Thursday, January 26, 2012

Semangat Merantau Transformatif & Eksistensi IKAMI Sulsel

Judul asli : Rantau Transformatif dan Eksistensi IKAMI Sulsel
Penulis : Shadikin Suhidin*
Diterbitkan di : Lintas-kabar.com (21 Januari 2012)

Merantau dan Legitimasi Langit

Kitab suci di samping memberikan informasi penting kepada manusia, juga memberikan pemahaman penting yang berbuah nilai kecerdasan. Letak signifikansi kitab suci bukan saja sebagai pelengkap kepercayaan kita kepada Tuhan, tapi lebih pada nilai inspiratif dan legitimasi psikologis kepada orang-orang tertentu yang mempercayainya.

“…Mengapa tidak sebagian kamu, pergi/keluar memperdalam ilmu agamanya untuk selanjutnya memberikan bimbingan kepada khalayak. Bimbingan kepada kaum dan umatnya…”, demikian kutipan lepas yang bersumber dari firman Tuhan dalam kumpulan info langit tersebut.

Walaupun anjuran ataupun kewajiban ini lebih bersifat fardu kifayah, namun sangat inspiratif dan penting sebagai landasan justifikasi kepada semua sebagai anak rantau. Juga, dalam beberapa hikayat, disebutkan bahwa salah satu bukti akan kenabian Muhammad Ibnu Abdullah tidak lain karena keinginan dan kemampuan beliau kembali ke bumi setelah bertemu dengan Tuhan-Nya.

Singkat kata, bahwa banyak hal yang menjadi nilai positif dalam perspektif Qur’anik tentang manusia – manusia yang melakukan safar. Mulia, dalam paradigma Qur’anik – bagi manusia yang menjelajah dunia untuk menemukan nilai–nilai transendental. Bahkan sakral nan suci bagi yang mampu menembus hakikat perjalanan itu sendiri.

Tulisan ini tentang Mahasiswa Rantau. Khususnya mahasiswa rantau dari Tanah Sebrang, Sulawesi Selatan (dalam kacamata manusia jawa). Dan, tidak berpretensi mencari pembenaran keberadaan dan status kita sebagai anak rantau—bukan untuk dikatakan lebih mulia daripada saudara yang tetap melanjutkan studi di Makassar.Tulisan ini bukan alat pembenar dan seolah mulia. Toh, belum tentu semua kita mempunyai pandangan Quranik. Toh tidak sedikit yang sudah lupa baca tulis quran. Tulisan atau dialog ini tentang merantau “bagaimana menjadi”. Sebuah rantau transformatif. Rantau yang mencoba menemukan titik ideal sebagai musafir.


Rantau-merantau : Jalan Menembus Hakikat

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata rantau mempunyai makna cukup luas; 1. Pantai sepanjang teluk (sungai); 2. Daerah (negeri) di luar daerah (negeri) sendiri atau daerah di luar kampung halaman; negeri asing. Menambahkan awalan me-rantau, bentuk kata kerja, yang dapat diartikan sebagai pergi ke negeri lain untuk mencari kehidupan, ilmu dan seterusnya.

Hakikat merantau adalah untuk menjadi, bukan mempunyai. Menjadi (to be) berarti memaknai perjalanan sebagai anak rantau untuk melakukan metaforfosa diri ke arah yang lebih baik dan konstruktif. Sedang mempunyai (to have) hanyalah selancar bayang-bayang profan yang tidak mengantar pada hakikat perantaun yang ideal.

Dalam perspektif reflektif jalan panjang ini , secara garis besar, mahasiswa rantau dapat dibagi dalam dua arus besar. Pertama, mahasiswa rantau yang mampu memaknai perjalanan panjang, dan melahirkan kesadaran akan posisi sebagai kaum intelektual. Kedua, mahasiswa rantau yang termotivasi dengan bayang-bayang profan. Termotivasi oleh nilai-nilai material; Merantau untuk mendapatkan harta melimpah, merantau untuk mendapatkan gadis desa tercantik atau merantau untuk menjadi yang “terbaik” di bumi masing-masing.

