Narsis sebelum pulang ke rumah. |
Kadang terbersit di kepalaku untuk mengetikkan "Galesong" atau kata kunci yang dekat dengan Galesong, namun halaman yang kutemukan hanya itu dan itu saja. Untung saja ada beberapa tulisan menarik yang pantas dibaca berkali-kali di kabargalesong.org, namun kadang tetap saja tidak mampu melunasi kerinduanku pada kampung Galesong.
Saya bukan seorang anak yang lahir di Galesong, melainkan di kota Makassar saat masih bernama Ujung Pandang. Kedua orang tuaku dan orang tua dari orang tua-orangtuanya orang tua, dan seterusnyalah yang berasal dari Galesong. Hanya saja saya dibesarkan disana, pelan-pelan mentalku dibentuk oleh petuah dan realitas yang kusaksikan langsung di Galesong. Kedua nenek-kakekku (dari ayah dan ibu) bisa dibilang berseberangan. Di satu sisi, nenek-kakek dari ibuku adalah manusia dengan karakter yang halus, penuh dengan pesan agama, di pihak lain nenek-kakek dari bapakku adalah pribadi yang keras, ulet dan lebih realistis.
Dari nenek-kakek yang berpribadi halus itu, saya dituntun dengan petuah dan ragam nasehat, pun semua nasehat itu tersaring oleh agama, sehingga akar budaya Makassar yang menetap di Galesong tidak tertancap begitu dalam padaku, apalagi keluarga dari pihak ibuku adalah aktifis Muhammadiyah tulen, kakekku sendiri adalah tokoh Muhammadiyah yang dikenal luas di Galesong. Di pihak lain, nenek-kakekku dari pihak bapak, mereka mengajariku dengan kerja keras tanpa ampun, kakekku memberika instruksi dengan semena-mena tanpa penjelasan, sehingga kadang saya sendiri merasa bodoh dengan diriku yang terus saja diserang dengan cemoohan dan bentakan keras: "Apa gau antu kau!, Haiiiii' battalaki tallasaka punna kamma anne!", jika tidak berkata seperti itu, mungkin seperti ini: "O kadong'e. Limpuruki bukungku ancinikko anjama!, Kuasai karaeng Alla Ta'ala".
Belum lagi jika cemooh dan bentakan itu dilontarkan di ruang terbuka, pekaragan rumah atau di sawah, sehingga bukan hanya telingaku dan telinganya saja yang menerima kata-kata perih ini. Untuk kakek yang mendidikku dengan kerja keras ini, selalu saja kupupukkan dendam dalam hatiku untuknya, walaupun kadang saya rindu dengan sosoknya dan diam-diam menuruni karakternya. Belum pernah kutemukan sosok besar, kasar, keras dan tidak pandang bulu selain dari kakekku ini, warga kampung dimana dia bermukim pun mengakui keuletan dan kemandiriannya dalam bekerja keras.
Di Galesong, saya dididik dengan dua dunia yang saling bertentangan. Diantara saudaraku, baik kandung maupun sanak famili seperti sepupu, hanya saya yang mengalami didikan dua kutub berlawanan ini. Adik-adikku mulai tidak diperdulikan oleh mereka, sehingga adik-adik yang lucu ini lebih bebas memanfaatkan waktu luang untuk bermain, atau malah tidak datang mengunjungi kedua nenek-kakek dari bapak atau ibuku. Perbedaanku dengan adik-adikku yang lain memang kentara, saya bersikap lebih tenang dibandingkan mereka.
***
Walaupun Galesong dikenal sebagai daerah pesisir dengan pelaut handalnya, bahkan disinilah prajurit kerajaan Gowa-Tallo dididik untuk menjadi kesatria. Saya tidak akrab dengan laut, saking tidak akrabnya saya masih belum mahir berenang, bukan karena tidak paham akan teknik mengapung dilaut, tetapi rasa takut yang lebih besar sehingga saat kakiku tidak berpijak pada benda keras saat berada di dalam air, jantungku berdegup kencang. Kemampuanku bersikap tenang setenang-tenangnya, bahkan dalam kondisi emosional yang tinggi pun, tidak bermanfaat saat saya di laut, atau di kolam yang melebihi batas tinggi badanku.
Betapa memalukan diriku mengaku sebagai Putra Galesong dengan ketakutan pada laut yang luar biasa besarnya. Kemampuanku di ladang/sawah juga tidak seberapa, bahkan nyaris tidak mengerti apa-apa tentang sawah dan pengelolaannya, saya memang tidak pernah tinggal di Gelesong untuk satu musim tanam hingga panen, sehingga untuk mengamati proses para petani menggarap sawahnya, tidak bisa kuikuti dengan baik. Hanya saat libur saja, saya punya kesempatan tinggal di Galesong dalam waktu yang lama sehingga saya bisa tahu apa yang harus kulakukan setiap harinya, kecuali ada perintah dari atasan (kakek dari bapak) untuk menyelesaikan "masalah" di sawah karena perhitungan atau insting petaninya yang menyatakan begitu.
