Thursday, October 21, 2010

10 Tahun Bersama, 10 Tahun Kelaparan

Pertama kali, catatan ini idenya dari sebuah pertanyaan yang tiba-tiba mengapung di benak saya, Bagaimana jika wanita yang kita jadikan pendamping tidak tahu memasak?

Pertanyaan tersebut menguak begitu saja, kebetulan saya sedang main laptop dan Online, saya langsung menuliskannya, rasanya sih jadinya akan bagus, tapi kita lihat saja nanti. Selanjutnya, saya kembali berhadapan dengan beberapa pertanyaan baru terkait pertanyaan di atas.

- Berapa banyak wanita pra nikah atau siap nikah yang terbiasa / pintar memasak?
- Seberapa besar kebutuhan lelaki akan wanita yang bisa memasak?
- Apakah laki-laki tidak mempersoalkan masalah masak-memasak?
- Bagaimana perspektif gender terkait masalah masak-memasak?

Judul catatan di atas adalah sebuah bayangan akan kondisi, dimana suatu saat wanita yang bisa memasak semakin "pelit". Terlepas dari persoalan gender (kenapa musti wanita yang memasak?), mari kita perhatikan catatan ini sesuai kondisi kultural kita semua, bahwa wanita mengurusi konsumsi ketika nanti telah berkeluarga.

Marilah memperhatikan bagaimana persoalan memasak tidak lagi menjadi sebuah gaya, semisal ketika jaman baheula wanita membantu ibu di dapur, beralih menjadi wanita yang membantu pedagang di pasar. Ketika gaya hidup mulai mempertemukan gaya hidup yang halus, dibandingkan keterampilan yang kasat mata.

Untuk memperkuat bagunan atau pondasi tulisan ini, saya mengajak pembaca untuk mengingat potongan cerita Syalimah dalam "Cinta di Dalam Gelas". Syalimah (subuh itu) bangun seperti biasanya, ia menyalakan tungku dan memasak air lalu menyeduh kopi untuk dihidangkan kepada suaminya, setelah kopi telah siap dihidangkan, ia termenung, ia baru sadar kalau kemarin suaminya meninggal. Dan selanjutnya silahkan menikmati sendiri sensasi imajinasi potongan kisah tersebut.

Bakti terindah wanita adalah pelayanan, membubungkan kebahagiaan suami di atas kerja kerasnya mengolah materi (uang dan selaga macamnya) menjadi kasih sayang, sementara suami memeras keringat dan mengolah otak untuk mendapatkan senyuman dari istri (biasanya kalau istri nggak dikasi duit, wajahnya cemberut, tapi entahlah, saya cuma menaksir, belum mengalami).

Lalu, apakah wanita sekarang (secara umum mereka yang berbenturan dengan gaya hidup "modern") mampu membangkitkan semangat "Cinta di dalam Gelas", atau mereka akan memodifikasi konsepsi tersebut menjadi Pernyataan cinta baru yang lebih "maju", semisah Cinta di atas Nampan KCF dll, atau Cinta dalam lipatan nasi bungkus" atau bagaimanalah. Makanan yang terhidang di atas meja, adalah buah tangan wanita lain (Sepertinya ini dapat dikatakan selingkuh).

Kita mungkin belum mengerti (apalagi saya) apa perbedaan rasa antara makanan jajakan, atau makanan produksi dapur sendiri. namun sepertinya kita bisa memindahkan pindahkan referensi pengalaman diatas kepada pengalaman makan di dapur hasil olahan orang tua, dibandingkan dengan makan di warung olahan koki number wahid. rasanya memang berbeda kan? Enak, jelas dimiliki oleh makanan buah karya si koki, namun tidakkah kita merasakan bagaimana kasih sayang menyelimuti setiap butir nasi?. Dus, tanpa air sayur pun, nasi itu tetap lancar melewati tenggorokan.

Jika ini dipandang terlalu patriarkis, atau memojokkan golongan wanita, maka marilah kita menempuh jalan tengah melalui pertanyaan ini. Bagaimana Lelaki dan Perempuan (suami dan istri) dalam sebuah rumah tangga mengelola dapur mereka?.

Saya refleks teringat sebuah potongan scene dalam film berjudul Cico Mendez, Ketika si Presiden dan seorang bekingnya datang ke rumah Cico untuk melalukan diplomasi terkait pembabakan hutan Amazon. Kedua tamu Cico dihidangkan masakan (oleh istri Cico) yang sederhana, ada sayur kacang di atas meja, entah kacang apa. Cico menyantap masakan itu, menyantap sesendok sayur kacang yang tersedia dan berkata pada istrinya "Sayur kacang buatanmu enak". Jika kalian (kaum hawa) yang menjadi istri Cico pada saat itu, bagaimana kesan pernyataan tersebut?, dia mengucapkannya di depan Presiden dan bekingnya.

Lelaki pintar menggoda dan wanita menikmati godaan lelaki.
Wanita (sebaiknya) pintar memasak (agar) lelaki menggoda wanita dengan pujian. Kalau tidak bisa, maka rawatlah kulit baik-baik (termasuk yang satu itu).

Demikianlah catatan ini berakhir, tulisan ini sangat bebas, kata-kata mengalir begitu saja sembari jemari saya menuliskan kata-kata tersebut. Sehingga jika salah ucap atau kesalahan berfikir yang tampak dalam tulisan ini, mohon dimaafkan dan dikomentari.

Al-Kautsar 58, 21 Oktober 2010

2 komentar:

Anonymous said...

Hm....
Mungkin kemampuan memasak itu bisa menjadi suatu nilai tambah bagi seorang wanita, tapi klo tidak bisa yah itu bukan sesuatu hal harus diperdebatkan panjang..
Pelayanan bukan hanya dari istri kepada suaminya, tetapi harus bertimbal balik..
Kalau suami mensyaratkan kemampuan memasak menjadi suatu hal yang penting kenapa sang suami tidak mencoba mengajarkan cara memasak itu terhadap istrinya dengan cara itu mereka bisa memasak bersama..bukankah hal itu lebih indah..
lagi pula saat ini banyak wanita yang menjadi wanita karir dimana harus menjadi istri sekaligus memenuhi profesionalitas pekerjaan mereka...
Jadi intinya klo istri mu nanti tidak bisa memasak, temukanlah solusi yang tepat..
apakah ingin menyantap masakan orang lain atau mulai belajar memasak berasama istri u dan kemudian selanjutnya dapat mempersiapkan masakan berasama..

Galesong said...

Ada banyak jalan menuju keluarga bahagia... dapur, kamr tidur dan ruang tamu harus dikelola sebaik mungkin ... hehehe
spakat sm yg d atas ane tuh !!!

Post a Comment

Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)

 

Alternative Road Copyright © 2012 -- Template was edited by Cheng Prudjung -- Powered by Blogger