“The medium, or process, of our time - electric technology is reshaping and restructuring patterns of social interdependence and every aspect of our personal life. It is forcing us to reconsider and re-evaluate practically every thought, every action,”- Marshall McLuhan -
Anak yang mulai akrab dengan Hape |
Dengan begitu mudah, kita bisa mendapati orang-orang yang sibuk dengan Handphone di ruang-ruang publik, misalkan di lingkungan kampus seperti kantin, taman baca atau area untuk nongkrong lainnya. Orang-orang yang tidak terlibat dalam suatu pembicaraan kelompok pasti tidak memilih duduk diam tanpa aktifitas apa-apa. Handphone menjadi kerabat mereka dalam menghapus kesendirian.
Sebenarnya bukan hanya saat sendiri, walaupun seseorang sedang asik berbincang tentang suatu tema dalam kelompok, dia masih tetap bisa sibuk sendiri, membangun kelompok virtual dan tema perbincangan yang lain dengan Handphone mereka. Sejenak dia/mereka keluar sebentar dari kenyataan bahwa dia berada dalam suatu kelompok dengan bahan obrolan tertentu menuju sebuah bayang-bayang kehidupan elektronis (virtual) sebagaimana kutipan Marshall McLuhan di atas. Terjadi restrukturisasi pola-pola ketergantungan sosial dalam kehidupan pribadi yang akhirnya merembet mempengaruhi kehadiran individu dalam sebuah kelompok.
Mari memperhatikan lebih detail, ketergantungan kehidupan sosial terhadap teknologi, khususnya pada Handphone. Jika dahulu orang-orang berjalan di ruang publik dengan tangan kosong saja, atau menenteng barang belanjaan atau stuff lain yang beraneka ragam, saat ini tangan-tangan kosong itu telah “lengket” dengan Handphone, bahkan “kayak perangko”. Keberadaannya di tangan perlahan hampir sama dengan alasan mengapa pakaian terus melekat di tubuh saat seseorang tampil di ruang publik.
Tak dapat disangkal, Handphone menjadi salah satu teknologi yang paling sering kita libatkan dalam kehidupan, dari benda kecil itu kita dapat saling terhubung dengan orang lain dengan jaringan telepon atau sekedar bertukar pesan dengan sms, jika Handphone yang ada di tangan kita lebih canggih, menonton TV, mendengarkan siaran radio atau memutar musik dari memori dapat kita lakukan, bahkan berselancar di dunia maya dengan opera mini bukan suatu kemustahilan. Kebiasaan bertanya arah atau alamat kepada tukang becak pun beralih dengan mengikuti panduan GPS yang telah tersedia dalam paket fitur Handphone.
Karena telah terbiasa, atau gara-gara sibuk menikmati fitur-fitur yang tersedia pada benda kecil serbaguna tersebut, penggunanya seakan alpa pada kesadaran fenomenologis untuk mempelajari pengalamannya sendiri, merefleksikan dan membangun penjelasan-penjelasan yang membuat si pengguna tak dapat lepas dari dunia baru yang ditawarkan Handphone. Secara tidak sadar, Handphone berubah menjadi kebutuhan utama (primer) dalam kehidupan.
Handphone yang Menjelaskan Siapa Kita
Pernahkan kita berfikir bahwa Handphone telah menjadi simbol identitas kita? Sejak barang ini tidak lagi disembunyikan di dalam tas malah dipamerkan dengan menentengnya, sehingga (jika diperhatikan secara detail) Handphone menjadi salah satu hiasan di tangan selain cincin, gelang, jam tangan atau bahkan kutex (pewarna kuku) mungkin. Bagaimana dia merepresentasikan identitas diri kita? Jawabannya sebagaimana kita menampilkannya dengan suatu tujuan atau citra tertentu (jawaban yang lucu).
Jika memandang fenomena ini secara antropologis masyarakat perkotaan, Handphone merupakan suatu gaya hidup baru. Dia menjadi simbol yang menunjukkan status sosial si empunya, misalkan dengan jenis atau merek Handphone (termasuk blackberry) tertentu, dia berusaha menjelaskan status sosialnya, apakah dia orang kaya atau miskin, atau apakah dia manusia modern yang mengikuti perkembangan mode atau orang yang ketinggalan, atau apakah dia manusia sibuk dan dibutuhkan banyak orang ataukan seorang yang tidak penting dan dilupakan banyak orang dan sebagainya.
Dari sudut antropoligis ini, konsep gaya hidup umumnya digunakan untuk “To describe the way of living of groups of people forming a cultural unity in one way or another” (Nas & v.d. Sande, 1985 dalam Susianto, 1993). Dengan konsep ini, kita makin dekat pada implementasi teknologi sebagai sebuah gaya hidup yang nantinya memberikan implementasi terhadap kehidupan masyarakat.
