Thursday, October 27, 2011

Imperialisme Kultural ala Hollywood dalam Film Spiderman

imperialisme kultural hollywood dalam spiderman
Film Spiderman, seri pertama sampai ketiga, disusun secara naratif. Kisah kepahlawanan Peter Parker (Tobey Maguire) yang menjelma menjadi sesosok manusia laba-laba disampaikan dengan alur bercerita yang lurus, para penonton tak usah mempersiapkan kekuatan mencerna yang lebih untuk mendapatkan kepuasan menonton drama seperti ini. Sepintas, cerita dalam film ini cukup sederhanya, Peter Parker yang juga Spiderman menyukai MJ (Mary Jane Watson), bermusuhan dengan Sandman dan Venom. Dia berhasil mengalahkan lawannya atas bantuan Harry, sahabat yang sebelumnya berniat membalaskan dendam kematian ayahnya kepada Spiderman.

Namun, ternyata tak sesederhana itu. Sebagai produk Hollywood dengan ciri khas genre film action, atau drama heroik yang menunjukkan superioritas golongan sendiri, dan cara pandang dunia tentang kebaikan-keburukan. Dia memang disusun dengan alur cerita naratif, (yaitu penyusunan rangakaian peristiwa yang berhubungan satu sama lain atau terikat pada logika sebab akibat), dengan pengaruh besar dalam kehidupan kita sebagi penonton atau konsumen.

Dalam film Spiderman 3, pandangan hidup hitam putih ini dapat dilihat bagaimana ia dan musuh-musuhnya direpresentasikan, musuh Spiderman seperti Sandman dan Venom dianggap sebagai penjahat karena dia melakukan kejahatan, misalnya si Sandman atau Marco adalah perampok bank dan si Venom adalah pembuat rusuh. Sementara dunia kejahatan tidak sebatas pada kegiatan kriminal, premanisme, mengganggu ketenangan umum, namun mencakup persoalan ekonomi, misalnya korupsi-penggelapan dana, atau dalam ranah politik misalnya menjalankan pemerintahan yang nepotism atau praktek kolusi. Sementara Spiderman adalah orang baik, superhero malah karena lebih mampu menangani kejahatan kriminalistis dibandingkan polisi.

Simbolisasi-simbolisasi yang menghiasi film Hollywood secara umum dipengaruhi atas pandangan hidup di atas. Barker mengemukakan berbagai komodifikasi produk populer yang mencakup musik pop, film, televisi dan fashion akan menghasilkan pemaknaan yang diubah, dan diatur pada level konsumsi oleh orang-orang yang merupakan produsen aktif kebudayaan (Barker, 2004: 302). Jika sependapat dengan apa yang disampaikan Berger, maka kita bisa melihat atau berasumsi bahwa film Hollywood mengatur suatu simbol-simbol untuk para konsumennya dengan suatu tujuan tertentu. Lalu simbol apakah yang dirancang dan dikomunikasikan oleh produsen aktif ini dalam film-film yang tersebar di belahan dunia?.

Perlu diingat bahwa, konsumsi film tidak sebatas usaha untuk menikmati adegan demi adegan dalam suatu penayangan film. Lebih dari hanya sekedar berekspresi tertawa/tersenyum atau sedih, sebuah ide-ide pelan-pelan merasuki diri kita, otak kita mulai menyimpan simbol-simbol yang ditampilkan dalam suatu film, misalkan simbolisasi orang jahat adalah ini, ini dan ini, sementara orang baik adalan itu, itu dan itu!. Spiderman disukai banyak orang karena dia selalu menolong orang-orang yang dijahati (jahat dalam artian criminal), maka untuk disenangi oleh banyak orang kita (sesuai dominasi simbolik dalam film ini) harus berbuat baik dengan menolong orang yang dijahati.

Pandangan hidup seperti ini pelan-pelan menguasai para penontonnya, dunia mulai direkayasa dari kehidupan heterogen menjadi homogen yang berkiblan ke amerika (amarican way of life). Dengan usaha hegemonisasi ini, produsen-produsen kebudayaan akan lebih mudah memproduksi simbol untuk menjerat konsumen hingga tak bias lepas dari budaya konsumtifnya.

Kurang lebih begitulah kondisi film Spiderman 3 ini dibalik penampilan kerennya meloncati gedung demi gedung, menempel kesana dan kemari sesuka hatinya. Mungkin apa yang telah disampaikan pada tulisan sebelumnya (Pencarian Jati Diri Bersama Spiderman) agak berbeda dengan catatan kali ini, karena ide-ide pencaharian jati diri biasanya menjadi cirri khas film Eropa.



Apa yang terjadi?

