Wednesday, October 12, 2011

Media Massa (Televisi) dan Kepala Kita (tulisan ke-1)

Televisinya siapa ne???
Lontaran ungkapan ‘media adalah kepala kita’ mungkin tak berlebihan untuk menggambarkan bagaimana media massa, utamanya televisi menjejali kepala masyarakat dengan berbagai pesan di setiap program acara yang beragam. Kepala yang menampung otak adalah bagian utama dalam menunjang kehidupan dalam bermasyarakat, disanalah memori tempat menyimpan berbagai informasi bermukim, dana otaklah yang merajai segala tindak tanduk/perilaku setiap orang dalam kehidupan.

Dalam menerima rangsangan eksternal, tubuh kita mengirimkan pesan rangsangan ke otak, kemudian dengan proses yang begitu cepat, otak memberika perintah kepada bagian tubuh tertentu itu untuk menanggapi responnya. Tanggapan responsif oleh otak ini mungkin dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yaitu respon yang alamiah atau reflektif yaitu respon yang ditanggapi bagian tubuh tertentu dengan reflex, misalnya mata akan berkedip saat terkena debu.

Kedua, respon yang disadari yaitu sikap atau perilaku yang merupakan tanggapan atas rangsangan eksternal melalui pengolahan informasi di dalam otak, berbeda dengan tanggapan yang refleksif atau alamiah di atas, respon yang disadari ini tidak secara langsung menanggapi rangsangan dikarenakan informasi yang dikirim oleh bagian tubuh yang menerima rangsangan butuh pengolahan di bangian otak untuk menanggapinya.

Misalnya, jari tangan teriris oleh pisau, tubuh secara langsung merasakan sakit, respon alamiahnya mungkin dengan mengeluh dengan engucapkah aduh, auh atau yang lainnya, kemudian respon yang disadari selanjutnya adalah bagaimana tangan yang terluka karena teriris oleh pisau tersebut disembuhkan, atau dihilangkan rasa sakitnya, atau beragam respon lainnya sisesuaikan oleh informasi-informasi yang telah diterima oleh memori otak sebelumnya.

Demikian kiranya kerja otak dalam mengolah informasi guna menanggapi respon eksternal menurut saya.

Kembali pada pembahasan persoalan media, dengan mengandalkan televisi sebagai sumber informasi utama dalam kehidupan, maka dapat dikatakan bahwa perilaku masyarakat atau audiens televisi tidak akan jauh berbeda dengan apa yang disaksikannya, dengan mudah kita temui bagaimana perilaku atau istilah (bahasa, aksen, ekspresi) dalam televisi menjelma menjadi perilaku ‘kasar’ dalam hidup kita, padahal apa yang diterima dari televisi tidaklah realistis, atau merupakan representasi/ simulasi, sehingga dengan menggerakkan tata hidup kita sesuai dengan informasi tata hidup yang ditampilkan di televisi, makan hidup kita tentu saja hanya sebuah simulasi semata, hanya merupakan gerak pengulangan dari apa yang telah ditunjukkan oleh pemeran-pemeran dalam suatu acara televisi tertentu, parahnya hidup dengan berkiblatkan televisi bak menjalani hidup dalam simpul simulacra yang rumit, sehingga untuk mengenali siapa diri kita, perlu muhasabah yang betul-betul mendalam.

Apa landasan pemikiran di atas?, bagi saya sendiri sederhana saja, seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa respon-respon kita terhadap lingkungan ditentukan oleh informasi yang diterima dari berbagai sumber, parahnya bagi seseorang yang menjadikan televisi atau jenis media massa lainnya sebagai sumber informasi yang akhirnya berakibat ‘kebingungan’ tak disadari.

Hal tersebut hampir sama dengan teori imitasi dalam pelajaran-pelajaran ilmu sosial (teori imitasi ini kemudian banyak dipakai dalam ilmu komunikasi, utamanya dalam pembahasan komunikasi massa, perilaku peniruan terhadap media massa lebih fokus membahas soal efek media terhadap audiens tanpa memperhatikan bagaimana proses imitasi tersebut berlangsung), dimana teori ini biasanya digambarkan dengan seorang anak dengan data informasi terbatas yang mengidentifikasi perilaku-perilaku orang-orang disekitarnya untuk dilakukannya juga.