Menggulung tali setelah mattoja' (menanam benih kacang hijau) |
Galesong; Sawah dan Para Petaninya di Mario.
Semakin beranjak dewasa, semakin saya mencintai sawah dengan segala suasananya, mulai warna sawah dari hitam, warna lumpur, hijau, kuning, hingga hitam lagi. Suasananya di pagi hari dimana embun mulai diuapkan oleh hangat matahari, siang dengan teriknya dan sore dengan adzan ashar hingga langit menjingga yang pelan-pelan menjadi merah yang merona, lalu bergradasi menjadi ungu dan perlahan redup seiring kumandang adzan magrib.
Sore harilah suasana yang paling kusuka, ketika para wanita menggiring sekawanan itik kembali ke kandang, saat anak-anak tertawa riang dengan sepedanya atau sekedar berkaki telanjang dan saling kejar-kejaran, sekawanan ibu-ibu dan remaja yang membaur membincangkan cerita, dan laki-laki dewasa hingga renta yang berjalan meninggalkan sawah sambil memikul cangkul, kesan kelelahan di wajahnya tersebunyi karena topi petaninya (saraung) belum lepas dari kepala. Sebelum betul-betul meninggalkan sawah, mereka akan singgah di selokan yang lumayan besar (agang je'ne) untuk membersikah lumpur di badan, saling sapa meramaikan suasana sore.
Betapa indahnya Galesong. Di bumi, mata disilaukan oleh atraksi warna sawah yang berubah-ubah mengikuti proses pengolahannya (masa bajak sawah, masa penanaman benih, saat padi dewasa, saat padi menguning, musim panen hingga pembakaran jerami). Sementara di lagit, mata dimanjakan oleh gradasi warna ketika udara/oksigen disusupi sinar matahari yang jumawa di sore hari. Walaupun Mario bukan daerah pesisir, saya diam-diam menikmati sunset, nyaris di setiap hari jika saya berada disana, saat sunset itulah galesong begitu seksi.
Dan Apa Kabar Galesong?
Saya rindu pada sawah, rindu pada para petani dan keluarganya, rindu pada pedagang sayur yang penuh kesabaran mempertahannya kesegaran warna hijau pada berlembar-lembar daun sawi, atau menunggu hingga bentuk dan warna ungu pada terong (bo'dong-bo'dong) sempurna. Saya rindu pada penjual tape singkong (Pabalu poteng) yang melintas di depan rumah dengan aroma tape yang khas. Rindu pada permainan kuda-kudaan menggunakan pelepah daun pisang, permainan ini walaupun nampaknya biasa saja, tapi penuh resiko bagiku. Kakekku akan sangat marah jika pohon pisangnya kurusak hanya untuk membuat kuda-kudaan atau mobil-mobilan dari pohon pisang, masih terang kata-katanya; "Anak tena bua-bua'na, sangging ammanrakiaji apa-apa". Betapa kenangan ini begitu sangat manis.
Apa kabar Galesong?
Masihkan ikan torani (juku tuing-tuing) jadi menu andalan keluarga sederhana? masihkan ia menumbuhkan kebahagiaan saat makan bersama keluarga? Tak lepas dari ingatanku bagaimana ikan torani dan musim mangga begitu indah. Ikan torani adalah steak atau dendeng bagi orang Galesong, sementara mangga bagi mereka layaknya apel atau strawberi bagi orang Amerika. Kedua perpaduan ini, bagiku, tak akan digantikan oleh menu apapun, bahkan coto Makassar sekalipun.
Oia, semangka (mandike) masih menjadi pelepas dahaga kan disana? sungguh saya rindu pada buah itu. Saat masih kanak-kanak, buah inilah yang paling bertanggung jawab jika pakaianku kotor, saat memakannya, airnya akan meleleh hingga ke baju, jika tidak meleleh, kami pasti menggunakan baju untuk membersihkan atau mengeringkan mulut yang basah.
