Dalam produksi berita jurnalistik cetak menyangkut berbagai liputan tentang aksi demonstrasi mahasiswa dengan berbagai issu, baik menyangkut pelaksanaan pemerintahan atau pengambilan kebijakan pemerintah, pelanggaran HAM, korupsi dan sebagainya. Terjadi beberapa ketimpangan dalam pemberitaan media, berkaitan dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Persatuan Wartawan Indonesia Bab 2 pasal 5, berbunyi;
“Wartawan indonesia menyajikan berita secara berimbanga dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampuradukkan fakta dan opini sendiri. Karya jurnalistik berisi interpretasi dan opini wartawan, agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya”.
Permasalahan pemberitaan mengenai aksi demonstrasi mahasiswa adalah misrepresentasi atau ketidak semprnaan peenggambaran suatu kejadian ke dalam berita. Mahasiwa pada setiap aksi demonstrasi membela kepentingan rakyat kemudian dianggap sebagai perusuh, selalu menggangu ketertiban, anarkis dan segala macam, hal tersebut dikarenakan oleh penggambaran aksi mahasiswa oleh media yang cenderung mengangkat suasana bentrok atau suasana tegang dalam proses aksi, tanpa mengimbangi dengan pemberitaan menyangkut substansi aksi yang dilakukan mahasiswa.
Berita juga terkadang tidak menjamah secara detail bagaimana mahasiswa hadir dengan kondisi emosi menanggapi kebijakan pemerintah yang menimbulkan aksi atau bentrok dengan aparat keamaanan, kalaupun ada kalimat yang menjelaskan mengenai apa issu demonstrasi mahasiswa, namun hal tersebut hanya sebatas untuk melengkapi penulisan berita, dalam artian bahwa media harus menjawab atau menggunakan rumus dasar 5W+1H, sehingga untuk menjawab pertanyaan apa, media kemudian menjelaskan mengenai aksi demonstrasi yang anarkis antara mahasiswa yang menuntut atau mengkritisi pemerintah dengan aparat keamanan.
Salah satu model pemberitaan seperti inilah yang menarik untuk dianalisis, paling tidak analisis ini dilakukan untuk menjelaskan hegemoni media dalam membentuk opini publik yang dilakukan dengan bebas tanpa menghiraukan kode etik jurnalistik, dimana objektifitas atau kejujuran dan ketidak berpihakan atau cover booth side sangat dijunjung tinggi.
Makalah ini mencoba melakukan analisis sederhana menggunakan kerangka analisis wacana kritis dalam pembacaan atas berita aksi demonstrasi mahasiswa pada beberapa media cetak dan on line. Salah satu alasan memilih media cetak dan media on line adalah hubungannya dengan analisis wacana kritis, dimana wacana tingkat dasar merupakan langue atau bahasa, dan bahasa tulis pada kedua jenis media lebih mudah dianalisis, apalagi media tersebut tetap membumi dikalangan masyarakat yang membutuhkan berita-berita yang disajikan oleh berbagai media.
Salah satu ciri negara demokratis adalah kebebasan bagi warga negaranya menyampaikan pendapat, maka selain anggota legislatif yang merepresentasikan masing-masing pemilihnya (warga negara) yang duduk dalam parlemen sebagai perpanjangan lidah masyarakat atau rakyat, terdapat mahasiswa yang secara kultural menyampaikan berbagai aspirasi rakyat dengan berbagai macam cara melalui aksi demonstrasi ataupun negoisiasi dengan membuat surat kesepahaman (MoU) dengan pihak pemerintah.
Dalam proses penyampaian aspirasi atau kritikannya, mahasiswa cenderung memilih jalan demonstrasi dengan turun ke jalan. Dari berbagai peristiwa demonstrasi “jalanan”, seperti pada tahun 1966, kasus penggulingan pemerintahan Orde Lama, kasus/tragedi Malari pada 1987 dan pada tahun 1998, dimana rezim Orde Baru ditumbangkan kembali oleh mahasiswa, aksi turun ke jalan dianggap salah satu jalan atau metode aksi yang memberikan pengaruh yang cukup besar, walaupun beberapa kalangan kemudian menganggap hal tersebut sudah kampungan pada era reformasi. Selanjutnya alternatif demonstrasi kemudian ditawarkan untuk beralih kepada kampade pembelaan atau advokasi kaum tertindas dengan publikasi tulisan, namun masih maraknya aktifitas demonstrasi mahasiswa yang memilih turun ke jalan tetap mewarnai perjalana demokratisasi di negara indonesia.
Namun sayang, pers sebagai payung media yang menjadi salah satu kekuatan penegak tonggak demokrasi tidak mendukung pelaksanaan demokrasi di negara ini, hal ini nampak dari pemberitaan media mengenai aksi demonstrasi mahasiswa yang tidak objektif dan tidak memenuhi standar cover both side. Dalam pemberitaan melalui media, mahasiswa seakan-akan direpresentasikan sebagai pengacau keamanan dan ketertiban ketika melakukan aksi aanarkis tanpa memperinci alasan mahasiswa melakukan aksi anarkis yang menggangu ketertiban umum.
