Friday, November 11, 2011

Gempita Pengetahuan dalam Kamar Kecilku

Tak ada kepala lain yang berada di bawah atap rumah kecil ini selain kepalaku, sekarang. Namun jika mempertanyakan ada berapa banyak teks yang dilindungi atap rumah ini, tak terkira dan tak pernah ada niat menghitungnya, mungkin jika suatu saat ada niat untuk menghitung, kuharap saat itu sudah tersedia formula matematis, sebuah rumus yang bisa kuaplikasikan demi mengetahui berapa banyak teks yang menunggu mataku dalam kamar berantakan ini.

Foto bareng bersama 1000 tahun Nusantara | Smoga gak ada yang terganggu dengan foto ini .. : )
Kesunyian rumah kuusir dengan melepaskan tembang-tembang Dewa. Saat tembang itu berkeliaran, aku sendiri terduduk bisu, entah hendak melakukan apa. Internet, rasanya, terlalu gersang untuk kusentuh. Namun, perhatianku beralih pada “Bumi Langit Karaeng Pattingalloang”. Kukeluarkan kembali sebuah buku berwarna hitam yang tebal dari tas punggungku, kuseka sampul tebalnya, disana tertulis 1000 Tahun Nusantara, buku yang diterbitkan oleh Kompas (2000) sebagai refleksi memasuki milenium baru. Diantara 800 halaman tersebut, sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Nirwan Ahmad Arsuka menuntunku pelan-pelan pada ekstase pengetahuan.

Jarang sekali kunikmati ekstase spiritual karena serangan pengetahuan yang membuat dinding-dinding memori di otakku merekah. Teks-teks yang terbaca olehku seperti memiliki suatu kekuatan yang menuntun kesadaran milikku sampai pada angkasa masa lalu yang klasik, penuh dengan rona kecoklatan yang disiram sinar shepia yang kelabu. Manusia-manusia dengan tubuh kekar, langsing, coklat dan penuh keringat seperti berlalu lalang, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Para awak kapal yang duduk di geladak dengan dada telanjang, seorang kuli yang bekerja sama menurunkan berkotak-kotak rempah dari kapal yang baru saja sandar, para punggawa kerajaan yang sibuk memantau keadaan.

Beragam ras terlihat berinteraksi dalam pelabuhan imajinatifku, orang-orang lokal dengan senyum yang menolak kesan seram di wajahnya, bebas bercampur bersama orang-orang Melayu, Jawa, Maluku, Portugis, Denmark, Cina, dan Spanyol. Di rumah-rumah, para wanita sibuk mengolah makan siang, bercengkrama bebas dengan tetangga, saling bertukar tanggapan soal pengamatan mereka, atau ketika maghrib telah datang, suluh bambu dinyalakan, kaum pria bergegas mendirikan sholat berjamaah, di rumah, para istri menanti suami mereka sambil menyelesaikan pekerjaan rumah, merapikan dan melipat lipa’ (sarung) yang terbengkalai di dipan, atau sekedar membetulkan letak lampu minyak yang tidak menerangi sudut rumah yang memerlukan penerangan.

Imajinasiku lepas, semakin susat kutuntun sendiri sehingga sumringah perasaanku menampik ide untuk menangkap tanda yang akan kutuliskan ini. Dia pergi bersama teks-teks Arsuka (begitukan pria gagah ini disapa?) dalam “Bumi Langit Karaeng Patingalloang”, berkenalan langsung dengan sosok sang mangkubumi kerajaan Gowa-Tallo, menikmati kejumawaan yang terkesan penuh kedamaian dari wajahnya, menikmati kegagah perkasaan seorang kesatria, memimpin 40.000 petarung menuju Bone (Oktober 1643). Itulah kegagah perkasaan yang membuatku terkagum saat ini, mengalahkan kekagumanku pada cerita-cerita mitologis dewa-dewa di Jawa, mengalahkan kekagumanku pada kegagahan Arjuna sebagai lelaki, mengalahkan kekagumanku terhadap Gatotkaca dengan tulang besinya yang sempat kuidolakan dahulu itu.

Selain pandai memainkan pedang, tentu saja dia pandai bahkan lebih pandai dalam dunia pengetahuan. Ketika Arsuka menuntunku memasuki ruang belajar Karaeng Pattingalloang, aku berdecak kagum, disana koleksi buku-buku utama tersusun rapi, ruangan yang luas itu penuh kekuatan magis yang menggetarkan jiwa, bukan karena ancama ketakutan, tapi bubungan kebahagiaan yang membuncah begitu saja, meledak tanpa ada ketok salam, sebabnya tentu saja karena buku.

Saya ingin punya uang sebesar 660 real, dengan nilai mata uang yang tetap sama di masa Karaeng Pattingalloang menyerahkan kayu cendana senilai 660 real dan sebuah daftar barang pesanan kepada kapten kapal Belanda Oudewater, pada 22 Juli 1644. Dengan uang itu, akan kubelikan buku-buku yang telah lama kuimpikan, buku-buku yang terus tertunda karena mimpiku selalu diganggu oleh sang istri yang terburu-buru membangunkanku dan meminta uang belanja untuk bahan makan siang.

