Suatu sore, seorang teman tampak sedang bersemangat mendiskusikan teater. Diskusi mereka semakin luas dan akhirnya menyerempet ke dunia politik. Walaupun diskusi itu agak kabur, tapi alur yang dimulai dengan ocehan soal teater hingga politik tentu saja tetap saling berkaitan. Tidak jarang panggung teater menjadi media penyampai keresahan “rakyat” atas suatu realias politik. Teater merupakan dunia dimana kehidupan direfleksikan dan disimulasikan dengan rangkaian simbol dalam menyampaikan “teriakan reflektifnya”.
Bangsa yang demokratis harus punya semangat membangun dunia teater yang merdeka, hidup dan memiliki keterlibatan atau posisi strategis dalam kehidupan kita, salah satunya sebagai media berpolitik. Dapat disaksikan bagaimana jalanan dijadikan panggung dan tembok atau pagar besi (dan pagar betis) menjadi penonton dalam suatu pertunjukan teatrikal oleh para demonstran, aksi teatrikal hingga saat ini masih menjadi strategi yang pas untuk menyuarakan keresahan pemerhati atas kondisi bangsa.
Setidaknya demikian erat jalinan kasih antara dunia teater atau dunia seni (secara umum) dalam realitas politik. Sayangnya, banyak simbol yang tidak berhasil diterjemahkan oleh “target man” dalam teater yang dipertunjukkan, alasannya banyak yang menghakimi bahwa pemerintah buta dan tuli bahkan mati rasa, kecuali pemeran teater adalah rupiah barulah mereka peduli.
Kembali kepada dua teman yang tetap asik berdiskusi sembari diselingi dengan tegukan segelas kopi. Saya tertarik juga dengan diskusi itu ketika salah satunya mengucapkan bahwa politik itu seni. Politik menuntut permainan peran ketika dituntut oleh kondisi tertentu, dunia politik penuh ackting dan kebijaksanaan pribadi. Politik itu seni, katanya sekali lagi, seni pengambilan keputusan strategis untuk menanggapi suatu kondisi tertentu termasuk memainkan opini publik, misalkan dalam satu ronde permainan catur, politik adalah segala usaha mematikan lawan (merebut kekuasaan) sekaligus mempertahankan kekuasaan, setiap keputusan memindahkan bidak adalah proses kesenian.
Perlu diketahui bahwa kedua teman ini adalah penggemar catur, walaupun ada yang masih amatiran. Namun mereka berdua jelas berbeda dalam hal minat, teman yang bernama Sandro (Alexandro) memiliki minat dalam dunia kesenian khususnya teater, sementara Brek (Brekele) memiliki minat dan kecakapan di dunia politik. Saya sendiri, selaku penonton atas pentas teater yang mereka mainkan, hanyalah babu kapitalisme yang sudah puas memperhatikan diskusi mereka berdua sambil menikmati sebatang Sampoerna.
Menanggapi diskusi mereka berdua, teater dan politik merupakan saudara kembar, hanya karakteristik saja yang membedakan, misalnya dalam dunia teater sang artis mendalami peran dan makna yang dimainkannya, agar penonton menemukan makna (semangat) atas refleksi simbolik tersebut.
Sementara politik adalah permainan peran dimana pelakunya mempermainkan peran untuk mempengaruhi bahkan membentuk suatu citra real penontonnya. Kegiatan politik (praktis) merupakan prosesi menghipnosi penonton agar tepuk tangan, senyum, tawa, ya atau tidak dapat diputuskan oleh sang pemeran.
Oia, dalam dunia teater, segala laku aktor adalah usaha menghibur para penonton dengan memaksimalkan kemampuannya merepresentasika ide sutradara menjadi gerak interpretatif. Sementara dalam dunia politik, sang pemeran berusaha dengan sekuat tenaga memainkan segala bentuk citra agar dia dan sang sutradara merasa terhibur dan puas atas respon audiens yang telah dihipnotisnya.
Pikiran di atas membuatku mematung, seorang teman lain menyapa dengan komentar mengapa saya tampak lemas, tidak bersemangat dan seperti kebingungan membayar hutang trilyunan sementara dapur di rumah sendiri tidak pernah berasap.
“Saya bingung!”, Kataku.
“Bingung kenapa?”. Taya teman dengan empati.
“Bayangkan jika politik benar-benar seni, bayangkan jika politik adalah saudara teater! Bukankah selama ini kita hidup dalam dunia yang palsu? Entah sebagai penonton atau pemeran atau bahkan sutradara. Tidak mungkin dunia yang palsu memiliki Negara makmur, damai, dan sentosa. Semua yang palsu adalah rongsokan!”. Kataku dalam hati, temanku ikut bingung memperhatikan kebingunganku.
Wednesday, December 28, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment
Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)