Saturday, May 31, 2008

ISLAM; AGAMA TAK BERNILAI

Tulisan ini merupakan tulisan dari sahabat saya, Ivan Istiawan (sekbid. SDI IRM JATIM) berjudul “Islam Bukan Agama Bebas Nilai” yang dipublikasikan di www.irm.or.id tanggal 20 April 2008.

Tulisan tersebut cukup menarik untuk diperhatikan, paling tidak sebagai penguatan ruh keberislaman atau review sensitifitas kita terhadap kaum mustadafien, atau mengajak kita untuk saling berbagi persoalan sosial dengan frame keislaman kita. Perlu saya sampaikan kebingungan saya terhadap judul yang diangkat oleh sahabat saya tersebut (IIs), yang dimaksudkan dengan bebas nilai itu seperti apa? Apakah merujuk pada makna bahwa Islam mengangkat atau menganjurkan satu nilai saja dalam mengabdikan diri pada Tuhan (mungkin yang dimaksud keselamatan–Islam), sementara nilai yang lain yang tidak relevan dengan keislaman tersebut akan ditolak. Selanjutnya yang dimaksud dengan nilai juga seperti apa?. (saya ini memang bodoh, sampai gak negerti maksud sahabat saya ini).

Secara sederhana, saya ingin menyampaikan tafsiran saya mengenai nilai (sesuai pelajaran saya tentang nilai waktu sekolah dulu) yaitu suatu ukuran melaksanakan suatu aktifitas, dimana ukuran tersebut menjadi patron untuk menjelaskan alasan dari suatu tindakan (sosiologis). Semisal penilaian terhadap perilaku baik atau buruk, benar atau salah, selamat ataupun celaka.

Kisah tentang bapak Juki, si Penjual mie ayam yang enak dan lezat (menurut IIs) mungkin selalu kita dapati dalam konteks kehidupan kita, dimanapun, (toh bangsa indoneia ini lebih banyak orang miskinnya) sehingga keadaan seperti itu dapat kita nilai sebagai sebuah keadaan yang benar terjadi. Coba tanyakan kepada pedagang yang keadaannya hampir serupa dengan pedagang mie ayam yang dikisahkan sahabat IIs, tentu kita juga akan mengalami perasaan yang sama dengan IIs, yaitu empati kepada bapak/ibu si pedagang. Namun saat emosi empati tersebut hadir dalam diri kita, coba kita tanyakan, apakah mereka bahagia dengan kehidupan ini? Dan apakah ukuran kebahagiaan mereka adalah uang?.

Ketakutan saya adalah, tumpulnya kesadaran kritis kita dalam realitas sosial diakibatkan oleh keberpihakan kita pada kaum mustadafien yang besar, sehingga empati yang hadir kemudian mengaburkan kembali kesadaran kita. Ketakutan yang lain adalah, kita terjebak pada aksi (gerakan) yang konyol, akibat kaburnya kesadaran kita dalam menilai suatu persoalan dan merumuskan aksi pembelaan.

Oleh karena itu, coba kita membaca ulang realitas yang sedang terjadi, membaca dan menafsirkannya dengan sadar dan kritis tanpa terjebak pada “kuasa emosi”. Dalam proses dialog dengan kaum mustadhafien, janganlah kita membatasi proses dialogis kita, dalam artian proses klarisifikasi guna mengetahui suatu nilai (value) dari realitas sekitar, karena tanpa klarifikasi, kita secara tidak langsung terjebak pada istilah Marx yang disampaikan IIs dalam tulisannya yaitu “kesadaran palsu”. Saya ingin mengatakan bahwa, kesadaran palsu yang dimaksudkan Marx adalah keterjebakan manusia dalam representasi realitas, kita hidup dalam sebuah simulasi realitas, sehingga kesadaran yang kita gunakan adalah kesadaran simulatif (silahkan membaca buku “Membincangkan Televisi” dan “Hipersemiotika”), dan secara tidak langsung, IIs telah terjebak pada wilayah itu menurut saya, karena IIs tidak menyampaikan keseluruhan proses dialognya dengan pak Juki dan menyampaiakan keadaan emosinya (empati) tanpa mengklarifikasi emapati tersebut kepada pak Juki, atau tidak mengklarifikasi suatu kebenaran untuk menjustifikasikan keadaan yang dialaminya.

