Wednesday, December 2, 2009

Gender dan Gelas






Mari kita mulai dengan menuju kantin kampus dan memesan segelas kopi dan segelas jus alpukat. Sebelum melanjutkan proses “pengamatan” atau proses lebih lanjut dari menikmati minuman masing-masing, sebuah persespsi harus dibangun terlebih dahulu, bahwa pembicaraan kemudian adalah pembicaraan menyangkut dua sisi, walaupun pada perjalanan alurnya, terdapat salah-satu golongan yang hadir sebagai pemeran yang mendominasi kisah. Selanjutnya, silahkan menikmati minumannya.

Jika seorang mahasiswi melintas di hadapan kita, seberapa lama mata kita terbelalak menikmati suatu pengejawantahan dari rumus kecantikan?, atau pertanyaan awalnya, apa yang pertama kali kita lihat, sebagai seorang lelaki, ketika seorang perempuan cantik dan bertubuh “menarik” berjalan santai di depan kita?. kebuntuannya, kita dihadapkan pada suatu sistem simbolik yaitu diferensiasi sex dan realisasi pola perilaku dasar sebagai manusia.
Simbolisasi seksual kemudian mempengaruhi pemahaman kita tentang kehidupan masyarakat sehari-hari. Kaum hawa kemudian diakui eksis ketika mendapatkan pengakuan dari lawan jenisnya ketika cantik, berbodi seksi, dan memiliki vagina tentunya. Demikian pula lelaki yang dinilai pada kualitas penampilan (macho), ketebalan dompet dan kejantanannya. Simbolisasi ini kemudian turun menjadi suatu kerangka atau frame yang menentukan aktifitas selanjutnya dari manusia berbeda kelamin ini.
Membicarakan relasi antara kaum perempuan dan laki-laki, akan mengantar kita pada medan ranjau. Kompleksitas persoalan diferensiasi antara perempuan dan laki-laki ini berputar pada persoalan sifat dan perilaku sebagai sebuah kodrat atau sebagai produksi sosial-kultural. Istilah gender kemudian hadir untuk mengklarifikasi permasalahan tersebut. Kepentingannya adalah untuk menegaskan situasi yang bias menyangkut diferensiasi perempuan dan laki-laki.
Mari menikmati kembali minuman masing-masing. Apa yang terjadi ketika seorang laki-laki melintas dengan menggunakan kaos dan sepatu berwarna merah jambu?, kesan di benak kita tentu jelas, aneh, lucu dan “gak mboiz”. Apa yang mempengaruhi kita melahirkan kesan demikian dalam batok kepala?.
Hehehehehe, saya pun harus tertawa membayangkan nomena yang demikian. Saya pun harus tertawa akibat keterjebakan kita mengurung salah-satu golongan manusia dengan jeruji-jeruji simbolis maha karya budaya manusia.
Terbanglah memori pada kisah-kisah di ruang perkuliahan (satu misal), barisan mahasiswa yang duduk di atas bangku bagian depan mayoritas perempuan, sementara laki-laki terpuruk dibagian belakang. Tulisan atau catatan kuliah mahasiswi lebih rapi dan lengkap dibandingkan mahasiswa secara umum.
Kemudian bergerak pada suatu memori, dimana Paulo Freire mengutarakan bahwa pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia. Penghantaran saya menuju petikan Freire ini bermaksud untuk melepaskan kurungan kata “pendidikan” dari jeratan korporasi yang kemudian “merabunkan” makna dan tujuan bijak dunia pendidikan, jelasnya saya menawarkan dua ruang pendidikan yang patut untuk kita perhatikan, dimana pendidikan formal yang dijawantahkan dengan mencari ilmu pengetahuan di sekolah dan segala institusi pendidikan lainnya, ruangan ini saya namakan ruang pendidikan struktural, dan ruangan lainnya adalah pendidikan kultural dimana pendidikan bersih dari segala “kepentingan”, pendidikan mejadi sebuah sosok yang puritan, dia terjawantah pada kehidupan sehari-hari dengan syarat bahwa kepala kita mampu menelanjangi realitas dengan rasionalisasi sebatas kemampuan kita.
Pendidikan akan terjadi di kantin sebagaimana yang kita lakukan, dosennya bisa saja adalah realitas yang ditangkap indra kita, dan metodde belajarnya adalah pengamatan. Maka pendidikan kultural sebagaiman yang saya maksudkan coba kita hadapkan kepada masalah eksistensi perempuan dan laki-laki.
Akhirnya marilah memasuki ruang pendidikan kultural yang holistik atau pure, kemudian darinya mari kita menggunakan kacamata rasionalitas kita masing-masing guna menyelami problematika gender. Bahwa gender harus terlepas dari sistematika pemikiran yang tertanam dalam di kepala kita akibat akar-akar kultural yang datang begitu saja.
Terlepas dari istilah yang dipopulerkan Edward Wilson yang membagi “perjuangan” perempuan secara sosiologis menjadi dua, yaitu; nurture dan nature. Nurture adalah perilaku atau hukum bagi perempuan dan laki-laki dalam pembagian tugas, identitas, dsb. Sedangngkan nature adalah keadaan perempuan dan laki-laki yang alamiah atau dasariah, seperti lelaki yang perkasa, kuat dan rasional, sementara perempuan bersifat halus, lemah-lembut dan cenderung meengedepankan perasaannya daripada rasionalisasinya.
Selain dua istilah yang sekaligus menjadi suatu sudut pandang dalam pembicaraan gender, kaum kompromistis memunculkan istilah keseimbangan atau equilibrium, dimana istilah ini berupa konsep harmonisasi hubungan antara perempuan dan laki-laki.
Sekarang, teguk habis minuman kita masing-masing dan tinggalkan gelas dalam keataan tidak berisi. Kemudian perhatikan bagaimana dua gelas tersebut ternyata memiliki kesamaan atau terkesan mirip setelah keduanya telah berada dalam keadaan sama-sama kosong. Berbeda dengan ketika dia terisi oleh kopi dan jus alpukat yang berubah makna. Maka maksud saya adalah, manusia memiliki dasar yang sama sebagai manusia, terlepas apakan manusia tersebut berkelamin lelaki atau pun perempuan, dia adalah manusia. Sama. Pembedanya adalah bentuk material dan zat non-material (rasa) dengan asumsi bahwa sebuah benda yang mirip bukanlah benda yang benar-benar benda itu.
Kurang lebih, persoalan gender ini terjebak dalam gelas yang berisi atau telah terkuras isinya. Kita kurang jeli memperhatikan bagaimana sebuah gelas dihadirkan sebagai gelas. Bukan gelas yang telah terisi oleh air atau materi lainnya.
Akhirnya, tentulah bukan persoalan tabiat hidup sebagai produksi kultur yang kita hadapi ketika berbicara persoalan gender (pada salah satu perspektif tentunya, contohnya pendidikan). Akan tetapi kejelian kita memahami sebuah kondisi yang kompleks akibat persentuhannya dengan berbagai hal. Singkatnya adalah perempuan dan laki-laki adalah manusia.


Oleh: Cheng Prudjung

0 komentar:

Post a Comment

Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)

 

Alternative Road Copyright © 2012 -- Template was edited by Cheng Prudjung -- Powered by Blogger