Ternyata tidak! Simpatiku dirongrong oleh ocehan-ocehannya yang bagiku terlalu analitis, sehingga banyak aspek yang dihidden untuk mengambil keputusan, semacam menanggalkan objektifitas akibat deru emosi yang merasuk. Mana mungkin ada konspirasi, pikirku setelah menerima SMS dari Dg. Te’ne saat bersiap dengan kenyataan; apakah kami akan melakukan pesta makan-makan besar atau tidak.
Ini hati !!! |
Dg. Te’ne berkelakar melalui blognya (klik: lingua franca), dia menuliskan refleksinya atas kompetisi yang dia anggap menyakitinya hingga berhari-hari, namun karena ada beberapa makhluk yang berulah misterius di dashboard wordpress-nya, dia menghapus catatan tersebut, tepatnya unpublish. Aih, apa yang dia tuliskan perlu dia sampaikan, tidak mempublikasikan melalui blognya, facebook (klik: Lomba Blog) selalu sedia menampung catatan apa saja.
Di Twitter, dia berkicau. Nyaris tak keruan sampai-sampai ku-RT dengan kicauan yang lebih tidak keruan lagi, ekting jahilku mode on.
Aih, hidup tidak selalu manis, Dg. Te’ne! Kau harus betul-betul menyadari ini. Walaupun saya yakin kau mengetahui perihal ini, tapi bagiku; kau belum mengerti betul, bahwa manisnya hidup saat kekecewaan itu menyayat nurani, ketika suatu cita dibentur kendala, atau ketika cinta tak pernah dibauri oleh apa-apa.
Tabe’ Daeng. Saya sepertinya harus jujur disini, biarlah kusakiti hatimu, tanggung menurutku, kau sudah kepalang hancur dengan kenyataan-kenyataan yang kemarin-kemarin itu. Jadi begini; sederhana saja! Tahukah kau bagaimana orang-orang Makassar memberi nama? Jika ajaran Islam, nama adalah doa, orang-orang Makassar tidak sepernuhnya demikian, nama (pakdaengang) adalah wujud halus dari perangai atau tampilan seseorang (walaupun hanya perangai haluslah yang disebutkan), tidak semata sebagai sebuah doa (asal kata pakdaengang adalah pakdoangang yang berarti doa), setidaknya begitulah yang kupahami.
Pikirlah sendiri Daeng, kenapa si dia menamaimu Te’ne! Refleksikan sendiri, toh hidup kau yang punya. Cuma bagiku, sahabatmu ini, kau terlalu baik dalam hidup ini, terlalu “something”, aih entah bagaimana mengatainya, kau tidak bersih murni (ci’nong), kau tidak baik (baji’), tapi kau ada diantaranya.
Sayang, kau sepertinya belum mengerti banyak, bahwa tabiat sangat berwarna. Jika kau mencintai Makassar, jangan sekaligus dengan-orang-orangnya! Ahhh saya macam orang-orang yang sudah beruban saja berkata seperti ini. Tapi di mataku, kau begitu!
Maafkan kata-kataku Daeng, setahuku orang Makassar tidak pernah sibuk mengeluh, kau akan dicela jika tak habis perkara setetes hingga berhari-hari karena sibuk mengeluh. Begitu keluarga kecilku membimbingku, kesahmu tak boleh tumbuh subur dan menjalar hingga ke orang lain, kau perlu setetes keringat untuk membasuh kesal itu, seperti zam-zam.
Kau sudah tau apa yang ingin kusampaikan? Jika belum, ingat saja tempo hari, berbulan-bulan yang lalu saat kuajak kau ke Galesong sekali lagi, datang bukan sebagai pelancong tapi sebagai Dg. Te’ne.
Sungguh, saya ingin kau tahu Makassar tidak dari buku yang menjadi pijakan imajinasimu untuk melontar bayang-bayang setinggi mungkin, sesenang dan semanis mungkin. Saya ingin mengajakmu mengenal makassar dengan seluruh indramu, memahaminya dengan baik, seburuk apapun kenyataannya.
Kau hidup kepalang manis, Daeng. Saya menebaknya dari sosok hingga perangaimu, entah sebenarnya seperti apa. Disamping itu, kau juga penuh dengan misteri, nyaris sama dengan kisah-kisang sang Karaeng yang kita minati bersama.
Kau bukan orang Makassar, Daeng. Sekalipun kau punya Pakdaengang!
Mungkin lebih tepatnya belum, kukatakan belum sebenarnya hanya untuk memperhalus, takut kau akhirnya tumbang, takut jikalau semangatmu sirna, takut jika sinar matamu terhambur dan karam di laut hanya karena mendengar meriam Anak Makassar berdentum.