Ada lagi, belalang (katimbang). Di musim panen timur, banyak belalang layak konsumsi (berwarna kuning keemasan atau yang berwarna hijau dengan tubuh lebih panjang, entah nama jenisnya apa, orang tuaku cuma mengajari sacar menikmatisa setelah dibakar di tungku, tak pernah dia jelaskan belalang itu bermerek apa) bertebaran di pucuk-pucuk padi yang siap panen. Saat masih kecil aku biasa mengkonsumsinya, saban sore saat waktu bekerja di sawah agak lowong, bapakku pasti punya kesempatan untuk menangkapnya (mungkin bagi dirinya sekalian hiburan untuk mengenang masa kecilnya), jika bukan bapakku, maka pengembala kerbau (pakolaki tedong) kakekku yang membawa ke rumah. Sekarang, serangga ini semakin terasing, saya ragu apakah adik-adikku pernah menikmati kelezatannya atau menikmati aromanya saja jika tidak berani memakannya.
Betapa indahnya hidup sebagai anak petani, dan betapa rindunya diriku pada Galesong. Galesong bagi anak petani yang merantau sepertiku adalah muara semangat, disanalah kulminasi keindahan hidup kupelajari, dari lekuk realitas paling sempit hingga pada acara pertunjukan.
Walaupun budaya Makassar ala galesong tidak ditanamkan padaku, kehidupan nyata ternyata mengajariku pelan-pelang (sori kelebihan huruf G). Masih kuingat pesan bapakku saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar, waktu itu saya tergolong anak yang pengecut (dipengaruhi oleh ibu yang pelan-pelan menakutiku dengan mitologi atau khalayan yang rapuh, bodohnya; saya mempercayainya). "Bilangko; anak Galesonga!", kata ayahku suatu kala.
Berpandu pada kata-kata itu, pelan-pelan keberanianku kupupuk, kerendahan diri ibukulah yang membuatku tetap menjaga sikap agar tak terlalu angkuh dan menunjukkan otot saat bergaul, apalagi keluarga dari ibuku cenderung diplomatis, sehingga saya selalu bersikap hidup tanpa musuh.
Galesong adalah simbol pembentukan karakterku, dalam waktu yang singkat, saya dibentuk dalam dua dunia yang saling berlawan sekaligus, untungnya sampai sekarang saya tidak mengalami split personality, kebingungan dengan jati diri dan penentuan sikap.
Oia, hampir terlupakan (sebenarnya banyak sekali kenangan masa kecil yang telah ranum di benakku, tapi yang tak kuungkapkan disini akan kusampaikan pada lain kesempatan). Jumpai', entah disebut apa dalam bahasa indonesia. Jumpai adalah tumbuhan liar yang kerap dijadikan sayur, rasanya pahit namun pahitnya berbeda dengan sayur pare. Tak banyak yang bisa kudeskripsikan tentang sayuran ini, saya tidak mahir. Pokoknya sayuran inilah semangat hidup sederhana keluarga kami, baik dari bapak maupun ibu. Sayuran ini selalu mengingatkanku pada kondisi ekonomi keluarga yang sering jadi keluhan, bukan hanya karena pahitnya sehingga sayuran ini kusimbolkan demikian, tapi karena tempat dia tumbuh, kondisinya dan "status sosialnya"; tumbuh tanpa disengaja dan tak pernah dianggap eksistensinya, hingga untuk membuat sayur ini, nenekku sepertinya tidak pernah meniatkan untuk membuat sayur demikian, jadi asal-asalan saja.
Saya rindu dengan Galesong! Betapapun setan mempengaruhiku bahwa surga lebih indah dibandingkan Galesong.
Notes: Mohon maaf bagi pembaca yang kesulitan dengan kalimat kutipan dalam bahasa Makassar di atas, terjemahannya tidak dilampirkan (atau mungkin belum) untuk mempertahankan cita rasa emosional yang dikandung dalam kalimat kutipan tersebut. Sekali lagi mohon maaf!
4 komentar:
Galesong telah pula membentuk karakterku saat ini..
Membuatku kian penasaran dengan Galesong...
saya saja yang menetap di Takalar, belum sempat menyelami Galesong lebih dalam, baru sekedar lewat...
kalau dirimu sempat pulang menjenguk Galesong, jangan lupa mengajakku mampir ya :)
@Apel Batu ::: Walaupun masih (kadang-kadang sih) masih menganggap orang makassar itu sering marah2 padahal lg ngobrol biasa aj.. hehehe
@Muhammad Kasman :: Asal qt siapji bantuka angkat karung kanda.. hehehe, ndak asal mampir lohhh
Hadi: Teringat suatu waktu tatkala engkau mengajakku silaturahhim Idul Fitri di kampungmu (Galesong). Kukunjungi kedua faksi kakek-nenekmu, dan terpaksa sesekali aku berbohong untuk menutupi kelakuanmu yang tak sesuai dengan anggitan nilai yang mereka anut. Sampaikan maafku untuk mereka...
Post a Comment
Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)