Pernah gak kamu ke pasar dan membeli ikan?, saya pernah! Ke pasar dan membeli ikan bukan hal asing bagiku, keluargaku adalah pedagang pasar tradisional di Galesong (Kabupaten Takalar), dan Galesong merupakan salah satu Bandar ikan terbesar di Sulawesi. So, pasar dan ikan bukan hal asing buatku.
Bau amis, lagak dan penampilan penjual ikan yang khas tidak pernah menggangguku, malah saya senang melihat para pedagang ikan di pasar, gayanya tidak beda dengan pedagang ikan di (pasar) kampung halaman, hanya berbeda suara dan semangat tawar menawar saja.
Hari kemarin, hal baru kutemukan di pasar saat mendampingi teman membeli ikan di pasar. Sore itu, beberapa penjual ikan berjejer di depan pasar Blimbing, di pinggir jalan raya. Beberapa diantara ikan yang tersedia di sana adalah bandeng, patin, gurami, kakap, hiu, lumba-lumba dan paus. Diantara ikan-ikan itu, saya tertarik dan senang rasanya menyaksikan ikan gurami yang masih hidup berenang sesukan hati di dalam box ikan.
“Iwak urip, iwak urip!!! (Ikan hidup)”, teriak penjual ikan yang berbadan kekar dengan beberapa tato di kedua lengannya kepada jalanan.
Beberapa pengguna jalan singgah, mereka yang naik motor melintah pelan dan singgah sebentar menyaksikan ikan gurami hidup tanpa trun dari motor. Seseorang datang, perawakannya biasa saja, jelas ekali kalau dia penganut ekonomi lemah yang pada pemilu kemarin memilih SBY. Spontan sambil tersenyum bahagia, dia berkata: Senneng aku ndeluk iwak urip !!! (Aku senang melihat ikan yang masih hidup).
Saya tersenyum kepadanya, menyaksikan senyumnya sangat menyenangkan. Pria tua dengan kaos oblong hijau tua dan celana levis urakan, mungkin di saku belakannya tersampir dompet yang isinya kurang dari lima puluh ribu, atau kurang dari dua puluh ribu malah, berdiri lama di samping box ikan tanpa bertanya berapa harga ikannya.
Senang rasanya. Senang melihat pria tua miskin ini tersenyum bahagia hanya karena menyaksikan ikan hidup. Saya membayangkan andai saja dia diundang berkunjung ke istana dan bertemu langsung dengan SBY, dia pasti lebih memilih melihat ke arah ikan yang berenang di dalam akuarium istana dibandingkan memperhatikan wajah SBY yang banyak bicara. Tapi itni kalau istana Negara punya akuarium di ruang penerimaan tamu miskin seperti pak tua ini.
“Syukurlah kalau mereka masih punya kebahagiaan, walaupun sumbernya dari beberapa ekor ikan yang berenang di dalam box itu, bukan dari pemimpin yang telah menjanjikan kebahagiaan kepada mereka sejak 2004 lalu”, kataku dalam hati.
“Harganya berapa, pak?”. Tanya temanku kepada penjual ikan.
“Yang mati: 30.000. Yang hidup: 32.000”, kata penjual ikan sambil menunjuk ke tumpukan ikan gurami yang telah mati dan ke ikan gurami yang masih hidup di dalam box.
Lucu rasanya mendengar harga tersebut, nyawa itu harganya cuma 2000 saja. Ouh, begitukah???
Terlintas bayang-bayang kelam kehidupan, perdagangan manusia, peperangan, hingga kejahatan hak asasi manusia. Jangan-jangan kita sudah tidak lagi menganggap bahwa nyawa itu adalah perangkat paling berharga dalam kehidupan selain kehormatan.
Cuma ikan memang, tapi harga ikan itu menjadi cermin bagiku, cermin melihat perilaku manusia sepertiku yang lebih memperhatikan tampang, penampilan seseorang atau hal-hal materialistis lainnya tanpa menengok esensi eksistensinya.
Berapa harga nyawaku sendiri? Hahahaha
Dunia ini bukan pasar, dimana kepentingan atau kebutuhan dipertukarkan, kemampuan atau kecakapan diperjual belikan sehingga citra hidup manusia yang awalnya sangat social bergeser menjadi sangat ekonomis. Kau akan dianggap hidup dan bernyawa jika memiliki tenaga, kecakapan, dan jaringan. Tanpa itu semua, kau adalah mayat hidup yang dipermainkan tuhan, diciptakan dan ditinggalkan begitu saja menjadi bahan ejekan manusia yang berharga mahal.
Berapa harga nyawaku??? Hahahahaha
Tergantung bagaimana sang bos mengupahi, tergantung berapa isi amplop yang diterima saat pemilu. Dan tergantung berapa banyak duit yang ada di dalam dompetku. Itulah harga kita, harga manusia. Aihhh, pedih rasanya memikirkan ini terlalu lama, menulis pun menjadi tidak konsen lagi memikirkan beta lalimnya manusia di hadaan harga, betapa rendah dan datarnya kehidupan dengan tuhan uang.
Berapa harga nyawaku????
Tergantung seberapa kuat tubuhku mengolah sawah dan menjual hasilnya, tergantung seberapa cerdik para politisi mempermainkan opini dan meramu wacana. Harga hidup yang dahulu kala tak pernah disentuh harga, kini mulai dihargai dan harga itu adalah sudut pandang paling utama dalam memandang manusia lainnya yang mempengaruhi kita dalam memberikan atau merespon orang lain dalam kehidupan sosial.
Memang cuman ikan kawan, tapi ikan gurami dan pedagangnya itu menjadi cermin bagiku membangun refleksi di akhir tahun, sungguh materialism telah menguasai kehidupan kita, sehingga cinta tidak lagi disimbolkan dengan bunga mawar, tetapi pertamina (bensin): motor dan mobil, parahnya lagi jika disimbolkan oleh kondom: Ahhhhh betapa harga anak-anak di generasi mendatang lebih murah dari kondom di pasar, karena mereka lahir dari kondom produk gagal.
Berapa harga nyawaku? Silahkan menawar kawan !!!
Sunday, January 1, 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 komentar:
untuk yg baru mau belajar budidaya gurami
kami mengadakan pelatihan cara budidaya gurami
langsung praktek
info lebih lanjut hub hp:085 290 363 823
Post a Comment
Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)