Friday, December 25, 2009

Ucapan Selamat Natal Dalam Al-Quran

Oleh: Hadi Saputra
Hampir setiap Desember, puluhan spanduk ucapan Selamat Hari Natal terpampang di jalan-jalan protokol, gedung-gedung perkantoran maupun pusat-pusat perbelanjaan. Tampaknya negeri yang sebagian besar penduduknya beragama Islam ini, ikut merasakan kebahagiaan dengan peringatan kelahiran (Natal) Isa Al-Masih (Jesus). Semoga saja spanduk tersebut berbanding lurus dengan penghayatan pesan-pesan kasih dan damai yang dibawa oleh Putera Maryam tersebut.
        Sayangnya masih terdengar sayup-sayup gugatan terhadap ucapan selamat tersebut dengan menggunakan legitimasi keagamaan. Seolah dengan mengucapkan ucapan tersebut sebagai orang Islam kita terancam kafir bahkan musyrik. Ada pula seorang sahabat yang mengatakan bahwa ucapan di ruang-ruang publik tersebut tak lebih sekadar tuntutan sosial, tak berkorelasi dengan pandangan keagamaan. Bagaimana sebenarnya pandangan Islam?



Natal dalam Al-Qur’an.
          Dalam pemahaman Islam saya yang awam, saya heran kalau masih ada orang Islam yang mengharamkan ucapan selamat Natal. Kalau alasan yang digunakan adalah kerusakan aqidah, lalu bagaimana dengan rukun Iman yang keempat; Iman Kepada Rasul-rasul Allah? Bukankah salah satu dari Rasul tersebut adalah Isa Al-Masih?

Saya juga ingin mengutip ayat yang dirujuk Zuhairi Misrawi, alumni Universitas al-Azhar Kairo Mesir, dalam Kitab “Al-Qur’an Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme”. Cendekiawan Muda NU tersebut ini merujuk pada Q.S. Maryam 33-34: “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku hidup dibangkitkan kembali”. Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mana mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya”.
Dalam kasus mengucapkan Selamat Natal, Al-Quran lebih unik dan lebih lengkap dalam memberikan ucapan selamat. Jika Natal berarti hanya merayakan kelahiran Nabi Isa, Al-Quran justru memberi selamat pada tiga momen sekaligus: saat kelahiran, wafat, dan kebangkitan kembali.
Menurut Imam al-Razi dalam Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghayb, terdapat beberapa makna dalam pesan mengucapkan Selamat Natal tersebut. Pertama, sebagai jawaban atas mereka yang menuduh Bunda Maria melahirkan Isa dari hasil perzinahan. Artinya, Tuhan memberikan salam kepada Nabi Isa karena sesungguhnya ia adalah utusan Tuhan yang dilahirkan dari rahim kesucian bundanya. Masih menurut al-Razi, ucapan selamat itu sebagai doa agar ia diberi rasa aman dan nyaman, baik ketika di dunia, alam barzakh maupun di akhirat.
Alangkah ironisnya jika ada orang Islam yang mengharamkan ucapan Selamat Natal, padahal Tuhan sendiri mengucapkan Selamat Natal sebagai sebuah penghargaan atas pengabdian Isa al-Masih bagi pelayanan kemanusiaan. Apatah lagi fenomena ucapan Selamat Natal sebenarnya merupakan praktek atau tradisi keagamaan yang sudah berkembang lama sekali, tidak hanya di Indonesia tapi juga di negeri-negeri muslim lainnya seperti Mesir. Misalnya sejumlah agamawan terkemuka di Mesir, seperti Grand Syeikh Al-Azhar Kairo, Sayyid Muhammad Thanthawi, tak hanya membolehkan seorang Muslim turut merayakan hari raya Natal. Beliau memberikan keteladanan baik dengan menghadiri undangan perayaan Natal umat Kristen (Koptik) di sana (Satrawi dalam Opini Kompas 19/12/2009).
Dengan memberi bingkai teologis terhadap ucapan Selamat Natal, setidaknya hal tersebut akan memberikan beberapa implikasi: Pertama, secara psikologis akan menghindarkan ummat dari split personality. Saya menyebutnya split karena selama ini ucapan selamat Natal sering diucapkan oleh ummat Islam, tapi dalam bingkai profesionalisme, karena kapasitas mereka sebagai birokrat, atau karena kapasitas sebagai pengusaha yang memberikan ucapan selamat terhadap klien/pelanggan. Ucapan selamat Natal sekadar manis di bibir namun tak menghunjam dalam ketulusan hati karena tersangkut dengan pandangan keagamaan yang selama ini mereka dapatkan. Sehingga dengan memberikan pandangan keagamaan yang inklusif, akan menghadirkan ummat yang konsisten antara keyakinan, kata dan laku.
Kedua, secara sosiologis ini legitimasi teologis terhadap ucapan selamat Natal akan membangun harmoni social dan mencegah konflik. Pernah suatu ketika Muadz Bin Jabal hendak diutus ke Yaman, pesan pertama Nabi adalah agar berdakwah dengan senyuman dan membahagiakan orang lain. Dengan demikian, ucapan kebahagiaan merupakan ucapan yang semestinya dijadikan sebagai tali pengikat untuk membangun keharmonisan.
Memberikan legitimasi terhadap ucapan selamat Natal merupakan sebuah langkah preventif terhadap konflik. Bukankah konflik itu lahir karena metode kita dalam merumuskan identitas adalah dengan menegasikan yang lain? Identifikasi "kita" dan "mereka", dengan menggunakan legitimasi keagamaan. Dalam situasi yang amat genting, narasi seperti ini akan berkembang makin tajam, mengarah kepada eskalasi konflik: kelompok sendiri "kita", disucikan dan makin disucikan, sedangkan kelompok lain, "mereka" dilecehkan, bahkan dapat berkembang kepada pemberian legitimasi penggunaan kekerasan (bersenjata) dalam "perjuangan suci" melawan kelompok lain, kelompok "mereka" atau sebaliknya.