Salah satu teori menarik untuk disampaikan adalah teori kultivasi yang dipopulerkan oleh George Gerbner, teori ini menjelaskan bahwa masyarakat/ audiens menjadikan media massa (utamanya televisi) sebagai alat utama dalam proses belajar dan bermasyarakat (enteh gimana teks asli dari teori ini, haha).

Dalam hal ini, seperti Marshall McLuhan, Gerbner menyatakan bahwa televisi merupakan suatu kekuatan yang secara dominan dapat mempengaruhi masyarakat. Kekuatan tersebut berasal dari kemampuan televisi memberikan berbagai gambaran yang terlihat nyata dan penting seperti sebuah kehidupan sehari-hari melalui melalui berbagai simbol.Televisi mampu mempengaruhi penontonnya, sehingga apa yang ditampilkan di layar kaca dipandang sebagai sebuah kehidupan yang nyata, kehidupan sehari-hari. Realitas yang tampil di media dipandang sebagai sebuah realitas objektif.

Lalu bagaimana? ….

Selanjutnya, mari memperhatikan diri kita sendiri, seberapa besar persentase media massa dalam mengisi ruang memori dalam otak kita? Masih mengutip Gebner dalam Teori Kultivasi, dia menjelaskan bahwa pada dasarnya ada 2 tipe penonton televisi yang mempunyai karakteristik saling bertentangan/bertolak belakang, yaitu para pecandu/penonton fanatik (heavy viewers): mereka yang menonton televisi lebih dari 4 jam setiap harinya. Kelompok penontonini sering juga disebut sebagai kahalayak ‘the television type”, tipe yang lainnya adalah penonton biasa (light viewers), yaitu mereka yang menonton televisi 2 jam atau kurang dalam setiap harinya.

Namun bagi saya pribadi, tak ada yang perdulu pada angka 4mpat atau dua jam dalam urusan menonton TV, jika media ini adalah binatang, tentu saja dia adalah binatang buas yang tak mampu terkendali, berbagai siaran program acara nongon begitu saja di layar kaca, tanpa memohon ijin atau sekadar “Assalamu ‘alaikum”. Maka bagi saya tentunya, mematikan ‘makhluk’ ini tentu saja merupakan salah satu jalan pencerahan.

Pun jika dikatan bahwa media massa merupakan salah satu jalan memperoleh informasi agar suatu masyarakat dapat berkembang, saya masih tetap menolak argumentasi tersebut, toh sebenarnya informasi yang disampaikan melalui media massa tak akan lebih baik dibandingkan realitas utama yang terjadi di sekitar kita. Tentu ada sebuah jalan alternatif untuk ditempuh dalam menghabiskan masa hidup di bumi, dan jalan alternatif (alternative road) tersebut terasa akan lebih damai.

Akhirnya saya tetap bersikukuh untuk tetap menyodorkan proposal untuk menjual ‘kotak ajaib’ ke tukang loak, atau kita butuh banyak waktu untuk meneguhkan diri agar betul-betul siap menghadapi ‘makhluk’ tersebut (akan lebih luas dibicarakan pada tulisan selanjutnya), jika tidak maka bersiaplah diterkam olehnya.

2 komentar:

Ika Farihah Hentihu said...

Televisi mengandalkan visual itulah mengapa seorang anak kecil tidak akan beranjak dari depan televisi kalau tidak dimatikan. Mata normal manusia sudah jelas suka sesuatu yang berwarna dan bersuara. Oleh karenanya banyak radio2 sekarang gulung tikar atau mencari peluang lain dengan mengkonversi program. Hal ini karena radio hanya mengandalkan telinga.. piss

Cheng Prudjung said...

betul mba ika, visualitas tersebut yang memudahkan penyampaian pesan, sehingga otak semakin mudah mengolahnya. terlepas apakah mata manusia pada hal yang berwarna, kesadaran manusia lebih banyak dipengaruhi oleh indra ini.

olehnya itu, mematikan tv bukan jalan yg damai, anak bisa saja mengamuk atau standarnya mencuri kesempatan untuk tetap menonton program acara favorit mereka. Jual saja televisinya mba ika, uangnya boleh dibuat untuk belu buku gambar ... hehe

Post a Comment

Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)

 

Alternative Road Copyright © 2012 -- Template was edited by Cheng Prudjung -- Powered by Blogger