Maafkan diriku terlampau lancang begini, Daeng. Perlu kau tahu, kekecewaanku terhadapmu tak bisa ditawar saat sms-mu yang pesimis itu kuterima, kemampuan menulismu anjlok? Apa kau tak ingin menulis lagi, Daeng? Kenapa kau biarkan rasa kesal merubuhkan semangat menulis itu?
Mungkin ini yang terakhir, Daeng. Tak apalah kau mengecewakanku, tulisan inilah obatnya, sekaligus wujud dari kekesalanku atas sakit hati yang tidak bisa kau buang itu, coba ikuti saran orang tuaku; Buang jauh-jauh ke lautan, Nak!. Kesal yang dikeluh itu memalukan, Daeng. Mana mungkin kau menghabiskan hidupmu hanya untuk mengeluh, memenuhi hatimu dengan dendam dan menggunakan kepalamu hanya untuk memikirkan hal yang sudah lewat?
Ingat, Daeng! Kau tak butuh bahu seperti yang kau katakan padaku lewat twitter subuh tadi. Kau butuh dirimu sendiri, sayangnya mungkin “dirimu sendiri” itu sedang tersesat di rimba keluh kesah. Kau pasti sudah tahu bagaimana menemukannya jika begitu: Musnahkan keluh kesah!.
Masalah itu terasa berat untuk dilalui karena kita lupa tersenyum!! | Doc cheng prudjung |
1 komentar:
Benar itu adanya Daeng. Hidup tak selalu manis semanis namaku, nama Padaengang yang telah dianugerahkan kepadaku. Seharusnya saya sadar akan hal itu, bahwa saya bukan orang SulSel, saya bukan orang Bugis, Makassar ataupun Bone. Saya hanya pegiat pada kesemuanya.
Kenaifanku seringkali justru menjerumuskan diriku. Pokok-pokok pikiran sahabat kadang terkalahkan oleh intuisiku yang ego.
Ini adalah dunia yang lama sekaligus baru bagiku. Dua dunia dalam satu waktu, ngeBlog dan hacker. Hal yang sangat memalukan yang tak kuduga-duga. Orang sekarang tidak ada hitam putih, yang ada abu-abu. Tadinya mereka teman, ternyata bisa menjadi setan.
Betapapun Makassar dan Sulawesi Selatan adalah inspirasi saya. Tuhan memberikan energi melalui semua itu menjadikan motivasi saya untuk membangun tema-tema kebudayaan populer dan sejarah di neo world. Kesemuanya menggerakkan jari-jariku di kibor. Kesemuanya membisikkan sesuatu yang keras di telinga. Hingga sering tak bisa tidur sebelum jari ini menyentuh tuts kibor.
Namun imajinasiku kadang salah arah, bablas kena arus imajinasi yang terlalu deras dan cepat. Hingga kadang tulisan2 tersebut tak punya lagi beban moral. Saya lupa bahwa tulisan ini pasti akan dibaca oleh teman2 di belahan dunia bagian manapun, saya lupa bahwa pembacaku ada dua yaitu mereka yang pro dan mereka yang kontra.
Sekali lagi saya lupa..:(
Pause..
Mungkinkan saya misteri?
Cepat tumbang, memang! Saya akui itu. Itulah mengapa selalu saya ekspresikan dengan tulisan. Hal ini sebenarnya untuk mencairkan susana hatiku. Terlihat misteri karena saya berpikir sesuatu yang akan saya ekspresikan tidak dengan perkataan.
Not spoken but written..
Kemampuan menulisku memang surut saat itu. Saat kalah dipecundangi. Saat blogku menjadi tidak waras. Saat orang mengatakan di dunia nyata bahwa tulisanku menarik dan menggelitik, ada yang mengatakan renyah seperti kerupuk. Tapi tidak diakui di dunia online.
Terutama semakin menjadi-jadi saat saya memutuskan untuk keluar dari milis.
Iya kesal dan keluh itu, saya sangat setuju dengan ayah dan bundata di Galesong, buang jauh-jauh ke laut nak. Dan saya yang tinggal di kota Malang akan buang jauh-jauh semua itu, di laut Selatan. Dimana disana ada inspirasiku, sahabatku, temanku, kakakku si mbak Nyai Roro Kidul. Kiranya beliau lebih mengerti diriku sesama perempuan dibanding dengan Sultan Hasanuddin yang menandatangani Perjanjian Bungaya. Bikin nyesek!
Meski keluh kesah tlah musnah, Daeng Te'ne masih membutuhkan bahu itu.. :(
Post a Comment
Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)