Ketika harga beras mahal. |
Saya adalah anak seorang petani ulet, sawah bapak saya di Kecamatan Galesong boleh dibilang lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari keluarga kami, bahkan sang bapak menjual beras secara eceran. Sebagaimana cara hidup para petani, kehidupan fisik kami ditopang oleh sawah di galesong itu. Saya tidak dapat menikmati nasi dari hasil lading sendiri, sejak 2007 saya memulai studi di Malang. Memang setiap kali mudik dan balik ke Malang, saya dapat menikmati beras yang bercampur keringat orang tua dan keringat sendiri.
Ini mungkin jadi suatu cerita unik tersendiri bagiku. Jika teman-teman asal Sulawesi yang datang kembali ke Malang setelah mudik, membawa kue-kue kering atau oleh-oleh khas daerah bahkan khas keluarga mungkin, maka berbeda dengan saya, walaupun ada juga kue kering yang ikut berlayar bersamaku ke pulau jawa, tapi beras adalah oleh-oleh utama yang dengan susah payah harus kuurus sendiri transportasinya, sejak naik kapal dari pelabuhan Soekarno Hatta di Makassar hingga aman dan siap dikonsumsi di Malang.
Jumlah beras yang kubawa setiap kali kembali ke Malang tentu saja beragam, disesuaikan dengan kondisi, pengaruh utamanya adalah kondisi fisik, jika merasa mampu, saya bisa berbekal 50 liter beras ke Malang, namun jika tidak, setengahnya pun jadi. Kondisi lainnya adalah teman, jika ada teman yang seperjalanan denganku hingga ke Malang, saya pastinya membawa lebih banyak, karena mau tidak mau si teman ini pasti membantu, apalagi mereka yang terhitung sebagai juniorku di Malang.
Kebiasaan berbekal beras ini sempat dikomentari oleh teman di Malang, kenapa beras itu tidak dijual saja dan uangnya yang dibawa ke Malang asal lebih mudah?, jawabanku sederhana, menikmati beras hasil jerih payah sendiri di perantauan punya kekuatan sendiri, walaupun ini sugesti, saya tetap mempertahankannya karena rasa di setiap bulir jelas saja berbeda, jika anda yang terbiasa kepanasan di sawah dan penuh kesyukuran menikmati hasil sawah sendiri, rasa di setiap bulir itu bisa anda temukan. Jawaban lainnya tentu saja soal harga, namun yang terakhir ini tidak terlalu berpengaruh, karena selama persediaan beras bekal belum habis, saya tidak pernah pusing memikirkan berapa budget yang habis untuk belanja beras selama sebulan.
Nah, ketika beras bekal habis, saya selalu mengalami shock atau post power syndrome untuk instilah organisasionalnya, saya pasti merasa kaget dengan harga beras yang kutemui di warung saat pertamakali berbelanja setelah persediaan beras habis. Ini bukanlah sebuah masalah, sepertinya begitu, karena mereka yang telah terbiasa dengan lonjakan harga beras yang tak mengenal jadwal, tidak lagi memusingkan lonjakan, alasannya karena sudah terbiasa, tentu saja. Siapa yang mau duduk diam memikirkan, merefleksikan kebiasaan mereka dan mempertanyakan beberapa hal yang setidaknya aneh dalam proses terbiasa itu.
Kebiasaan membuat kita acuh, mangkir dari godaan keindahan saat memperhatikan detail kehidupan, bukan sok pusing atau pelit sehingga detail terkecil pun menjadi masalah, akan tetapi dengan memikirkan kehidupan yang biasa ini, dapat mengajar kita agar lebih empati, lebih berisi, dan lebih kuat. Terlalu idealis memang, namun begitulah seharusnya orang-orang yang hidup dengan keterbatasan ekonomi mencari keindahan hidup, hadir dalam setiap perenungan terhadap fenomena, membangun dialog intrapersonal dan melahirkan sebuah semangat baru, salah satunya tentu saja empati.
Kalau boleh, ingin kuutarakan sebuah fikiran yang terus saja datang setiap kali shock dengan harga beras kualami, ingin kuajak para mentri dan tentu saja presiden untuk jalan-jalan ke pasar sekedar bertanya harga, hidup seminggu bersamaku dengan keterbatasan ekonomi yang tidak terlalu mencekik seperti ini, mungkin mereka akan kewalahan, hidup manja dengan pembantu membuat datang ke pasar untuk bertanya harga apalagi berbelanja menjadikan perasaan hidup susah cepat mejalari mereka. Aku ingin para mentri dan presiden yang manja ini diberikan kesempatan hidup dengan penghasilan Rp 25.000 per hari selama seminggu saja, apakah mereka mampu? Bebannya adalah istri/suami dan 5 anak sajalah.
Atau berikan kepada mereka uang sebesar 3 Juta, untuk hidup selama sebulan dengan beban seperti di atas, bagaimanakah tanggapan mereka?. Bagiku, tak ada tanggapan karena tidak mungkin mereka akan hidup demikian, mereka akan berkelit semampu mereka, dan toh pasti mereka akan lolos tentunya. Tak ada yang mau hidup susah dengan dibatasi oleh ketersediaan uang untuk memenuhi rasa ingin dalam hidup.
Dari beras kok nyambungnya ke soal mentri dan presiden????
Saya punya satu usul, buat siapa saja yang akan jadi presiden, lowongkan seminggu buat para mentri untuk hidup terbatas, jauh dari pembantu dan kartu kredit mereka, ini buat usaha membangun empati dalam diri mereka, kiranya empati terhadap rakyat ekonomi terbatas dapat menjadi spirit atas kerja-kerja mereka.
Pernah di suatu musim panen/petik kajang hijau, di sawah aku hanya berdua dengan ibuku, membungkuk dan dengan tekun memetik kacang yang telah hitam kulitnya. “Yang cocok jadi presiden itu petani male’(panggilan ibu untuk orang Makassar, Ammale’)”. Dia menyetujui, komentarnya agak lucu juga, bagus juga kalau presiden itu petani, nak! Kan bisa kasi makan orang-orang. Aku hanya tersenyum menanggapinya dan membahas soal ini panjang lebar. Sekarang, aku pasti berfikir bahwa petani tak akan mungkin mau jadi presiden, memperhatikan kakekku yang sudah pusing dan lebih sering pitam dibandingkan tersenyum (tertawa juga sering, tapi bukan tawa bahagia) gara-gara memikirkan sawahnya di jaman yang tak tentu musim, mana musim barat (hujan) mana musim timur (kemarau).
Akh sudahlah, kembali ke persoalan harga beras yang tak menggembirakan para pembelinya, inti tulisan ini, kening saya berkerut dan wajah saya memelas mengetahui harga beras yang tak jelas kapan turunnya, atau naik secara beriringan dengan gaji para buruh atau para pegawai, dan tentu saja uang saku mahasiswa rantau. Hahahahahaha.
0 komentar:
Post a Comment
Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)