Satu pertanyaan yang menarik adalah, apa yang menarik dari berita demonstrasi mahasiswa? Pertanyaan ini tidak usah dijawab, karena secara langsung media sudah menjawabnya dan memaksakan kepada masyarakan untuk berpandangan serupa, walaupun alasan mereka (media dan masyarakat) memperhatikan aksi demonstrasi memiliki kerangka yang berbeda.
Secara tidak langsung, media menjawab pertanyaan di atas yaitu, hal yang paling menarik, unik. Konkretnya adalah bentrokan saat aksi atau dalam demonstrasi tersebut ada aksi teatrikal atau berbagai hal lain yang secara kasat mata menarik perhatian publik. Lalu siapa kemudian yang akan memperhatikan issu atau muatan aksi mahasiswa tersebut?
Menyangkut Pemberitaan Aksi Demonstrasi Mahasiswa Makassar pada Harian Tribun Timur
Dalam beberapa kasus pemberitaan aktifitas demonstrasi mahasiswa Makassar pada media lokal, khususnya Tribun Timur, dapat dianalisis dengan menggunakan kerangka analisis wacana kritis, dimana salah satu karakteristik analisis wacana kritis adalah konteks dengan pengertian bahwa wacana mempertimbangkan konteks atau latar belakang peristiwa dan kondisi. Sehingga beberapa aksi mahasiswa yang diliput media sepanjang awal sampai pertengahan bulan (Mei, 2008) harus dijelaskan latar belakangnya.
Beberapa hal yang melatar belakangi aksi tersebut yaitu, pertaman, pada bulan Mei (tepatnya tanggal 2 Mei) adalah hari pendidikan nasional, sehingga aksi mahasiswa berkonsentrasi pada issu-issu menyangkut pendidikan seperti, maksimalisasi subsidi untuk pendidikan sebesar 20% dari APBN, pendidikan gratis dan berkualitas, kapitalisasi pendidikan, dan sebagainya. Kedua, issu kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Ketiga, konversi minyak ke gas. Keempat, issu kenaikan BBM. Kelima, (walaupun faktor ini bukan kebijakan pemerintah yang berpengaruh pada publik, namun menstimulasi semangat mahasiswa untuk turun ke jalan guna melakukan aksi demonstrasi) peringatan 10 tahun reformasi dan peringatan 100 tahun kebangkitan nasional.
Berbagai pemberitaan menyangkut aksi demonstrasi mahasiswa Makassar, dapat dilihat pada arsip Tribun Timur (dengan mengakses; www.tribun-timur.com). Beberapa berita yang menjadi studi kasus tulisan ini yaitu (berita yang terbit pada hari dan tanggal),
1. Jumat, 02-05-2008, dengan judul; Peringati Hardiknas, Mahasisiwa Demo.
2. Kamis, 15-05-2008, dengan judul; Demo HMI Bersitegang dengan Polisi.
3. Minggu, 18-05-2008, dengan judul; 7 Mahasiswa Pendemo BBM Resmi Ditahan .
4. Minggu, 18-05-2008, dengan judul; Mahasiswa Makassar Juga Demo di Hari Minggu.
5. Senin, 19-05-2008, dengan judul; Lagi, Mahasiswa UNM Ditahan; Jumlah Tersangka Menjadi Delapan Orang.
Pada persoalan ini, yang menjadi pokok permasalahan menyangkut pemberitaan demonstrasi mahasiswa adalah misrepresentasi, yaitu penggambaran seorang, atau kelompok atau golongan yang digambarkan tidak sebagaimana mestinya, jelasnya buruk atau tidak berimbang.
Menyangkut misrepresentasi, terdapat empat hal (misrepresentasi) yang mungkin terjadi dalam pemberitaan yaitu,
1. Ekskomunikasi. Ekskomunikasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok dikeluarkan dari pembicaraan publik. Pada perihal ini, misrepresentasi terjadi karena seseorang atau suatu kelompok tidak diberikan kesempatan untuk berbicara, mereka dianggap sebagai golongan lain (alien) bukan dari golongan kita. Karena tidak dianggap sebagai bagian dari partisipan publik, maka penggambaran hanya terjadi pada pihak kita (media).
2. Eksklusi. Perihal ini menyangkut suatu keadaan dimana seseorang atau kelompok dikucilkan dalam pembicaraan. Walaupun diajak untuk terlibat dalam pembicaraan tetapi mereka dipandang lain karena dianggap atau dipandang buruk.
