Tuesday, October 12, 2010

Facebook, Kopi dan Pisang Goreng

Tidak ada yang melarang mengkonsumsi facebook sekalian dengan kopi dan pisang goreng, apa pun latar belakang budayanya. Tidak ada juga yang mewajibkan berkomunikasi dengan facebook sambil menyeruput kopi dan mengigit pisang goreng yang dibalut adonan terigu. Siapa saja boleh, dan kenikmatannya bukan terletak pada rasa, melainkan kesan.

Jika dengan facebook kita terhubung dengan ratusan bahkan ribuan orang di dunia maya yang beragam budaya, maka dengan kopi kita tetapp didekatkan dengan semangat eksistensi seorang pribadi dengan sebbuah system karakteristik, dan dengan pisang goreng, alamak tidak ada yang menyaingi romantika budaya seperti ini, pisang goreng, tidakkah kita teringat halaman di kampung sana?

Jika dengan Facebook kita digoda untuk menjadi apa saja dalam dunia virtual, maka dengan kopi, kita tetap menapak di atas tanah, menerawang jutaan hektar kebun kopi yang tersebar sepanjang nusantara, dari timur ke barat. Pisang goreng? Asalkan saja buah pisang tidak serasal dari sebuah pohon yang memiliki dua ruas daun (kiri dan kanan) yang mengapit sebuah pucuk. Kita nikmati saja bagaimana setiap perasaan masing-masing menilai pissang goreng.

Dengan facebook, kita diracuni candu komunikasi, dimana narsisme terlantar begitu saja, tidak ada lagi yang memperhatikan citra selama kata “saya masih ada kan?” terus eksis dalam benak facebooker. Dan dengan kopi, kesendirian, kesunyian dan lamunan pribadi melayang begitu saja, menikmati individualism yang mengakar. Jarang memang kita memperhatikan bagaimana facebooker berkomunikasi dengan sajian kopi di sebelah laptop atau PC nya. Namun yang jelas, semoga kopi tidak menjadikan kita lupa bahwa kita masih tetap memiliki ruang pribadi diantara godaan “penghalusan diri” dalam dunia maya.

Dan pisang goreng? Tentu tidak lepas dari sebuah identitas budaya. Maka fikirkanlah, bahwa betapa menyakitkannya jika kita mendengar ada seorang anak bangsa yang tidak pernah menikmati pisang goreng. Dari kampung dia datang ke kota, tetap menjadi makanan orang kampung, tetap menjadi simbol eksistensi orang kampung, tidak seperti laiknya kopi, berasal dari kampung dan merubah diri menjadi barang necis yang pragmatis. Pejabat atau anak muda sok keren pun menikmatinya, tanpa tahu bagaimana bentuk daun kopi.


Kampung Virtual dan Kampung Halaman Dua istilah tersebut di atas sebagai sub judul perlu mendapatkan perhatian lebih. Kita semua mengerti bagaimana istilah Global Village terayun di benak kita, namun mengertikah kita bagaimana Kampung Virtual dan kampung halaman memiliki sebuah perbedaan yang jauh? Bukan perbedaan pada kondisi atau letak geografisnya, melainkan kehidupannya.

Di kampung, kita masih tetap dapat mengakses internet, selama kampung kita termasuk coverage area, kita menikmati dunia virtual yang kemana-mana, dari kampung kita bisa menelurusi jutaan kota besar di dunia tanpa melepaskan pantat dari dudukannya. Kampung virtual adalah penyatuan suasana khas kampung dengan jutaan realitas virtual yang tersaji dalam satu layar. Kita bisa meng-update status seperti “Siap-siap ke sawah” lalu menyeruput kopi dan menuju ke sawah.

“Sapiku sudah melahirkan, anaknya betina”.

Namun kampung halaman bagimana? Kampung halaman adalah sebuah kampung yang terhindar dari persentuhan dunia virtual. Hanya ada radio yang terus menangkap siaran RRI Nasional maupun local disana, ada televise dengan tayangan sinetron disana, ada kalender yang tidak hanya berisikan tanggal dan nama hari, melainkan pajangan wanita cantik yang menggoda, atau iklan barang-barang pertanian atau perkebunan atau lain sebagainya.

Diantara dua kampung ini, teerbentar jutaan perbedaan yang vital, perbedaan vital tersebut adalah substansi kebudayaan yang luput atau hilang sama sekali dalam hubungannya antara dua kampung tersebut, bahkan jika masih memiliki hubungan. Dengan kampung virtual, kita menjadi anak kampung yang nggak kampungan, dan kampung halaman menjadikan kita sadar akan indahnya alam, akan kerja keras dan akan rasa syukur atas segala anugrah yang jatuh di kampung halaman kita.

Lalu kita akan pulang kampung kemana?

0 komentar:

Post a Comment

Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)

 

Alternative Road Copyright © 2012 -- Template was edited by Cheng Prudjung -- Powered by Blogger