Wednesday, November 9, 2011

Kebebasan Pers? Omong Kosong! Sebuah Catatan Perkuliahan Hukum Media Massa

Pengantar

Perdebatan soal kebebasan pers sepertinya makin marak. Kita dapat melihat bagaimana respon AJI saat RUU Intelijen disahkan (11 Oktober 2011), dengan pengesahan tersebut, Ketua Umum AJI Nezar Patria, sebagaimana dikutip dari voa-islam.com dengan berita berjudul AJI: RUU Intelijen Disahkan, Kebebasan Pers Terancam, berpendapat bahwa pembatasan atau restriksi terhadap kebebasan melalui "penyadapan" perlu dijabarkan lebih detil dan tidak bisa diterima dalam kondisi negara tertib sipil atau dalam kondisi negara aman damai.

Terkait Isu Pers Pasal 26 RUU Intelijen menyebutkan: "Setiap orang atau badan hukum dilarang membuka dan/atau membocorkan rahasia intelijen". Artinya, siapapun yang terbukti membuka atau membocorkan rahasia intelijen dapat dikenai sanksi pidana. Sanksi pidana untuk pembocor intelijen diatur dalam pasal 44 dan 45 RUU Intelijen, yakni 10 tahun penjara dan 7 tahun penjara dan atau denda ratusan juta rupiah.

Ancaman tersebut tentu saja menakutkan para pembela kebebasan pers, para kuli tinta yang bekerja membuka kerang informasi dengan iming-iming terwujudnya sebuah Negara atau masyarakat demoktaris, hal ini merujuk pada adagium bahwa pers merupakan pilar keempat suatu Negara demokratis. Pekerjaan jurnalis terancam semakin berbahaya, dan ancaman terjadinya praktek “Jurus Kebal Wartawan” akan semakin marak, karena narasumber dapat beralasan bahwa informasi yang digali oleh si wartawan, adalah rahasia intelijen yang tidak bias disebar luaskan.

Miris memang, ketika kerang informasi yang harusnya dibuka oleh pers, disembunyikan di dalam ruang khusus dengan sebuah memo terpampang di depan pintu, “Selain karyawan (intelijen) tak boleh masuk!”. Dan disanalah batas kamera, tape recorder dan pertanyaan-pertanyaan wartawan terhenti. Kerang informasi tak terjamah. Dan kebebasan pers terancam sirna.

Kebebasan pers?

Seorang narasumber dapat berlindung dari pertanyaan watawan dengan menggunakan jurus kebal tadi, sebaliknya wartawan tetap melawan dengan menggunakan jurus “KEBEBASAN PERS-nya”. Dan inilah mata air permasalahannya. Perdebatan tersebut entah akan berpangkal kemana.

Namun marilah kita mempertanyakan APA KEBEBASAN PERS ITU???

Apakah itu berarti pers bebas melakukan apa saja untuk mendapatkan sebuah informasi yang kemudian akan dijual kepada masyarakat?, kebebasan yang membuat mereka dapat masuk ke ruang-ruang penuh informasi dengan licin seperti belut dengan modal keahlian menggali dan mengolah informasi ??

Ini akan betul-betul menjadi perdebatan yang panjang.

Namun baiklah, pertanyaan di atas tak perlu dijawab dengan terburu-buru, kita butuh mengklarifikasi, darimana istilah kebebasan per situ berasal?, kita mesti mengetahui ini agar apa yang diperjuangkan oleh para insane pers (kebebasan pers) tidak mengawang-awang.

Mari memperhatikan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 di dalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak.

Mungkin kata “kemerdekaan pers” pada dua ayat di pasal empat tersebutlah yang dimaksudkan atau dimaknai sebagai kebebasan pers oleh mereka yang kerapkali menyebut kebebasan itu. Di beberapa pasal lain tidak ditemukan kata “kebebasan pers”, sehingga jelas bahwa kebebasan pers hanyalah sebuah ide utopis dengan rujukan yang tidak jelas.

Mungkin perlu juga memperhatikan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 28 huruf F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Pada UUD 45 pasal 28 huruf F di atas, jelas sekali disebutkan bagaimana hak berkomunikasi (dan hak lain yang disebutkan pada pasal di atas) dimiliki oleh setiap orang. Namun apakah semuanya itu merupakan suatu wujud dari kebebasan pers yang dimaksud?.

Jika mengacuh pada Profil Dewan Pers 2010-2013, memang banyak disinggung persoalan kebebasan pers dengan menyebutkan “kebebasan pers” secra langsung, dalam buku itu “kebebasan pers” mengacu pada kemerdekaan pers yang termaktub dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, sebagaimana telah dikutip di atas.