Mustadafien; Dibela atau Disadarkan, atau Malah Dikisahkan?.

Sebagaimana yang telah disampaikan di atas, bahwa proses klarifikasi tidak boleh dilupakan dalam menilai suatu keadaan. Subjudul pada tulisan ini menjadi pilihan (multiple choice) mengenai, akan kita apakan orang miskin yang “mengotori nama bangsa (negara miskin)”, apakah kita melakukan pembelaan, ataukan kita sadarkan, ataukah dikisahkan (dipublikasikan)?.

Proses klarifikasilah yang dapat menentukan apa yang harus dilakukan terhadap mereka (mustadafien), karena setelah klarifikasi, kita akan menyimpulkan keadaannya. Contohnya, pak Budi adalah penjual nasi kucing, dia banyak mengeluh karena harga barang yang selalu naik dan menggangu penghasilannya, ataukah gaya konsumsi masyarakat yang tinggi sehingga peminat dagangannya berkurang, penghasilannya sehari sekitar Rp 30.000. dan dia merasa susah, dan menganggap bahwa hidup ini memberatkannya akibat penghasilannya kurang.

Apakah pak budi ini harus dibela, disadarkan atau dikisahkan?.

Tentunya kita mengklarifikasi dulu dengan menanyakan padanya bahwa, apakah betul penghasilan yang diperoleh setiap harinya membuat bapak Budi tidak puas?, kenapa pak Budi merasa tidak puas dengan penghasilan tersebut?. Bagaimana pandangan pak Budi tentang kehidupan?, apakah uang yang banyak dapat menjawab pandangan hidup pak Budi?.

Jika jawaban pak Budi berbau materialistis, maka tolonglah ia untuk sampai pada kesadaran bahwa kebagaiaan hidup itu tidaklah diukur dengan materi, sebab materi digunakan hanya untuk “menjelaskan” keinginan kita pada suatu yang juga materialis semata. Uang (harta kekayaan) adalah godaan hidup..... (saya rasa pembaca lebih mengerti bagaimana melakukan penyadaran).

Jika pak Budi merasa tidak sulit dan bahagian dengan kemiskinannya, maka mereka harus dibela untuk mendapatkan hak mereka.

Jika pak Budi merasa aman saja dan semakin maju, mungkin dapatlah kita publikasikan sebagai stimulasi untuk memotifasi masyarakat yang lain.

Atau kita melakukan ketiga pilihan tersebut secara bersamaan, tidak ada masalah. Kita tinggal berdoa kepada Tuhan agar ditunjukkan jalan untuk bergerak dan diberikan hidayah dan hikmah untuk disampaiakan pada mereka yang buta dan tidak mampu berbuat apa-apa.

Namun, harus diingat. Penggunaan kata atau label kaum mustadafien, jangan sampai membatasi kita dalam proses advokasi. Proses penyadaran, pembelaan, dan pemberdayaan (misalnya dikisahkan/dipublikasikan) tidak dibatasi oleh suatu ukuran atau nilai apapun, pembelaan kita tidak musti terhadap kaum miskin yang termarjinalkan, akan tetapi mereka yang berkuasa juga dapat dibela tentunya (mereka dibela atas penjajahan setan atau iblis atas hatinya).

Tidak adanya batasan melakukan proses advokasi itulah yang saya maksud dengan “Islam; Agama tak Bernilai” (sebagaimana judul tulisan ini), dengan pandangan bahwa Islam adalah agama pembela, penyadaran dan pemberdayaan (advokatif), lebih jelasnya dapat dilihat kembali berbagai literatur sejarah Muhammad atau sejarah Islam.

Demikian tulisan ini sebagai tanggapan, dan saya (tulisan ini) tidak menutup diri untuk ditanggapi kembali oleh sahabat-sahabatku yang lain.

Demi Pena (Atib dan Rakib) dan Segala Apa yang Dituliskannya (atas perjuangaan kita).

0 komentar:

Post a Comment

Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)

 

Alternative Road Copyright © 2012 -- Template was edited by Cheng Prudjung -- Powered by Blogger