Kalangan besar kedua ini, kita lihat masih terjebak pada status tanpa nilai transendental. Tidak ada pemaknaan lebih tinggi, tidak mampu menembus ruang dibalik ruang material. Pada titik ini pula, didapatkan reduksi nilai yang sangat besar dalam kamus anak rantau tentang tellu cappa atau tiga ujung pamungkas yang dimiliki perantau bugis-makassar. Tiga ujung yang dimaksud adalah ujung lidah, ujung badik, dan ujung kemaluan. Dalam pandangan arus besar kedua di atas, substansi spirit kultural telah hilang dan tergantikan dengan hal yang bernilai material belaka; ujung lidah tidak lebih sebagai perangkat negosiasi untuk kepentingan pribadi; ujung badik juga direduksi hanya pada keberanian memamerkan kehebatan fisik; dan ujung kemaluan juga hanya perangkat mengelabui pribumi demi kepentingan sesaat. Hemat penulis, ujung ketiga inilah yang paling sering disalahartikan oleh perantau bugis-makassar hari ini.

Gambar ini mengingatkan kisah romantika Saijah dan Adinda dalam Multatulu karya Max Havelar


Revolusi Dari Luar, Dari Kita Untuk Umat

Akhirnya, Merantau akan berarti ketika sang musafir mampu memaknai tiga lingkaran hidupnya; Tuhan, alam dan manusia sekitar. Kewajiban saling mengingatkan sesama perantau bugis-makassar “dimana langit dijunjung, disana bumi dipijak” pada saat bersamaan saling memasyrakatkan dalam komunitas sesama perantau akan kata bijak lainnya “seekor burung akan selalu kembali ke sarangnya”. Artinya, kemampuan adaptasi perantau bugis-makassar di negeri orang harus diimbangi dengan spirit pembangunan rumah besarnya sendiri yang bernama Sulawesi Selatan.

Adakalanya penghuni balla’ lompoa yang bernama Sulawesi Selatan perlu memotret rumah secara utuh, dan itu hanya bisa dilakukan dari luar. Tidak jarang pula, dinamika rumah memerlukan pandangan-pandangan pihak eksternal untuk selanjutnya mengambil solusi cerdas bahkan langkah preventif terhadap gejolak sosial yang sangat mungkin terjadi. Memandang dari titik jauh adalah tugas perantau bugis-makassar. Dan ketika perantau ini mengayauh langkah secara bersama dalam bingkai organisasi paguyuban seperti IKAMI SULSEL dan KKSS peran seperti di atas jatuh ke pundak kita semua.

Eksistensi Ikatatan Kekeluargaan Mahasiswa/pelajar Indonesia (IKAMI) Sulawesi Selatan dapat dilihat dari kerja-kerja nyata untuk masyarakat Sulawesi selatan itu sendiri. Wacana Revolusi dari luar, dari kita untuk umat bukan sekedar wacana di atas kertas ketika serangkaian program strategis mampu dibumikan sesegara mungkin. Dalam konteks ini pula kecerdasan ilahiyat serta sense of critis akan mewujud setelah oleh para perantau mampu memaknai sabda tuhan di atas bahwa “mengapa tidak sebagian kamu keluar (baca, merantau) dalam rangka memperdalam pengetahuan dan ilmu agamanya untuk selanjutnya memberikan pencerahan dan pembaharuan kepada kaumnya. Maka merantau pun alih-alih hanya mencari penghidupan material semata tapi mampu menembus hakikat bagai sebagai napak tilas perjalanan kenabian yang dianjurkan, bahkan dalam konteks tertentu, diwajibkan kepada semua manusia.


*) Kandidat Ketua Umum PB IKAMI Sulsel dan Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

shadikin suhidin

0 komentar:

Post a Comment

Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)

 

Alternative Road Copyright © 2012 -- Template was edited by Cheng Prudjung -- Powered by Blogger