Monday, November 15, 2010

Berkenalan dengan Cyberculture

Oleh Amaradani

Term cyberspace diperkenalkan tahun 1984 oleh William Gibson dalam novelnya Neuromancer (sebelumnya cyberspace disebut sebagai the Net, the Web, the Cloud, the Matrix, the Metaverse, the Datasphere, the electronic frontier, the Information Superhighway, dll.). Cyberspace menjadi setting utama novel-novel Gibson selanjutnya, Count Zero (1986), Mona Lisa Overdrive (1988), dan Virtual Light (1993). Belakangan karya fiksi yang memakai gaya Gibson disebut cyberpunk. Tokoh utama cyberpunk, selain Gibson, adalah Pat Cadigan yang menulis Patterns (1989), Synners (1991), dan Fools (1994). Dalam Neuromancer Gibson menjelaskan cyberspace sebagai "pamandangan yang dihasilkan oleh komputer-komputer yang ‘ditancapkan langsung’—kadang juga dengan langsung memasukkan elektroda-elektroda ke dalam soket-soket yang ditanamkan di otak".

Yang dijumpai dalam cyberspace adalah representasi 3 dimensional semua informasi yang ada dalam "setiap komputer dalam sistem manusia"—sebuah gudang yang sangat besar dan sebuah lautan data. Atau dalam penggambaran Gibson, "...sebuah tempat dengan kompleksitas yang tak terpikirkan, dengan kelompok garis-garis cahaya dan merupakan konstelasi-konstelasi data. Seperti sebuah kota cahaya..."

Apa yang paling penting dari cyberspace sebenarnya bukanlah kabel-kabel, telepon, atau komputer jaringan. Sebab semuanya itu hanyalah menunjuk pada kendaraan, hanya menunjuk jalan raya informasi, dan bukannya tujuan yang disebut Gibson: kecemerlangan kota cahaya di akhir jalan itu. Lebih dari sekedar "wiring system" ataupun internet, cyberspace adalah sebuah pengalaman, adalah tentang masyarakat yang memakai teknologi baru untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya secara genetis sudah mereka programkan, yaitu berkomunikasi.

Studi Cyberculture dalam Cultural Studies Dalam cultural studies, cyberspace didekati melalui kritik yang lebih luas (semua ini bisa dimasukkan dalam ranah studi cyberculture), yang meliputi aspek-aspek sosial, ekonomi, dan terpenting adalah aspek ideologi politik dari cyberspace. Alasannya, menurut Krista Scott, karena revolusi digital sesungguhnya adalah tentang kekuasaan.

Sherry Turkle mungkin bisa disebut sebagai pelopor studi cyberculture dalam cultural studies. Ia sudah mulai meneliti hubungan antara manusia, komputer, dan kepribadian sejak awal ‘80-an. Dalam buku mutakhirnya, Life on the Screen: Identity in the Age of the Internet (1995) ia mengatakan bahwa dulu komputer merupakan metanaratif modernisme yang terbesar, komputer adalah kisah bagaimana pekerjaan dibuat menjadi lebih ringkas dan menarik. Sekarang, di era postmodern, dengan komputer yang mampu menciptakan "budaya simulasi", konstruksi ideologi modernisme tentang komputer mulai bergeser. Komputer bahkan memberikan jalan untuk berpikir lebih konkret tentang krisis identitas.

Menurut Turkle, dalam dunia simulasi identitas dapat mencair dan menjadi multi-identitas. Internet adalah contoh yang paling eksplisit tentang multi-personalitas. Cyberspace memungkinkan pemakainya untuk menggunakan identitas yang diingininya. Seseorang bisa dengan mudah mengasumsikan dirinya sebagai laki-laki atau perempuan ("dalam cyberspace tak ada yang tahu bahwa Anda adalah seekor anjing"). Jenis identitas seperti ini membuat orang merasa lebih memahami aspek-aspek tersembunyi dari diri mereka sendiri lewat merayakan kebebasan dalam dunia anonimitas. Ia menyim-pulkan bahwa internet telah menjadi laboratorium sosial yang penting dalam percobaan mengkonstruksi dan merekonstruksi diri yang mencirikan kehidupan postmodern. Dalam cyberspace, self menjadi self-fashion dan self-create.

