Saturday, October 29, 2011

Hujan Sekali Lagi

Kuterbangkan asap rokok diantara tusukan-tusukan jarum yang jatuh dari langit, sedikit-sedikit ait hujan yang jatuh nampat sebagai benang yang terurai turun dari langit di mata rabunku. Aku menncari inspirasi diantara ruang kosong di tengah hujan.

Teringat pada sebuah lelucon yang kurang menarik yang kudapatkan ketika duduk di bangku SMA, dari seorang teman. Bahwa apa yang harus ditakuti dari hujan? Basah?, kenapa harus takut, aku tidak takut padanya seandainya saja dia berani turun satu per satu. Hahaha. Tertawalah kawan agar aku dan temanku ini merasa dihargai. Skali lagi hehehehehe.

“Yang lari kambing”, seseorang berteriak ketika segerombolan remaja yang kumpul kebo berhamburan saat bintik air berhamburan, jatuh dari langit. “Yang tidak lari kambong bodoh”, lanjut orang itu sambil tertawa bergembira.

Ada banyak kisah, seimbang dengan jumlah air yang turun dari langit, prosesnya pun sepertinya sama. Sebagaimana hujan dengan siklusnya, kehidupan manusia (kisahnya) juga memiliki siklus. Ungkapan bahwa hidup ini bagai roda berputar menjadi justifikasinya, kita melakukan proses pengulangan karena sebelum kita, orang-orang telah melakukan banyak hal sebagaimana yang dilakukan sekarang. Informasi dikirimkan melalui suatu tatanan tradisi dan pewarisan pengetahuan.

Paling tidak, demikianlah hujan kumaknai untuk hidupku secara pribadi, sebagaimana kualifikasiku yang dangkal.

Entah kenapa hujan menjadi sesuatu yang istemewa dalam kepalaku. Dalam ruangan kekonyolan dalam otakku, ada keinginan untuk memperhatikan hujan di setiap gumpalan kecilnya. Ya, memperhatikannya satu demi satu, seperti kisah dalam Gadis Jeruk-nya Jostein Gaarder, dimana seorang pelukis membeli sekantong buah jeruk untuk dilukis, dia akan memperhatikan jeruknya satu per satu, mencari celah perbedaan diantara puluhan buah jeruk yang ada dalam kantong itu.

Sangat konyol, paling tidak untukku. Sama seperti usaha menghitung bintang di langit. Pertanyaan untukku adalah, untuk apa aku harus memperhatikan setiap gumpalan kecil dari hujan yang jatuh?. Jawaban yang kupilih adalah, mencari perbedaan diantara mereka, sama seperti pelukis dan jeruknya dalam Gadis jeruknya Jostein Gaarder.

Dan memang benar bahwa itu adalah perbuatan yang konyol, tapi salahkah?. Ini hanya sebuah keinginan, ingin tahu tepatnya. Mungkin tidak ada orang yang memikirkan ini, dan itulah yang membuat sebuah peristiwa menarik untukku.

Sekarang, marilah beralih sedikit dari gumpalan kecil butir hujan yang realitas menuju gumpalan hujan yang penuh perandaian. Bayangkan saja bagaimana diri kita mewujud menjadi gumpalan kicil hujan itu, bersama orang-orang di sekitar kita yang juga menjadi gumpalan kecil hujan tersebut.

Proses jatuh dari langit menuju bumi adalah sebuah rangkaian peerjalanan kehidupan dari lahir menjadi usaha mengetuk pintu surga pada dimensi yang lain. Saat tiba di bumi dan pecah, itulah akhir kita, dan kehidupan ini memang berjalan begitu cepat dan penuh kefanaan, tidak lagi memeberikan arti.

Pertama, apa perbedaan antara satu gumpalan air hujan dengan gumpalan air hujan yang lainnya, jika gumpalan kecil air hujan itu adalah kita dan orang lain di sekitar kita?. Kita hidup bersama, membutuhkan pasangan, membutuhkan pekerjaan, membutuhkan uang, dan kesamaan lainnya. Sehingga perbedaannya apa?. Sekali lagi menurutku adalah, identitas. Dan mohon maaf jika saya mendahului identifikasi gumpalain air hujan saya dengan yang lainnya bahwa perbedaan saya adalah, saya memikirkan hal konyol tentang mencari perbedaan antar gumpalan kecil air hujan, yang mungkin pasti tidak dipikirkan oleh seorangpun selain saya.

Kedua, apakah kita akan menjadi gumpalan kecil dari air hujan yang pecah di bumi begitu saja, sia-sia, tanpa arti, tanpa efek dan tanpa tanda bahwa kita telah jatuh dari langit dan remuk di bumi?. Maka tinggalkanlah jejak berupa kenangan dalam benak dunia yang akhirnya memekarkan bunga di taman, menyuburkan rerumputan. Bahkan bisa saja merubuhkan bangunan dengan longsor.

Mari mendalami ini. Ketiga, ketika kita jatuh dari langit, apa yang terekam dalam meemori kita tentang proses kejatuhan ini? Bisakah kita mengingat sesuaatu tanpa melakukan apapun?. Maka singgahlah di warung pada sebuah persinggahan seebelum hancur di bumi, berceritalah dan mendengarlah kisah dari alam, udara, angin, cahaya dan sebagainya. Petiklah beberapa kuntum bunga yang akan digunakan sebagai kado untuk sebuah ciptaan yang akan kita temui setelah kita remuk hancur dan masuk pada dimensi lain.

Mari mendalami ini.

Mari mendalami bagaimana kita hanyut dalam hujan dan terancam demam di malam hari, setelah kita berlindung di bawah hujan dari teduhnya atap rumah. Betapa bodohnya kita!

Malang, 5 Januari 2010

0 komentar:

Post a Comment

Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)

 

Alternative Road Copyright © 2012 -- Template was edited by Cheng Prudjung -- Powered by Blogger