Mungkin pertanyaan yang hadir di benak teman-teman adalah apa yang terjadi saat kita menjadi maniak film Hollywood?, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, ciri khas film Hollywood yang materialistis, pandangan terhadap dunia yang hitam putih dan superioritasnya tidak dipungkiri lagi mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Selain film Spiderman, kita dapat merefleksikan film lain asal Hollywood dan menelisik pengaruhnya terhadap diiri kita.

Secara kasar, pengaruh tersebut tak dapat diidentifikasi, namun jika memandang fenomena secara “jernih” dan mulai mempertanyakan hal-hal kecil yang kita alami, tentu aka nada petunjung disana, misalnya sejak kapan orang mulai mengatakan bahwa menggunakan hape itu adalah tanda atau simbol kemajuan seseorang, bergaul dengan aksesoris mahal dan produk limited edition itu popular, mengenakan baju distro itu dianggap gaya anak muda kota dan sebagainya?.

Apakah fenomena di atas itu merupakan perkembangan selanjutnya dari kebudayaan lokal kita sendiri atau dipengaruhi oleh budaya luar yang tanpa disadari terakulturasi dan menjadi apa yang disaksikan saat ini?. daln pertanyaan lainnya.

Namun bagi penulis, gaya hidup hitam putih ala Amrik jelas mempengaruhi gaya hidup kita, mulai dari minat akan musik, film, fashion, hingga food. Kebudayaan-kebudayaan murni akhirnya bias dengan serangan budaya baru. Konsumsi atas budaya baru itu kemudian dimaknai sebagai jalan menuju masyarakat modern. Keterbatasan informasi menjadikan suatu komunitas yang diserang oleh budaya luar (lebih superior) mengkonsumsi secara buta.

The American way of life mulai mendikte kepala kita mengatakan kampungan (ndeso) kepada orang-orang yang tidak mengenakan distro atau menenteng gadget kemana-mana, kita akan menegaskan bahwa seseorang yang ketinggalan dalam mengikuti perkembangan produk handphone tidak popular, tidak up to date dan sebagainya. Akhirnya, kehidupan yang dijalani terlalu mekanistik.

Mari kembali pada film Spiderman 3, memperhatikan beberapa hal, misalkan kehidupan si Marco yang dianggap sebagai penjahat (buronan polisi), apakah dia benar-benar seorang penjahat dengan sikap yang jahat? Jika jeli memperhatikannya, Marco hanyalah seorang bapak yang “kurang beruntung” menurut cara pandang orang Amrik, dia memiliki seorang anak yang sakit dan harus dioperasi. Sayangnya, dia hidup dengan keuangan yang terbatas, untuk membiayai operasi anaknya, dia mencari uang dengan cara merampok, dengan merampok dia bisa mendapatkan uang yang banyak dalam waktu seketika.

Dengan demikian, Marco pada dasarnya adalah orang yang baik, penuh kasih sayang, ia mencintai anaknya dan melakukan apa saja agar anaknya hidup sehat dan bahagia. Namun, hanya karena merampok dia akhirnya dikenal sebagai seorang penjahat, apakah dia penjahat? Apakah orang yang pada dasarnya baik lalu melakukan suatu kesalahan adalah penjahat?

Film Hollywood tidak memberikan kita kesempatan untuk melintakan pikiran atau pertanyaan seperti di atas, rangkaian peristiwa/adegan dalam film yang naratif membuat kepala kita bekerja dalam porsi yang biasa, perangkat pemaknaan dalam diri kita dinon aktifkan karena untuk menerima pesan dalam film-film Hollywood tak usah susah-susah, toh film itu dsisusun dengan logika sebab akibat.



Menyembah Merah Biru

american flag and spiderman

Apakah kita menyadari bahwa kostum Merah-biru (dominan) yang dikenakan Spiderman merupakan ikon dari Amerika? Coba kita ingat warna bendera Amerika!

Kepahlawanan Spiderman tentu menarik perhatian kita, sehingga kita senang atas sosok dirinya dan memujinya, bahkan seakan menyembah karena Spiderman adalah sosok yang tak tercela (hal ini lebih kuat di seri pertama dan kedua). Superioritas Spiderman terkesan tak mementingkan suatu kelompok, dia adalah pahlawan yang universal, topeng atau penutup wajah yang dikenakannya itulah yang merepresentasikan demikian, bahwa dia menolong siapa saja, miskin maupun kaya; orang tua, dewasa, maupun anak-anak; profesi apa saja, dan sebagainya.

Kesan universalitas itu menjadikan dirinya pahlawan bagi siapa saja, orang-orang di Indonesia akan menganggap dia sebagai pahlawan walaupun Spiderman tak pernah berjuang untuk orang Indonesia.

Namun, bukan Spiderman semata yang disembah karena kepahlawanannya, dia bukan pahlawan yang membela golongan apa saja, kostum yang dikenakannya terang sekali menjelaskan siapa dirinya dan apa ideologinya. Apakah kita menyadari ini?



cultural imperialism by hollywood movies
Untuk apa simbol-simbol dalam film Hollywood?

