Monday, April 13, 2009

"Andaikata Pohon Bisa Bicara"

Malam minggu seharusnya dialami bersama kekasih, berkencan berduaan, menikmati langit malam sambil tunjuk-menunjuk bintang. Namun, malam minggu saya tidaklah seperti itu.

Demikian malam minggu saya, bahwa tanpa sengaja saya bertemu dengan (katakanlah) senior yang sekarang menyibukkan diri mengurusi ummat. Saya yakin dia tidak mengenal saya, tentunya saya pun tak mengenal mereka, kecuali lewat paras wajah, untung saja teman sekampung yang sama-sama merantau di Jogja memperkenalkan mereka kepada saya dan sebaliknya.

Lompat cerita, saya dan teman perantauan yang sudah seperti kakak sendiri, bertanggung jawab kepada kedua senior tersebut untuk menggiring mereka menuju warung makan, lalu dipilihlah warung Masakan Padang setelah sedikit berdiskusi tentang menu makanan yang ingin mereka nikmati.

Tidak usahlah saya ceritakan proses bagaimana mereka memesan makanan dan menghajarnya, yang terpenting adalah apa yang diungkapkan salah seorang senior saya yang dipanggil “ustads” oleh senior yg satu. Dia berkata seperti ini, “Waktu saya bawakan khutbah, saya bilang bahwa andaikata pohon-pohon itu bisa bicara, maka mereka akan berteriak, melaknat orang-orang yang menyakiti mereka”.

“Hey”, seru si pohon via sang ustad, “Inilah bukti kekejaman mereka, lihatlah bekas paku ini yang ditancapkan untuk menempel poster-poster (banner, red) kampanye bergambar wajah-wajah munafik politisi, kalian lihat bekas ikatan tali akibat spanduk-spanduk itu”.

“Betapa mereka penuh dengan janji-janji busuk”, lanjut si Pohon. “Mempergunakan tubuhku untuk kepentingan mereka tanpa memperhatikan kesehatanku, kehidupanku, kesengsaraanku sebagai pohon yang tak mampu berbahasa manusia”.

Demikian kurang lebih ucapan si ustad tersebut yang mash tersimpan di memori saya yang gatal karena kata-kata pedas yang berubah menjadi kuman di sel-sel otak.

Tenggelamlah saya pada pikiran setuju dengan kata-kata ustad tadi, “Seandainya pohon itu bisa bicara”. Maka demikian pula manusia indonesia, mungkin. Bahwa manusia Indonesia bertindak atau diperlakukan seperti pohon, punya suara tapi tak bersuara menyampaikan kepedihannya kecuali menyalahkan nasib. Di sisi lain dijadikan pohon, dilukai tanpa diperhatikan hak-haknya oleh para pelaku “kejahatan”. Sungguh menggelitik.

Ada pun manusia yang merasa disakiti, dijajah haknya dan ditipu, menyampaikan keluhannya sebentuk perlawanan, demonstrasi, gerakan politik atau segala macam. Pikiranku kini bertambah liar, bagaimana seandainya pohon mampu berbicara bahasa manusia?, bagaimana sekiranya jika pohon pun mengenal politik, calek, pemilu, golput dan segala macam. Apakah mereka akan melakukan penindasan juga? Ingkar akan produksi kata-kata oleh mulutnya?.

Sama dengan manusia yang melakukan perlawanan akibat ketidak sepakatan mereka akan pelaksanaan pemerintahan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka, mereka melawan, berinisiatif untuk merebut kekuasaan agar mampu menjalankan pemerintahan yang ideal.

Namun apakah mereka akan menjadi para penjajah baru juga? Membalas dendam mereka akan penjajahan atau penindasan yang pernah mereka alami. Sungguh aneh..

Saya kemudian teringat oleh demonstrasi kawan-kawan mahasiswa, mereka dengan lantang dan penuh semangat berteriak,

“Hidup mahasiswa !!!”.
“Hidup mahasiswa !!!”.
“Hidup rakyat !!!”.

Hidup ini memang susah kawan!!!

subuh hari di Jogja, 8 February 2009
(kedua senior saya baru saja kembali ke Makassar)

1 komentar:

Anonymous said...

seandainya pohon itu bisa memukul dan mengamuk seperti salah satu adegan di HARRY P.tentu seru,,,
selamat hari bumi...lestarikan alam mu...kapan kita ke ranukumbolo?????

Post a Comment

Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)

 

Alternative Road Copyright © 2012 -- Template was edited by Cheng Prudjung -- Powered by Blogger