Nah,selanjutnya marilah sedikit nakal mempertanyakan apakah kebebasan dan kemerdekaan adalah sama? Apakah kedua kata tersebut mengacu pada suatu makna yang sama? Lalu apa makna kebebasan atau kemerdekaan itu?

Seharusnya, sebagai sebuah istilah (anggap saja sebagai istilah) kemerdekaan pers harus dijelaskan pada Bab I tentang ketentuan umum pada UU no. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dengan adanya penjelasan tentang apa kemerdekaan pers ini,kita pasti akan lebih mudah memahami apa yang dimaksud dengan kemerdekaan.

Lalu darimana kita harus mengacu agar definisi atau penjelasan kemerdekaan pers dapat kita pahami?. Dalam sebuah makalah yang ditulis oleh Hidajanto Djamal, Dosen FTI, UMB dengan judul “Kebebasan Pers, Antara Fakta dan Kenyataan”, dia menyampaikan pendapat Amir Syamsuddin yaitu: kemerdekaan pers mempunyai makna, pers harus dijalankan di dalam bingkai moral, etika dan hukum. Sehingga kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai dengan kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum, yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik disertai hati nurani insan-pers dalam menjalankan profesinya.

Penjelasan Amir Syamsuddin di atas menurut penulis belum dapat memuaskan, bingkai moral dan etika terlalu subjektif untuk diterapkan oleh insane pers, etika dan moraldipengaruhi oleh budaya dimana mereka tumbuh besar. Sementara hokum? Sementara hukum, dia hanya menjelaskan secara teknis apa yang harus/tidak boleh dilakukan oleh jurnalis dalam kerja-kerja jurnalistiknya. Dengan mengacu pada bingkai hukum dalam pengamalan kerja jurnalistik dengan semangat kemerdekaan, apa yang disebutkan pada UUD 45 pasal 28 huruf F sudah menjelaskan bagaimana hak warga Negara dalam berkomunikasi serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Menuntut HAK !!!

Dengan begitu, hak tersebutlah yang perlu dituntut. Bukan kebebasan pers dimana bukan hanya kepentingan melayani masyarakat yang menjadi semangatnya, tapi semangat bisnis telah mulai memudarkannya sehingga punggawa-punggawa perusahaan pers terus berlomba menggali informasi sedalam-dalamnya untuk dijual kepada masyarakat.

Pengetahuan masyarakat terkait hak-hak yang disebtkan pada UUD 45 pasal 28 huruf F di atas juga perlu dievaluasi, sedalam apa pemahaman mereka tentang hak sebagai warga Negara?, penulis malah pesimis soal ini, hak pendidikan saja belum tuntas, apalagi hak memperoleh informasi. Masih menurut penulis, jika masyarakat melek akan hak sebagai warga negara, keterbukaan corong informasi adalah perjuangan mereka juga, bukan semata perjuangan pers, toh yang membutuhkan informasi adalah masyarakat, walaupun insan pers adalah bagian dari masyarakat itu, namun perlu ditegaskan apakah usaha atau perjuangan
mereka menuntut keterbukaan informasi atas dasar mereka sebagai masyarakat atau karena tuntutan profesi?. Jika masyarakat meminta suatu informasi, maka lembaga pers perlu memenuhi tuntutan kebutuhan tersebut, namun jika masyarakat acuh dan tak mau tahu? sementara pers terus bekerja membuka corong informasi (politik misalnya), apakah iu bukan sebuah propaganda?



Apakah kita masih membutuhkan pertanyaan APA KEBEBASAN PERS ITU? Sebagaimana telah dilontarkan sebelumnya?. Menurut penulis, tak penting lagi. Kebebasan pers sudah terlanjur menelikung dari harapan kita terhadap pers untuk membantu Negara mewujudkan masyarakat yang demokratis.

Tak ada salahnya mengutip Jusuf Kalla (kala itu masih menjabat sebagai wakil presiden) saat memberikan sambutan dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) yang mengatakan bahwa: “Media yang bebas bukanlah tujuan. Itu adalah proses mencapai tujuan. Kalau keterbukaan dan kebebasan itu bisa mengganggu tujuan, tentu kita harus mengevaluasi proses, tidak mengevaluasi tujuan”. Sambutan ini dimuat pada harian Kompas, 3 April 2006).

Pertanyaan penulis, sebenarnya apa tujuan pers itu? Tujuan dari tujuan pers itu?

0 komentar:

Post a Comment

Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)

 

Alternative Road Copyright © 2012 -- Template was edited by Cheng Prudjung -- Powered by Blogger