3. Marjinalisasi. Dalam marjinalisasi, terjadi penggambaran buruk terhadap atau kepada pihak akan tetapi, berbeda dengan ekskomunikasi dan eksklusi, disini tidak terjadi pemilahan antara pihak kita dengan pihak mereka. Untuk lebih jelasnya, ada beberapa praktik pemakaian bahasa sebagai strategi wacana dari marjinalisasi ini. Pertama, penghalusan makna (eufimisme). Kedua, pemakaian bahasa pengasaran (disfemisme). Ketiga, labelisasi. Keempat, stereotip.
4. Delegitimasi. Jika marjinalisasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok digambarkan secara buruk, dikucilkan perannya, maka delegitimasi berhubungan dengan bagaiman seseorang atau suatu kelompok dianggap tidak absah. Dalam delegitimasi, yang dipersoalkan disini bukan penggambaran yang buruk mengenai tukang becak, atau perilaku buruk para petugas Trantib dalam menertibkan becak, tetapi bagaimana masing-masing pihak diwacanakan: siapa yang dianggap benar, dianggap absah dalam pertarungan wacana tersebut itu.
Menyangkut lima berita mengenai aksi demonstrasi mahasiswa tersebut di atas, dapatlah dilihat dengan jelas, bagaimana media atau harian Tribun Timur terjebak pada persoalan misrepresentasi yang tentunya menyalahi salah satu aturan dalam Kode Etik Jurnalistik, sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian latar belakang di atas, dimana media atau harian Tribun Timur seharusnya menyajikan berita yang berimbang, jujur dan adil.
Dapat diperhatikan kembali, isi berita pada poin ke dua dan tiga dari berita Tribun Timur di atas, bagaimana media mengangkat sisi anarkisme mahasiswa dalam berdemonstrasi tanpa memberikan ruang (space) untuk memberitakan atau mempublikasikan muatan atau substansi dari keinginan mereka atau motivasi mereka turun ke jalan guna berdemonstrasi, kasus ini berarti menyentuh eksklusifisme, dimana mahasiswa dianggap sebagai golongan lain yang diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat namun dipandang sebagai golongon atau kelompok yang bernilai buruk akibat aksi anarkisme. Selain pemberitaan yang eksklusif, berita ini juga terkait dengan ekskomunikasi.
Selanjutnya, berita pada poin ke empat, dimana mahasiswa dilabelisasi sebagai kelompok atau golongan yang getol memperjuangkan aspirasinya. Kalimat “Sejumlah mahasiswa betu-betul getol memperjuangkan aspirasinya”, menegaskan bahwa sebelumnya mahasiswa memang sebuah golongan yang getol berjuang dengan cara turun ke jalan. Selain labelisasi, kalimat di atas juga adalah sebuah wujud dari eufimisme, yaitu menggunakan kata getol untuk membahasakan kejengkelan atau kebosanan suatu golongan terhadap setiap aksi mahasiswa.
Berita poin ke lima . Media terjebak pada labelisasi, dimana media seakan-akan menggambarkan bahwa (setiap) jendral lapangan (dalam hal ini adalah Herman) dalam setiap aksi yang berakhir ricuh adalah buronan yang harus diamankan oleh polisi.
Selain pemberitaan aktifitas demonstrasi mahasiswa oleh harian Tribun Timur, beberapa media lain juga melakukan hal yang sama (misrepresentasi) sebagaimana yang terjadi pada beberapa berita di Tribun Timur, seperti berita pada media on line, www.beritasore.com yang dipublikasikan pada hari Minggu, 18 Maret 2008, dengan judul “Aksi Mahasiswa Di Surabaya Tolak Kenaikan Harga BBM Sempat Bentrok” sebagaimana berikut (teks dipotong sebagian),
Dari berita di atas, dapatlah dilihat bagaimana media memandang sebelah mata atau tidak objektif dalam peliputan dan pemberitaan aktifitas aksi demonstrasi mahasiswa. Semangat untuk menghadirkan berita yang berimbang (cover both side) tidaklah terjadi pada berbagai pemberitaan mengenai demonstrasi mahasiswa.
Mengenai kasus ini, dapat ditarik asumsi bagaimana media tidak betul-betul netral atau berdiri pada garis tak berpihak, berita-berita yang telah dikutip di atas, menjadi salah satu bukti bagaimana mahasiswa (sebagai kritikus penguasa/pemerintah) telah dianggap sebagai musuh pemerintah atau penguasa, sebagaimana yang disampaikan oleh Foucault, bahwa wacana (media) dilahirkan oleh penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya, dalam artian mahasiswa memang dianggap sebagai pengacau sementara pihak pengaman (polisi) sebagai kaki tangan pemerintah adalah pahlawan negara.
Lebih lanjut Foucault mendefinisikan kuasa atau penguasa agak berbeda. Kuasa oleh foucault, tidak dimaknai dalam term “kepemilikan” dimana seseorang mempunyai sumber kekuatasaan tertentu, melainkan kuasa tidak dimiliki tapi dipraktikkan pada suatu ruang lingkup dimana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain.
0 komentar:
Post a Comment
Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)