Pluralisme Agama
Mengucapkan Selamat Natal merupakan jalan menuju impian yang lebih tinggi: pengakuan terhadap pluralisme agama. Dengan mengutip Prof. Diana L. Eck, Direktur the Pluralism Project di Harvard University, pluralisme setidaknya memiliki tiga makna: 
Pertama, Pluralisme adalah keterlibatan aktif di tengah keragaman dan perbedaan. Pluralisme sebenarnya mengajak kita untuk lebih dari sekadar mengakui keragaman dan perbedaan, melainkan merangkai keragaman untuk tujuan bersama. Kedua, pluralisme lebih dari sekadar toleransi. Pluralisme adalah sebuah upaya memahami yang lain melalui pemahaman yang onstruktif. Artinya, karena perbedaan dan keragaman merupakan hal yang nyata, maka yang diperlukan adalah pemahaman yang baik dan lengkap tentang yang lain.
Ketiga, pluralisme bukanlah relativisme. Pluralisme adalah upaya menemukan komitmen bersama diantara berbagai komitmen. Setiap agama mempunyai komitmen masing-masing. Namun dari sekian komitmen yang beragam tersebut dicarikan komitmen bersama untuk memfokuskan perhatian pada upaya kepentingan bersama, yaitu kemanusiaan.
Jadi pluralisme bukanlah paham yang meyakini semua agama adalah sama. Pluralisme adalah paham yang mendorong agar keragaman dijadikan sebagai potensi untuk membangun toleransi dan komitmen bersama untuk kemanusiaan. Pluralisme itu berarti membiarkan mawar, melati, kenanga, agar bisa hidup dan berkembang sebanyak-banyaknya dalam suatu taman. Agar keharumannya bisa dinikmati orang banyak. Bukan mengubah mawar menjadi melati atau melati jadi kenanga. Kalau itu yang dimaksud, berarti hal tersebut telah menyalahi kodrat
Pengertian pluralisme di atas ditegaskan oleh Al-Quran surat Al-Baqarah 148 dan Al-Maidah 48. Dalam surat Al-Baqarah 148 Allah berfirman; "dan masing-masing mempunyai kiblat yang ia menghadap kepadanya; maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan...". Dalam surat Al Maidah 48 "...sekiranya Allah menghendaki niscaya dijadikannya kamu satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu dengan pemberian-Nya kepada kamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan...". Selain itu terdapat ayat-ayat lain yang dapat ditafsirkan mendukung adanya pengertian Pluralisme dalam Al Quran, yaitu Q.S.11:118, 16:93, 42:8 dan 49:13. Penjelasan terhadap ayat-ayat diatas dapat ditemukan dalam Tafsir Tematik Hubungan Sosial Antarumat Beragama yang diterbitkan Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah (2000).
Akhirnya Selamat Hari Raya Natal 2009. Semoga kita makin dewasa dalam merangkai perbedaan menuju damai-sejahtera, Amien.

0 komentar:

Post a Comment

Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)

 

Alternative Road Copyright © 2012 -- Template was edited by Cheng Prudjung -- Powered by Blogger