Agar lebih jelas, Susanne K. Langer mengungkapkan bahwa simbolisasi menjadi kebutuhan pokok manusia. Dengan ini kita dapat memahami bahwa manusia itu adalah unik karena mereka memiliki kemampuan membangun simbol-simbol berdasar kesadaran. Dan demikianlah Handphone menjadi sebuah simbol yang menuntut citra tertentu untuk memperindah identitas diri kita.
Sebenarnya apa implikasi teknologi komunikasi dalam kehidupan masyarakat, dalam kasus ini, Handphone?. Jawabannya tentu saja sebagai alat komunikasi yang membantu memudahkan terjadinya proses komunikasi antara seseorang dengan orang lain dalam jarak yang jauh. Namun jawaban ini terlalu sederhana, keterkaikan teknologi komunikasi lebih daripada menelfon kerabat di luar daerah, atau mengirimkan sms selamat Idul Adha kepada semua nomor kontak yang tersimpan di phonebook. Handphone sebagai teknologi komunikasi pelan-pelan menjelma menjadi suatu wujud yang berantakan, atau chaos dalam konsep dekonstruksi Jacques Derrida. Sebagaimana dijelaskan di atas, Handphone bukanlagi teknologi dengan aktifitas komunikasi sebagaimana yang disarankan oleh fitur-fitur Handphone, nampun jauh melompati kenyataan teknis seperti itu, gaya hidup, prestis/citra, kepuasan personal, hingga penentuan hidup mati seseorang (secara sosial) ditentukan oleh teknologi ini. Demikian kekuatan implementatifnya.
Dampaknya?
Jika membicarakan dampak Handphone dalam suatu masyarakat, tentu saja dipengaruhi oleh perilaku atau karakter suatu masyarakat tertentu. Pada intinya teknologi komunikasi memiliki dampak yang baik dan buruk. Nilai kebaikannya dapat diraih ketika teknologi digunakan sebagaimana tuntunan hati terkait bagaimana teknologi menjadi alat yang bermanfaat bagi masyarakat. Sebaliknya, dampak buruknya tentu saja ketika Handphone digunakan dalam kepentingan untuk merugikan orang lain, dan sebenarnya diri sendiri.
Namun lebih daripada itu, dampak yang harus lebih diperhatikan adalah ketika Handphone tidak lagi menjadi sebuah tools yang membantu kehidupan kita, tetapi menjadi suatu produk dan senjata kapitalis untuk menguras tabungan kita. Saat itu datang dimana konsumsi teknologi tidak lagi diiringi dengan kesadaran untuk memilih dan membuat peta tujuan, untuk apa kita memiliki Handphone. Secara rinci, perilaku konsumsi buta ini mengantar manusia menjadi bukan manusia, atau manusia dalam kualitas lain yang menafikan substansinya sebagai makhluk sosial dalam ruang sosial yang realistis.
Parahnya, ketika perilaku konsumsi ini menjangkiti anak-anak di bawah umur (masih di sekolah dasar), apa pentingnya Handphone bagi mereka? Apakah untuk menghubungi orang tuanya agar menjemputnya sepulang sekolah atau dapat memberitahu orang tuanya kalau saat ini dia berada dimana dan sedang apa seharian?, toh sebelum hadirnya teknologi ini, bahkan sebelum tren anak SD ikut-ikutan menggenggam Handphone, hal ini bukan suatu masalah. Duduk persoalan yang harus lebih diperhatikan yaitu bagaimana jika perilaku anak mulai tidak terkontrol dengan stuff tersebut dan semakin liar bermain dengan pulsa, berkirim pesan dengan orang lain yang belum pernah dikenalnya secara langsung/fisikal, lalu akrab dan timbul rasa saling percaya yang pada akhirnya merugikan si anak itu sendiri. Aihh begitulah dampak Handphone jika dia tumbuh subur sebagai barang konsumsi yang dibiarkan tumbuh liar. ©
REFERENSI
Alex Sobur, M.Si, Drs, 2003 (Cetakan pertama), Semiotika Komunikasi, Rosdakarya, Bandung.
Linda S. Hjorth, dkk (Editor), 2003, Technology and Society; A Bridge to the 21st Century (second Edition), Prentice Hall, New Jersey.
Harry Susianto, 1993, Studi Gaya Hidup sebagai Upaya Mengenali Kebutuhan Anak Muda (artikel dalam Jurnal Psikologi dan Masyarakat), Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia (ISPSI) dan Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Stephen W. Littlejohn & Karen A. Foss, 2009, Teori Komunikasi; theories of Human Communication, Salemba Humanika, Jakarta.
Sustina, SE, ME, 2002 (cetakan kedua), Perilaku Konsumen dan Komunikasi Pemasaran, Rosdakarya, Bandung.
0 komentar:
Post a Comment
Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)