Entah apa yang dilakukan oleh Karaeng Pattingalloang selama tujuh tahun setelah dia memberikan kayu cendana dan sebuah daftar barang pesanan kepada sang kapten kapal, hari itu (entah pada hari apa di pertengahan bulan Februari) Karaeng Pattingalloang bergegas menuju Bandar Sombaopu, kegemaran sedikit terjadi di masyarakat, sebuah bola dunia dengan keliling 4 meter memberikan kesan surprise bagi mereka. Entah bagaimana membahasakan kata surprise untuk masyarakat di jaman itu.

Semua orang terkesima melihat bola besar buatan Joan Blaeu, generasi kedua dari keluarga pembuat peta dan bola dunia yang termasyur di Amsterdam kala itu. Setahun selanjutnya, pesanan yang lain datang, tak kalah hebat, lebih jauh menjelaskan bahwa minat Karaeng Pattingalloang sangat besar pada pengetahuan, coba tebak barang apa yang datang ke Sombaopu tahun itu!.

Tak perlu kaget, dan tetaplah bersikap biasa agar kita tidak ketahuan terlalu bodoh, adapun saya tak pernah sama sekali bisa menyentuh barang bernama teleskop. Barang itulah yang datang di tahun berikutnya, teleskop prospektif Galileo. Aih, tak sanggup berkata banyak saya ini, saya sibuk membangun sebuah sktesa kegiatan “mendekatkan bumi ke mata kita, menelusuri semesta dengan berlian yang bergantung tanpa tali di suatu tempat yang gelap, entah di alamat mana dalam kompleks angakasa yang minta ampun luasnya itu”.

Anda yang belum pernah merasakan buncahan rasa senang ketika semangat pengetahuan sampai bahkan melewati garis kulminasi milik anda sendiri, atau bahkan tidak mengenal kondisi ekstase ini, tentu saja tak akan paham apa yang kualami. Namun marilah sedikit kusederhanakan apa yang kumaksudkan, misalnya anda sedang berlibur di suatu musim, memandangi pemandangan alam yang terbentang luas, hijau, biru, kuning bercampur abu-abu yang keputih-putihan, atau disana anda melihat biar kelabu sinar matahari yang lepas sari saringan awan, bias cahayanya seperti senter yang mendorong seberkas cahaya mendesak kegelapan, namun biar cahaya ini bukan mendesak kegelapan yang pekat, malah sesuatu yang cerah.

Atau jika anda bukan penikmat keindahan alam, bayangkan saja anda sedang melakukan hubungan seksual dengan pasangan anda (yang belum nikah tidak usah membayangkan ini, nanti kusampaikan yang lain saja) ketika puncak orgasme melanda, itulah ekstase, ketika perilaku kita semakin semrawut di atas ranjang, semakin menjadi manusia lain dengan tombol auto response yang mode on. Yaa begitulah kira-kira, bahkan sebenarnya lebih indah.

Anda, teman-temanku yang masih muda tapi belum menikah, apakah yang dirimu rasakan ketika suatu malam yang sepi, rindu pada seorang sahabat karib yang telah lama berpisah melanda, perlahan dan perlahan, album foto yang ditanganmu menyentil sebuah memori menyenangkan, bahagia, dan sangat gila yang dialami bersamanya. Sayang sekali saat itu, kau tak punya nomor telfon atau kontak lain yang bisa menghubungkanmu dengannya, bertukar sapa. Rindu yang membuncah saat menatap album kenangan itu yang kumaksud ekstase.

Tak usah bingung jika ada perbedaan kesan antara ekstase yang kumaksud pada satu penjelasan dan penjelasan lainnya, pokoknya itulah ekstase bagiku. aku dihanyutkan Arsuka dalam teks-teksya. Terima kasih ya?!

Entah apalagi yang harus tersampaikan disini, imajinasiku terlalu pelit sehingga tak ada simbol yang diberikan lebih kepada memori di otakku. Saya juga mulai kebingungan menggambarkan perasaanku, kata-kataku surut seketika, tersilaukan oleh gempita kamar kecil dengan teks-teks yang terbang lalu lalang didalamnya.

Akhirnya, biarkan kuolah imajinasi dan sumringah kebahagiaanku serta kobaran semangat pengetahuan yang mengeroyok diriku ini, menjadi tenaga baru untuk hidup payah ala diriku sendiri. Ekstase ini tak akan kubiarkan lepas dalam waktu yang cepat, begitu saja, namun dia tentu saja kupasung dalam wadah yang kedap, tertahan dari perubahan alam dan mempan dari kikisan waktu, mungkin seperti Jean-Baptiste Grenouile yang mengurung aroma perawan dalam botol parfumnya.

2 komentar:

Anonymous said...

cari deh, bukunya... :D

#penasaran

ikadaengtene@gmail.com said...

Nirwan benar2 menghipnotis..saya juga sudah baca artikel beliau. Anyway bola dunia saat itu hanya ada dua di dunia.

Yang satunya lagi mana yak??

Post a Comment

Jangan lupa meninggalkan komentar ya.... (Tolong jgn berkomentar sebagai Anonymous)

 

Alternative Road Copyright © 2012 -- Template was edited by Cheng Prudjung -- Powered by Blogger