Tuesday, October 11, 2011

Makan Malam yang Indah

(Awalnya, tulisan ini kuberi judul: Akkaddokang Taipa Soro ri Lantang Bangngia )

“Malam ini kita makan apa?”, Tanyaku pada Umi. “Cuma ada nasi dan sambal ikan teri yaa”, kataku menjawab pertanyaanku sendiri. Umi hanya terdiam sambil memandang sesuatu.
---

Di sampingku, Umi sudah mengeluh kedinginan, waktu memang sudah menunjukkan jam 11 malam, namun saya tidak merasakan dingin yang memaksaku pulang ke rumah. Saya masih tetap asik dengan laptop mungil yang terkoneksi ke internet.

Hanya rasa lapar yang kemudian mendorongku pulang ke rumah. “Kenapa tidak singgah beli tahu telor aja tadi?”, Umi mengeluh karena saya memelas membayangkan makan malam dengan nasi dan lauk sambal ikan teri.

Akhirnya kuputuskan untuk pulang, namun sebelum meninggalkan area hotspot di gedung ICT kampusku, saya teringat dengan buah mangga yang bisa menjadi penikmat makan malamku, pohon mangga itu terletak di sebelah timur area hotspot tempatku melakukan hobi berselancar di dunia maya.

Selain Darno, teman dari Sulewesi yang juga mahasiswa Unmuh Malang, ada juga Aan, mahasiswa UMI Makassar yang “Numpang hidup” di Malang. Dialah yang kumintai pertolongan untuk mengambilkan beberapa buah mangga. “Mau kupake untuk makan malam, ces”, Kataku pada Aan.

Setelah menggengam 5 buah mangga dengan ukuran berbeda-beda, saya dan Umi pulang ke rumah. Di perjalanan kudiskusikan status halal-haram 5 buah mangga yang kubawa pulang itu.

“Tentu saja halal, mangga ini tumbuh di kampus, trus kita kan udah bayar SPP, berarti ini mangga kita juga”. Kataku.

Akhirnya, buah mangga paling kecil telah tersedia. Mangga rica-rica atau apalah istilah sebenarnya. Kubumbui dengan garam dan vetsin serta 4 buah cabe. Nikmat sekali makan malam ini.

Menu mangga rica-rica memang kegemaranku, jika di Makassar sedang musim buah mangga, menu ini sering tampil di meja makan, pasangannya adalah ikan bakar atau ikan kering. Di keluargaku, hampir semua anggota keluarga menikmati menu ini, walau hanya ada ikan terbang (sebelumnya sudah diasingkan dan dikeringkan, orang Makassar menyebutnya ikan tuing-tuing) dan rica-rica mangga, makan akan berjalan sangat seru, tak cukup jika hanya menghabiskan 2 piring saja.

“Ini (rica-rica mangga) paling enak dimakan pake ikan apa, Kak?”, Tanya Umi saat kami menikmati makan malam berdua.

“Ikan tuing-tuing”. Menurutku ini yang menyenangkan.

Sedikit melenceng dari pembicaraan makan malam. Di kampungku, Galesong, buah mangga sangat mudah didapati, ada banyak pohon mangga yang eksis disana, baik tumbuh di halaman rumah, kebun maupun tempat lainnya yang tidak termasuk di pekarangan rumah. Banyaknya pohon mangga yang tumbuh mungkin membuat buah mangga terasa sangat biasa, sehingga kenikmatan yang dikandungnya sidikit tersisih. Namun bagi beberapa orang, salah satunya ayahku, buah mangga adalah favorit. Tak berlebihan rasanya jika kukatakan buah mangga bagi ayahku adalah buah dari surga yang tumbuh bebas di Galesong.

Saya sendiri mungkin mewarisi ‘sistem cita rasa’ ayahku, namun lebih tepat jika dikatakan bahwa buah mangga bagiku adalah buah penawar rasa rindu, sehingga saya yang telah (agak) lama hidup di tanah orang sangat menggilai buah ini. menikmati sebuah mangga tidak lagi terbatas hanya pada rasa yang dikandungnya, tapi sampai pada kesan kebahagiaan yang terangkum dalam buah mangga.

Makin jauh pembicaraan kita. Ada lagi buah favorit selain mangga, (entah nama buah dalam bahasa Indonesianya apa) Rappo-rappo atau Coppeng dan Bu’ne. Kedua buah ini sangat nikmat bagiku, kenikmatan yang kumaksud tetap tak terbatas hanya pada rasa, namun pada kisah masa anak-anak yang terkandung padanya, baik masa kanak-kanakku maupun kedua orang tuaku, saya banyak mendengar kisah anak-anak hingga remaja mereka dengan menyebutkan dua jenis buah ini.

Maka makan malam ini begitu nikmat dan indah, karena dengan buah mangga, bukan hanya lidah dan perutku saja yang merasakan ‘dirinya’ namun memoriku pun kembali pada puluhan tahun ketika saya masih kanak-kanak. Saya masih ingat bagaimana ayahku memanjat pohon mangga dan memetik buahnya (bantu saya menerjemahkan kata : annompong, ke dalam bahasa Indonesia) hingga terkumpul buah mangga dalam jumlah besar, buah mangga tersebut dijual di warung setelah dijadikan manisan mangga.

Masih teringat jelas dalam kepalaku, ketika aku bangun di subuh hari, bahkan sebelum adzan subuh berkumandang, dan bersama temanku keluar rumah dengan sulo dan mendatangi beberapa pohon mangga, memeriksa rumput atau permukaan tanah di sekitar pohon itu, mungkin ada buah mangga masak dan jatuh ke tanah yang dapat kami nikmati di siang hari saat bermain.

Aih, aku tersenyum begitu saja saat mengingat masa-masa ini, belum lagi kisah-kisah saat ‘berburu’ Comppeng dan Bu’ne. Sungguh indah, sungguh masa kecil yang mengagumkan, masa kecil yang polos namun sengatan energi kepolosan ini membuat hidup yang beranjak dewasa tersadar, bahwa jutaan kebahagiaan dan keindahan menyejarah dan hampir terlupakan. Selamat menikmati makan malam anda.

2 komentar:

ikadaengtene@gmail.com said...

Taruhan..dulu pas masi kecil kita suka jalan pagi2 ke semua pohon mangga karena mengincar mangga jatuh kan..
Kebetulan waktu di Galesong kulihat banyak anak kecil maen ambil aja di dalam pagar..qeqeqe.
Ahaha..gatcha..kudapat pemanjat mangga baru nih. Besok kerumah yah..gada yang bisa manjat neeh.

Cheng Prudjung said...

@unggulcenter :: ada apa dengan fotonya??? itu foto waktu saya makan malam dengan adik di rumah .. hihi

Post a Comment

Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)

 

Alternative Road Copyright © 2012 -- Template was edited by Cheng Prudjung -- Powered by Blogger