Monday, January 16, 2012

Gagasan Versus Duit; Kultur Politik IKAMI Sulsel Harus Beda

Sumber: yustisi.com
Kami tak Punya Uang, tapi Kami Punya Gagasan, Keinginan & Tenaga; Celoteh Kandidat Alternatif

Ada sebuah hukum alamiah atau aksioma: untuk menjadi pimpinan organisasi yang memiliki bargaining dan peran/ pengaruh besar terhadap kondisi sosial politik bangsa ini, uang adalah persyaratan utama. Jika modal ekonomi sudah kuat, persentase kemenangan sudah mencapai 50%, 50% sisanya adalah kerja-kerja strtategis.

Entah darimana aksioma ini berasal, namun karena hampir setiap momentum politik, uang selalu menjadi pokok penentu sehingga mau tidak mau, modal ekonomi menjadi persyaratan mutlak seorang kandidat untuk memenangkan persaingan di kontes politik. Parahnya, para konstituen tidak jeli dan larut dalam hukum tersebut, daya tarik yang membuat mereka berkubang tidak lain karena adanya simbiosis mutualisme disana, sang kandidat membutuhkan suara untuk menang, di pihak lain para konstituen membutuhkan dana untuk berpesta.

Pihak ketiganya, yakni organisasi menjadi korban yang terus saja dimanfaatkan. Pelan-pelan, kondisi ini merubah konsep organisasi yang disepakati sebagai wadah untuk melakukan gerakan-gerakan pemberdayaan, gerakan memaksimalisasi potensi masyarakat untuk menikmati hidup yang sejatinya adalah indah. Konsep itu beralih, menjadikan organisasi sebagai sarang harimau lapar, mempermainkan konstitusi untuk kepentingan beberapa orang.

Tapi memang, uang memegang peranan penting dalam usaha pemenangan kandidat dalam kontes politik. Tak ada usaha yang tak memakan biaya, sehingga cost politic tidak bisa dikesampingkan. Akan tetapi perlu dibuat garis toleransi sampai dimana uang mempengaruhi proses politik, jangan sampai dunia politik (sepraktis apapun) bermetamorfosa menjadi pasar, dimana uang adalah media komunikasi yang utama.

Perlu Ada Perubahan:
Perlu ada perubahan. Kita harus sadari baik-baik kondisi (kultur) politik bangsa yang mulai ditunggangi oleh wajah Soekarno-Hatta pada selembar ‘kertas’ berwarna merah. Wacana bahwa masyarakat Indonesia semakin melek politik sehingga tidak mudah lagi mempercayai janji dan upeti (uang) belum masuk di akal saya, rakyat memang tak butuh janji, rakyat memang tak butuh upeti, akan tetapi rakyat/ bangsa ini butuh lebih banyak uang karena melek politik mereka mengantar kesadaran berfikir bahwa suara mereka tidak murah. Suara mereka adalah penentu masa depan bangsa, dan apakah masa depan bangsa dibeli dengan harga 50 ribu rupiah?

Jangan Mengandalkan Dana!!! Refleksi menuju IKAMI Sulsel Modern

Kalau dipikir, ujung dari riwayat uang adalah tai, jika bukan, wujudnya berarti sampah yang lambat laun akan dikerumuni lalat, dicakar oleh belatung dan menjadi istana cacing tanah, tikus got, ular dan lainnya. Apa wujud uang yang bisa dibanggakan? Tolong sampaikan pada saya agar derajat ide bisa saya turunkan ke tanah dan mengangkat tinggi-tinggi uang sebagai pedoman hidup.
Bebas dari godaan duit.

Janganki berfikir bahwa saya mencoba membangun wacana dan mempengaruhi corak berfikir teman-teman, silahkanmi dipikir sendiri apakah gunanya itu uang? Dibandingkan dengan gagasan besar untuk membangun gerakan pemberdayaan dan pengembangan potensi manusia. Apalagi dalam konseks IKAMI Sulsel sekarang ini.

Pertanyaan anak SD-nya, apakah IKAMI butuh pemimpin berdompet tebal agar kondisi semakin membaik? Ataukah seorang pemimpin yang mengusung gagasan cemerlang dan realistis, belum lagi semangat dan tenaga untuk bekerja keras masih unggul.

