Thursday, October 20, 2011

Bukan Surga, Hanya lembah Bernama Ramma

There is a pleasure in the pathless woods,
There is a rapture on the lonely shore,
There is society, where non introduce,
By the deep sea, and music in its roar;
I love not man the less, but nature more…
[ Lord Byron ]
Lolos dari ancaman longsor gunung Bawakaraeng tahun 2004, Lembah Ramma seperti dijaga untuk para pendaki. Dinding tebing terjal, rumput hijau menghampar, tumbuh menyelimuti tanah. Sungai yang meliuk dan gemericik airnya tak pernah diam sepanjang waktu. Ramma, menjadi simbol keindahan gunung Bawakaraeng.

Secara administrasi, Ramma masuk dalam kecamatan Tinggi Moncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Bagi para pecinta alam, Ramma adalah primadona. Keindahannya bukan hanya pada kontur alam yang khas, yaitu lembah dengan tebing terjal, dan vegetasi hutan yang didominasi oleh lumut dan rumput liar. Dia menyembunyikan kehidupan penuh persahabatan. Disana, tinggal seorang Tata (sapaan khas Makassar yang artinya Bapak) yang dikenal oleh pendaki. Tata Mandong Namanya. Saban malam ketika para pendaki menikmati kopi, rokok dan kehangatan api unggun, dia akan memainkan Sinrilik (kecapi), dengan sabar ia melantunkan lagu dalam bahasa Makassar, meriwayatkan sejarah wali tujuh, kisah gunung Bawakaraeng, gunung Lompobattang, sungai Je’ne Berang, tentang cinta dan penderitaan. Suara seraknya seperti mengajak alam di sekelilingnya ikut bernyanyi.

***

Vegetasi khas Ramma adalah, selada air. Tumbuhan ini hidup dengan bebas di sungai kecil yang membelah dataran lembah menjadi dua bagian. Selada air dimanfaatkan pendaki sebagai bahan sayuran, biasanya dimasak dengan mie instant. Jangan Tanya soal rasa, mungkin jika berada di hutan, apa saja akan terasa enak, Namun Selada air ini memang bahan sayuran yang maknyus.

Para pendaki sangat “menggilai” sayur ini, jika mereka membawa ikan kaleng (ikan sarden), maka selada air akan ditumis bersama potongan ikan sarden, aromanya tidak akan pernah ditemukan di daerah perkotaan. Belum lagi jika kelezatan makanan dipadukan dengan keindahan alam, makan bersama teman-teman di pundakan tanah sambil memandangi sungai, hamparan rumput, dinding tebing, dan puncak Bawakaraeng.

Suasana paling eksotik di Ramma adalah sore hari, sekitar pukul 15.30 hingga 17.00. Kabut lembut akan berlarian turun, berlomba menyentuh rumput hijau. Bisa dibayangkan, bagaimana lembah yang diselimuti kabut, ketika dinding tebing membayang, perasaan terpenjara di antara kerumunan kabut putih yang mengurangi jarak pandang mata. Ketika kabut bergegas untuk pergi meninggalkan lembah, kabut tipis yang masih tersisa menunjukkan perasaan sunyi dan sepi, bak seorang kekasih ditinggal sendiri. Bukan hanya itu, bagi insan yang sadar akan kebesaran tuhan, kesucian dan ke-tawaddhu-an akan terasa dekat, manusia-manusia jumawa akan menghampiri pancoran air di tepi sungai, membasuh wajah dengan wudlu sebagai persiapan merayakan Magrib.

Sangat sulit melukiskan panorama dalam sebuah potret kata-kata, dia akan klise karena imajinasi berlaku sangat subjektif. Sensasi keindahan Lembah ini senyap di ingatan. Di bagian lain dari savana hijau Ramma, ada sebuah air terjun mungil, hutan lebat menyembunyikannya. Sehingga kesan yang hadir adalah “seram”. Rasa seram membuat pengunjungnya tertantang disana, luput dalam dilema rasa was-was dan keinginan untuk menelan semua pemandangan indah disana. Alamakkk, susah digambarkan bagaimana rasa takut bertarung dengan sumringah kebahagiaan dalam satu diri.

Jembatan kayu, pancoran air dari bambu, Tata Mandong dan sinrilik-nya, rumput hijau yang segar, kabut, dinding tebing, batu sungai, gemericik air, langit biru, malam gelap, api unggun, kopi, rokok, selimut, dan manusia-manusia pengejar keindahan. Memang bukan di surga, tapi di sebuah lembah sederhana bernama Ramma. Hanya di Ramma!

5 komentar:

Daeng situru said...

Lembah ramma.. Negeri indah di antara rimba hijau.. Saya sangat rindu kembali ke sana. Entah kapan bisa ke sana lagi..
Love this post

Unknown said...

sy pernah lama tinggal di malino, tapi tdk pernah naik ke bawakaraeng, paling jauh itu lembanna' sama tombolo pao ji kodong

Cheng Prudjung said...

@Daeng Situru :: selalu ada lain waktu, daeng. sy juga sudh lama ndak berkunjung ini...

@greenfaj :: skali2 boleh wisata ksna, kerennnn ....

Anonymous said...

saya selalu ditawari tman2 ke Ramma...
>_<

tapi tdk pernah bisa dpt izin orangtua.. hikz

medannya berat ini, Kak?

Cheng Prudjung said...

@aineblume :: alasan y wktu minta inijn mungkin kurang kreatip ... hehehe,,,

medannya? biasa kok, cm jalur talung k lembah aj yg agak berat ...

Post a Comment

Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)

 

Alternative Road Copyright © 2012 -- Template was edited by Cheng Prudjung -- Powered by Blogger