Hujan lebat yang menghantam bumi, melukis sebuah rona baru tentang langit, bumi dan berbagai sudut bumi. Langit mendung, bumi becek dan banjir, kemudian laut dan berbagai jenis air berpesta pora dengan jatuhnya air dari langit tersebut. Ombak membimbang.
Cobalah, bersama kita sepakati kalau hujan adalah sebuah manifestasi dari suatu fenomena dalam dunia yang “mendiri”, terjadi dalam diri sendiri. Dia adalah titik-titik keadaan yang menstimulasi semua unsur manusia yang terkandung dalam hayat, perasaan kemudian mendung atau malah tercerahkan, ekspresi kemudian murung, “membecek” dengan alas an yang sama tidak jelasnya kenapa hujan turun tidak konsisten, kadang deras kadang hanya sebuah “foreplay”. Gerimis.
Kekecutan hati oleh kebimbangan untuk menegaskan sebuah sikap yang seharusnya tidak mengorbankan wilayah rasa, adalah sebuah siklus yang datang oleh karena “undangan” dari konteks yang actual, orang sering menamakannya dinamika hidup, istilah yang juga sering menjadi bahan apologi ketika kegagalan dan sakit hati tak tertolak.
Kemudian, apa yang dimaksud dengan sebuah istilah manisnya hidup. Apakah juga adalah sebuah apologi atau mungkin sekadar euphoria, karena sesungguhnya apa yang dimaksud dengan kebahagiaan/manis adalah semu, hanya berupa ide yang tak mewujud, bahagia dihadirkan sebagai “halte” untuk menunggu kekecutan hati yang lain atau yang datang lagi, itu-itu saja.
Kemudian apakah kita mampu untuk melakukan gerakan yang “merumput”, betul-betul objektif tanpa ada lagi penindasan, paling tidak penindasan terhadap kemanusiaan diri sendiri, tentu gerakan yang dimaksud adalah gerakan yang tidak sekadar berpindah dari realitas yang ideal menuju rangkaian fenomena yang ideal, walaupun selalu saja menjadi sangat subjektif. Akan tetapi sebuah gerakan yang mampu menghadirkan Sembilan matahari dalam satu bumi.
Atau marilah sedikit kita tinggalkan kata gerakan, pergerakan, movement, atau transformasi. Cobalah dengan bijak kita berikan ruang kepada hati untuk sedikit menyendiri dan melakukan refleksi untuk memantapkan pilihan guna meneguhkan rasa, coba lepaskan kecurigaan akan gagalnya perasaan memerintahkan rasio untuk bergerak, toh ketika justifikasi bahwa kriminalitas yang dilakukan rasa adalah sebuah pebunuhan karakter.
Sepakat kiranya jika ruang waktu yang dibutuhkan untuk bergerak sangatlah lama, dan “lama” itu dipengaruhi oleh percekcokan yang terjadi di “ruang personal”. Dan itulah sebuah romantisme. Sebuah situasi yang tidak pernah membosankan walaupun selalu berulang karena romansa adalah sama, hanya berbeda objek.
Keterjerumusan makhluk tuhan dalam pergulatan emosi yang “melangit”, sepertinya menjadi titik pijak heroism, siap yang berani bermain di lahan rasa yang mengombak, maka konsekuensi secara otomatis menjadi legitimasi bahwa ia adalah hero, pahlawan yang berani mengalahkan pergulatan diri yang selalu disakiti dengan penghakiman bahwa mereka telah mati, karena gerak tidak lagi menjadi bukti. Kemudian siapakah yang paling pahlawan?
Setidaknya setiap orang punya kebebasan untuk melegitimasikan bahwa merekalah “spiderman” dalam masing-masing diri, walau jalan berbeda tempuh. Tapi terserah kau saja dan keluargamu.
Itu saja…
0 komentar:
Post a Comment
Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)