Mari melihat film ini dengan lebih serius, memasuki wacana yang lebih “berat” bagi penikmat film. Mengutip Herbert Schiller (1995) yang mengatakan bahwa kapitalisme telah berada di puncak sublimasinya (advance capitalism), dimana modal tidak diterjemahkan dalam dimensi ekonomi, tetapi juga nilai-nilai budaya (cultural capital). Kapitalisme Barat tidak saja menginvestasi modal dan infrasruktur fisik, namun sekaligus memaksakan modal budayanya untuk diterima sebagai salah satu nilai tunggal peradaban manusia mendatang.

Dengan memahami perkembangan kapitalisme, simbol-simbol itu jelas sekali peruntukannya. Ada praktik imperialisme kultural yang dibangun oleh produser-produser dengan maksud menciptakan masyarakat dunia yang sama. Saya mencoba mengacu pada Tomlinson dalam kritiknya terhadap kapitalisme global, dia menyatakan adanya bentuk tekanan kultural yang homogen (homogenizing cultural force) (Tomlinson, 2002: 228).

Tekanan kultural dilakukan dengan sangat halus, sehingga konsumen tidak menyadari adanya imperialisme kulturan dari kebiasaan menonton film, suatu kebiasaan yang dianggap remeeh temeh tanpa berefek apapun kecuali kelelahan karena duduk terlalu lama. Sturuktur naratif dalam film juga membuat pesan-pesan film semakin mudah tersimpan dalam memori dan siap untuk menjadi sikap baru dalam kehidupan kita.


O’Shaughnessy dan Stadler menggambarkan imperalisme kultural sebagai proses dimana suatu budaya memaksakan kontrol politik dan ekonominya terhadap budaya lain tidak melalui invasi kontrol politis serta kekuatan fisik namun melalui invasi nilai-nilai dan gagasan-gagasan kulturalnya (O’Shaughnessy dan Stadler, 2002: 119). Film sebagai produk industri dan ekonomi dapat menerapkan kontrol kulturalnya terhadap budaya lain melalui beragam cara yang kemudian tanpa disadari diterima sebagai bagian dari jargon budaya konsumsi.

Akhirnya, mungkin kita berfikir bahwa dengan melakukan pembajakan film Spiderman 3, kita akan menghajar produser kapitalis, keuntungan yang diraihnya tentu saja berkurang, dan pelan-pelan akan hancur. Sayangnya, kapitalisme tidak sesederhana itu, kaapitalisme pelan-pelan menyebarkan virusnya dengan homogenisasi, dengan homogenisasi hidup makin mudah diterjemahkan dan diatur! Sekali lagi, kapitalisme semakin memperluas daya jangkaunya dalam kehidupan, dia tidak hanya hidup dalam aspek perekonomian, namun telah menyerempet ke ranah kebudayaan. Secara ekonomis, kita mungkin tidak berperilaku konsumtif, namun secara budaya, mungkin saja iya!.




Catatan : Peserta diskusi diharapkan menonton film Spiderman 3 sekali lagi dan membuat catatan-catatan kecil (jika diperlukan) soal ide-ide yang ditemukan dalam film tersebut.

1 komentar:

Anonymous said...

Logika barat yg tercermin dalam film Spiderman yg konon tokoh pahlawan pembrantas kejahatan merupakan aktor dalam runtuhnya idealisme pemuda lokal indonesia dalam melihat sebuah fenomena sosial. Tidak hanya Spiderman tetapi, masih banyak tokoh lain yg diciptakan barat dalam hal kepahlawanan.

yg menjadi inti dari serial kepahlawanan yg diciptakan oleh Hollywoon adalah pahlawan dalam bentuk nyata, atau pahlawan yg hanya memberantas kejahatan yg terlihat oleh mata. dan barat serta Hollywood yg notabennya adlah negara kapitalis berhasil menyemukan yg namanya kejahatan. Kejahatan yg terlihat yg biasa dilakukan oleh orang yg terdesak akan kebutuhan perut.

bisa dilihat tiap serial kepahlawanan. bahwa, mereka tidak pernah menangkap para penjahat kerah putih. pertanyaanya kenapa? karena barat secara tidak langsung mencuci otak kita bahwa kejahatan kerah putih memang dan susah dibrantas. walau, ada wujud kepahlawanan...


inilah wacaana yg dapat saya ambil dari tulisan anda,,, terima kasih telah comen tulisanku,,,, kalu bisa kita saling add atau join... wassalam...

Post a Comment

Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)

 

Alternative Road Copyright © 2012 -- Template was edited by Cheng Prudjung -- Powered by Blogger