oleh; ucheng prudjung
Berakhirnya Muktamar IRM XVI di Solo pada tanggal 28 oktober 2008, beberapa hari yang lalu, menandai berakhirnya segala aktifitas para kader IRM dengan simbol identitas “remaja”nya. Pengembalian nama IRM ke IPM memberikan suatu penjelasan tertentu kepada khalayak tentang bagaimana simbol sangatlah berpengaruh dalam suatu pelaksanaan relasi sosial, selain itu, apa yg kita saksikan pada Muktamar di Solo, mengantar kita untuk kembali mengklarifikasi ucapan seorang penyair besar yang mengatakan bahwa “apalah arti sebuah nama” dan demi nama, para kader IRM saling adu suara, mungkin untuk m,empertahankan egoisme atau sekadar beraktualisasi bahwa diantara banyak kelompok (struktur pimpinan) ada beberapa kelompok yang memilih untuk berteriak beda.
Perlu diperhatikan dengan seksama bagaimana nama memiliki sesuatu kekuatan yang penting dalam kehidupan atau dalam eksistensi suatu organisasi, karena nama adalah suatu representasi dari keseluruhan “elemen” dalam organisasi tersebut. Dalam kegiatan sosial, nama diperlukan sebagai alat diferensiasi antara satu hal dengan yang lainnya untuk menghindari kekaburan identifikasi, dalam artian bahwa nama mempermudah kita untuk mengenali suatu struktur atau aktifitas dari sesuatu atau seseorang.
Kembali pada persoalan perang suara (teriak) antara kubu IRM dan IPM, menanggapi persoalan ini, ada baiknya jika kita mencoba melihat sedikit definisi Umberto Eco tentang simbol atau semiotika (ilmu tentang simbol) yaitu, bahwa semiotika atau ilmu tanda adalah suatu ilmu tentang berbohong.
Sehingga dengan mempelajari semiotika, atau mempelajari tanda, maka kita sedang belajar tentang bagaiman berbohong, sama dengan ketika kita memberikan sebuah petanda pada suatu objek berarti saat itu kita sedang melakukan kebohongan mengenai sesuatu atau objek yang ditandai tersebut.
Apa maksud Umberto Eco mendefinisikan semiotika atau ilmu yang mempelajari tanda sebagai ilmu tentang berbohong?, Yasraf Amir Piliang memaparkan dalam Hipersemiotika bahwa, tanda adalah representasi yang mengandung penjelasan tentang berbagai hal yang terdapat atau terkandung dalam suatu kesatuan benda atau objek yang menjadi petanda.
Lebih jelasnya, tanda atau petanda hadir untuk merangkum seluruh sifat, aktifitas dan berbagai hal menyangkut objek atau penanda dengan tujuan untuk memudahkan proses identifikasi suatu objek atau penanda. Masalahnya, dalam proses representasi tersebut, kadang terjadi reduksi akibat ketidak-sempurnaan penghadiran suatu objek. Jika dalam hal ini (yang menjadi pembahasan kita adalan nama IRM/IPM) IRM adalah petanda atau simbol yang menandai suatu organisasi remaja yang bergerak pada jalur dakwah islam dengan semangat amar makruf nahi mungkar, maka ada kemungkinan atau malah terdapat sesuatu kebohongan dengan ketidak mampuan simbol “IRM” menjelaskan suatu kandungan dengan detail tentang sebuah organisasi yang berlandaskan islam dengan semangat dakwah amar makruf nahi mungkar.
Lalu, persoalan yang menarik adalah, nama yang dipersoalkan oleh para kader IRM ini apakah berangkat dari keraguan akan sebuah nama atau sebuah simbol yang kurang mampu menjelaskan suatu kesatuan inti atau substansi organisasi, ataukah sebagai medan aktualisasi dengan perang argumentasi pada ranah nama atau penyimbolan organisasi pelajar/remaja yang sudah tua ini?
Maka perlu dilakukan peninjauan historis, bagaimana IPM menjadi kesepakatan bersama untuk menyebutkan suatu organisasi pelajar/remaja yang berlandaskan ajaran islam, lalu bagaimana perkembangannya yang pada akhirnya mendapatkan represi dari rezim orde baru untuk membubarkan diri atau mengganti nama, kemudian setelah orde baru runtuh, tuntutan akan pengembalian nama IPM kembali harus dilakukan yang pada akhirnya, muktamar di Solo yang menjadi saksi akan peristiwa pengembalian nama organisasi tersebut.
Keluar dari lingkaran perdebatan menyangkut nama tersebut, salah satu tawaran yang dapat dikaji adalah, bahwa perubahan nama ini setidaknya berdampak pada refleksi para kader IRM/IPM dalam segala aktifitas keorganisasian atau kebermasyarakatannya, dengan tidak lagi mementingkan persoalan eksistensi oraganisasi dengan aktualisasi simbol atau nama dengan cara sosialisasi gerakan pelajar remaja yang berlandaskan islam ini menggunakan akronim IPM/IRM, melainkan dengan menghadirkan suatu nilai keorganisasian atau nilai kemasyarakatan dengan memperkuat identitas melalui pembentukan kepribadian kader.
Sehingga, IRM/IPM kemudian tidak lagi menjadi suatu persoalan, karena persoalan pokoknya adalah, para kader IRM/IPM seharusnya dikenal sebagai kader organisasi yang berlandaskan islam dibandingkan keinginan untuk dikenal sebagai kader IRM/IPM.
Salah satu ancaman masalah yaitu ketika seseorang hanya dikenal sebagai kader IRM/IPM adalah hadirnya para kader-kader IRM/IPM KTP atau hanya sebagai identitas belaka, tanpa ada tanggung jawab moril untuk mewujudkan suatu imajinasi tentang tujuan suatu organisasi.
Demikianlah kiranya, pemikiran saya menyangkut pertentangan kita persoalan nama. Ketakutan saya yang terbesar adalah, hadirnya suatu masa ketika eksistensi IRM/IPM hanya diukur dengan keberadaan logo organisasi pada spanduk-spanduk yang terbentang layaknya sponsor kegiatan, atau hanya sekedar suara sumbang ketika seorang menyebut “itulah kader IRM/IPM”.
Sunday, November 2, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment
Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)