Pertanyaan anak SD-jie itu di atas, tapi kita perlu jawab pertanyaan itu dengan kepala (fikiran) professor, ilmuan, filosof (pencinta kebijaksanaan), bahkan nabi kalau bisa. Jawabanta adalah milikta, dan benar salahnya adalah urusanta, tanggunganta sendiri. Semoga tidak adaji yang menjawab lalu meninggalkan tanggung jawab atas jawabannya.


Gagasan, Semangat, Tenaga dan Tanggung Tawab.

Sejago apapun gagasannya, sepanas apapun semangatnya, dan sekassa’ apapun tenaganya (bahkan seperti Hulk) kalau tidak bertanggung jawab, dia hanyalah manusia kerdil dimana mulut, dada, dan tubuhnya hanyalah rongsokan, mirip seperti sebilah badik sakti yang tak bertuan: tidak ada manfaatnya sama sekali.

Tanggung jawab adalah ruh, dia adalah nyawa dalam eksistensi manusia. Petuah-petuah bijak sudah menyarankan kita kesana, “Taro ada’, taro gau’” menyesuaikan perkataan dan perbuatan. (Bagaimanami kalo orang bisu, nenek???). Petuah di atas perlu menjadi pedoman untuk menjelaskan apakah seseorang dikatan manusia atau tidak. Bangunan tubuh manusia memungkinkan adanya kesesuaian atau kerjasama antar organ secara terorganisir, itulah hukum alam manusia, kaki kita ada untuk menginjak bumi dan tangan kita ada untuk menggapai angkasa, sementara hati yang berada di tengah menjadi penyeimbang agar tanah dan angkasa tidak berjarak. Apakah yang membatasi tanah dengan angkasa?

Saya kira begitu, sehingga untuk menjadi manusia kata tak boleh kontra dengan perbuatan, kapangi pisah kata dan perbuatanta, secara istilah tappisa tommi itu kepala dengan badanta, jadi kalau tappisami badan dengan kepala, manusiaka itu? Kalau setan mungkin, atau robot-robot yang patah leherna.

Emmmm, itu fikiran saya! Entah bagaimana teman-teman yang masih berkutat di IKAMI Sulsel memikirkan oraganisasi yang besar ini. Kalau masih berfikir: “apa untung atau rugiku di’ selama di IKAMI Sulsel atau berapami uang yang kudapat atau kuhabiskan di IKAMI Sulsel di’???” mending ke laut aja, pi boker (kalau cari tude masi mending).

Bertanggung jawab. Berani???
Saya mencitakan IKAMI Sulsel maju, organisasi ini menjadi potongan puzzle kebesaran dan keagungan citraannya (Segala kehidupan di Sulsel). Jika sedikit saja kita melowongkan waktu membaca sejarah, astaga… sedih rasanya kehidupan jaman materi ini, malah sistem kehidupan kita berulang ke jaman batu, untung saja ada gedung tinggi, ada bandara dan pesawatnya, ada Kapal laut besi, ada komputer dengan internet dan teman-temannya, ada pabrik kain, ada Spiderman-nya, ada James Bond-nya, ada Iron Man-nya, ada Transformer-nya, sehingga kehidupan kita yang seperti jaman batu ini tidak ketahuan oleh nenek moyang yang berperan sebagai aktor pencerahan (aufklarung). Kalau dia tau, mungkin akan terpingkal-pingkal dan merasa geli, tak ada alas an lain kecuali kita hanyalah boneka bagi mereka.

Abu Nawas & Ikami Sulsel:
Coba Abu Nawas hidup di jaman kita dan mengetahui kondisi IKAMI Sulsel, mungkin ada sebuah lelucon untuk kita, atau paling tidak teka-teki: Berbentuk tapi tak dapat dilihat, banyak yang terlibat tapi ternyata hanya sedikit yang ada, dia berwarna sesuai bentuknya, jika disadari keberadaannya maka banyak yang akan sakit walaupun sedikit yang kesakitan, berapakah satu ditambah satu?.

Penasaran yahhh ????:
Intinya, IKAMI Sulsel ini mBulet, ujung-ujungnya pasti pertanyaannya berapa. Hahahaha.

Lalu???:
Ada yang berani menyangkal? Atau merubahnya?

Tabe’

1 komentar:

Puang Array said...

No Women no Cry, No Money ke Disnaker aja loe.

Post a Comment

Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)

 

Alternative Road Copyright © 2012 -- Template was edited by Cheng Prudjung -- Powered by Blogger