas mengakhiri perbincangan, suasana sepi dan tenang harus terbongkar olehku, sebenarnya materi perbincangan kami yang mulai tak menyentuh tanah sehinggah aku merasa capek sendiri mengolahnya. Aku mencatat beberapa poin dari hasil percakapan kami, namun untuk menuliskan ulang, aku rasa terlalu sulit, catatanku itu terlalu sufistik untuk anak muda dengan semangat yang menggelora sepertiku. Wallahu a'lam bissawab

2 komentar:

ikadaengtene@gmail.com said...

Beliau tidak kesepian..kan ada akyuu..

Faisal Zulkarnaen said...

Menarik sekali ceritanya Kawan, meski bukan orang Sulawesi aku pernah samar-samar dengar nama Karaeng Galesong, seorang panglima perang yang melawan penjajah Belanda. Tapi cuma itu, karena nama itu kudengar sewaktu aku masih kecil.

Tentang sejarah memang tidak terlepas dari penulisnya...jika tidak ada penulis sejarah yang menuliskan kisah seorang Pahlawan maka terkuburlah kisah itu bersama jasadnya tanpa ada yang tahu kecuali sedikit.

Akan sangat menarik jika kamu mau menulis sebuah buku tentang Karaeng Galesong, jangan dipikirkan bagaimana buku itu akan terbit, tulis saja semuanya maka insya Allah suatu saat akan berguna....

Salam hangat dan jabat erat...

Faisal

Post a Comment

Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)

 

Alternative Road Copyright © 2012 -- Template was edited by Cheng Prudjung -- Powered by Blogger