Teoritisi lain—seperti Stephen Levy, John Markoff, Hugo Cornwall, dll.—mengembangkan konsep tentang identi-tas dan anonimitas ini ke wilayah politik. Dalam cyberspace sesungguhnya sejarah manusia telah memasuki sebuah era akhir sosial. Transparansi sosial memuncak, ditandai dengan lenyapnya kategori sosial, batas sosial, dan hierarki sosial yang sebelumnya membentuk suatu masyarakat. Pemikir Perancis Jean Baudrillard menyatakan bahwa dalam cyberspace yang berlaku bukanlah hukum kemajuan—sebab kemajuan selalu berarti ekspansi teritorial—melainkan hukum orbit. Lewat hukum orbit segala sesuatu berputar secara global, berpindah dari satu tempat ke tepat lain, dari satu teritorial ke teritorial lain, dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain. Dalam proses perputaran itu semua wujud berubah menjadi virtual.

Mengikuti teori Michel Foucault tentang hubungan kekuasaan dan pengetahuan, beberapa pemikir sampai pada kesimpulan bahwa era cyberculture adalah era matinya politik. Kesimpulan ini berangkat dari asumsi bahwa cyberspace adalah dunia informasi. Informasi berbeda dengan pengetahun (knowledge), sebab informasi tidak membutuhkan basis pengalaman. Cyberspace hanyalah lalu lintas informasi, data-data yang bersliweran. Sebagai konsekuensi pemikiran semacam ini, maka kekuasaan menjadi tidak ada. Sebab bagaimana mungkin kekuasaan bisa bekerja tanpa pengetahuan? Wajar jika kemudian Dan Thu Nguyen dan Jon Alexander mendeklarasikan sebuah era berakhirnya politik.

Nicholas Negroponte, pendiri MIT Media Lab, mengajukan sebuah "metafisika cyberspace". Menurutnya dalam cyberspace partikel fundamental bukanlah atom—sebagaimana dalam "dunia nyata"—melainkan bit (digit biner). Bit merupakan unsur atomik terkecil dalam DNA informasi. Bit disimbolkan sebagai 1 atau 0 (menunjuk keadaan dua keadaan: on-off, atas-bawah, hitam-putih, dst.).

Bit selalu menjadi partikel dasar komputasi digital. Ciri utamanya: tidak mempunyai berat dan mampu bergerak dalam kecepatan cahaya. Dalam cyberspace, semua produk kebudayaan selalu berbentuk bit (prinsip sebenarnya: bentuk atomis yang dimampatkan menjadi digital). Dulu untuk mengirim lukisan Andi Warhol dari Amerika ke Indonesia dibutuhkan kemasan yang besar dan bisa makan waktu berminggu-minggu. Untuk hal yang sama, dalam cyberspace hanya dibutuhkan waktu sepersekian detik saja tanpa butuh jasa FedEx.

Jika kebudayaan lama digerakkan oleh atom, kata Negroponte, maka cyberculture digerakkan oleh bit. Ekonomi lama yang mengandalkan industri benda-benda, dalam cyberspace digantikan oleh industri informasi/industri bit. Nilai sebuah bit ditentukan oleh kemampuannya untuk dipakai secara berulang-ulang (karenanya bit Mickey Mouse lebih mahal ketimbang bit Forest Gump). Logika ekonomi lama (semisal teori bahwa pabrik dan toko yang besar adalah modal yang amat berharga) dijungkirbalikkan dalam cyberspace (karena yang dibutuhkan sebenarnya hanyalah sebuah homepage, dan sebuah pabrik atau toko yang besar justru adalah pemborosan).

0 komentar:

Post a Comment

Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)

 

Alternative Road Copyright © 2012 -- Template was edited by Cheng Prudjung -- Powered by Blogger